Siapa
aku? Aku siapa?
Sepasang
pertanyaan yang lugas tapi sulit untuk diretas apa jawabnya. Cukup rumit karena
kita hanya memegang cermin satu sisi. Namun, bukan kita yang melihat bayangan
itu, orang lain yang menilai kita. Aku kurang mengerti, apalagi mengenal siapa
aku. Hanya tahu beberapa serta jauh dari kata sempurna. Dalam “aku” tersusun
aku, raga, serta hati ini.
Dengan
raga, dalam indera, aku adalah saat ini. Seorang lelaki, kurus, lengkap dengan
wajah yang belum berubah sejak Tuhan menciptakannya. Sebatas itu saja sebab
mata memang hanya bisa melihat yang kasat, sementara di lain sisi, imajinasi
lebih banyak merajut alibi.
Dengan
hati, dalam rasa, aku adalah akibat –bukan sebab. Ya, pengalaman yang
membentukku hingga kini. Oleh beberapa cerita manis, namun yang lain mengharu
biru. Aku lebih melankolis dari biasanya saat sesuatu yang tak biasa datang.
Aku lebih senang menyendiri daripada berkumpul tanpa mendapat sebuah
arti.
Apalagi
sejak ayah tiada, semakin banyak pula waktu yang kupunya untuk merenung,
mengurai takdir yang digariskan Tuhan. Mungkin benar, manusia hanya berusaha,
tapi Tuhan-lah yang menentukan. Kita tak lebih dari pemeran di mana jalan
cerita tak berada di tangan.
Dahulu,
sempat kuingat seorang teman pernah menganalogikan aku seperti buah merah
itu, strawberry. Ya, buah menyala itu menarik, namun sulit diterka
apakah manis atau masam rasanya –disederhanakan susah ditebak. Barangkali, aku
lebih suka disebut kopi. Filosofi kopi tentang bagaimana seduhan itu semakin
dipanaskan, semakin wangi saja. Tak perlu berdebat. Aku lebih percaya dinilai
daripada menilai.
Di zaman
yang kurang waras ini, berjuta orang memakai topeng. Begitu juga aku, hanya
saja topeng kami berbeda-beda. Misal, topengku bernama Idham Padmaya
Mahatma. Entah apa atau bagaimana makna nama itu, bagiku tak begitu
penting. Hidup itu sederhana, seperti matahari dan siang, bulan dan malam,
serta cinta. Ya. Seperti halnya sepasang kalimat tanya tadi, kata sederhana ini
juga terlampau sukar tuk diarti. Mungkin itu bahasa Tuhan atau memang manusia
tak cukup pandai untuk mengurai. Gara-gara cinta, aku bisa seperti bunga
matahari yang selalu mengejar sinar matahari, seorang spesial saat itu:
matahariku. Aku begitu mengagumi paras serta jalan pikirannya dalam menghadapi
sebuah masalah hingga aku mati-matian ingin seperti dirinya. Aku buta dan tuli,
tak sadar bahwa selama ini hanya bayang-bayang yang kukejar. Sampai akhirnya
aku jatuh tersungkur dan hati ini bertanya: apakah dengan menjadi seperti dia
lantas aku dicintai?
Masih
banyak analogi kolot lain yang jengah aku membukanya. Cukup di
otak putih ini saja. Hidup itu sederhana, setiap manusia pasti punya cerita,
raga, serta cinta. Genggam itu sebelum berubah kelam. Karena kita bukan
dipilih, tapi memilih. Titik.
(IPM)
Bandung,
Juni 2011
#Ilustrasi diunduh dari sini