Terkadang
orang yang mencintaimu adalah dia yang tak pernah menyatakan cinta kepadamu...
MENUNGGU
April lewat di selasar gedung kuliah tua ini. Tak seperti biasa, dia lama
sekali. Mungkin tidak masuk kuliah atau jalan lain yang dia pilih ketika aku
coba menanti.
April adalah
sahabatku yang setia. Setia mendengar ocehanku serta segala bahan cerita lain
yang selalu kulemparkan begitu saja kepadanya. Dari topik ringan, keluarga
hingga sketsa para kekasihku yang kini hanya menguap menjadi torehan kisah.
Memang lebih dominan kisah sedih pada ujungnya, namun itulah perjalanan cinta.
Pernah aku memaksa April untuk memberi petuah tentang bagaimana cara memahami
wanita. Mungkin saat itu rasa frustasi begitu besar merajai hati hingga gelap
rasanya mata ini. Yang lalu biarlah berlalu. Semakin banyak cerita, semakin
kaya pula memoriku tentang cinta.
Aku masih
termenung. Menantimu sendiri hingga membawa pikiran ini melayang ke relung
waktu silam. Aku ingat benar saat malam buta nan dingin, aku tergesa-gesa
berlari menuju rumahmu.
“Pasti ada
masalah ya? Tentang Renata lagi?” sahutmu.
Dalam lelah
aku berkisah tentang Renata, gadis jelita yang sebulan ini intens mengisi
lembar demi lembar dalam hati serta merengkuhkan sandaran jiwa padaku.
“Dia
istimewa, aku sungguh kagum padanya,” unggahku mengawali cerita.
Aku terus
meretas kisah hingga April tahu siapa bidadariku ini, meski belum pernah ia
jumpai. Dia menorehkan kesan, gigi miji timun, berhidung mancung, dan tak neko-neko.”
Kau tahu, dia hampir sempurna sebagai seorang wanita...” pungkasku.
***
LENGAN
kemeja kusingsingkan hingga siku. Cukup panas kota kembang saat siang
akhir-akhir ini. Tak seperti dulu kala harus berbaju tebal ketika hendak ke
luar rumah. Pernah suatu ketika paman akan pergi di ujung siang. Namun, dia
memutuskan untuk tetap tinggal karena hawa dingin kota kenangan ini yang
merasuk berebut tempat di setiap sendi.
Di tengah
terik mentari, aku mengajakmu berjalan menyusuri sudut kota ini guna mencari
hadiah. Bukan untukmu, tapi untuk tuan putri baruku, Renata. Sampai akhirnya
kami mengarahkan pandangan ke dalam toko pengrajin logam perak.
“Bagaimana
kalau sebuah liontin?” celetukku.
“Lumayan
berkesan. Apa bentuknya? Singkatan nama kalian? Gambar hati? Atau apa?” kau
bertanya.
“Angka
delapan,” ujarku singkat.
“Apa?
Mengapa?”
“Kuceritakan
nanti saja saat waktunya tiba...”
***
PERCAKAPAN
tadi berakhir dengan tanda tanya di hati. Tentang bentuk liontin serta alasan
pemilihannya. Begitulah Atma, lelaki misterius sahabatnya. Jalan pikirannya tak
bisa ditebak. Aneh terkadang kurasa. Pernah dia memintaku berlaku selayaknya
pria dan dia sebagai wanita.
“Tak perlu
menjadi wanita jikalau ingin memahaminya...” jelasku padanya.
Di tengah
kantuk dan letih yang melanda, April teringat pada sahabat lelaki satu-satunya
itu, sedang apa dia sekarang? Tak biasanya dia belum terlihat di depan rumah
minggu pagi begini. Maklum, kebiasaan Atma adalah benar seperti itu.
Menumpahkan buritan cerita selama seminggu kepadanya, meminta saran atau
masukan serta membagi beban masalah hidup.
Namun,
minggu ini berbeda. Tak ada uraian kisah, tak ada berbagi masalah, tak ada
Atma. Di manakah dia?
***
DI ufuk
senja, kau menghubungi lewat ponselmu. “Maaf pagi ini tak sempat datang. Aku
sedang di luar kota menemani Renata mencari bahan kuliah,” singkat saja
pembicaraan itu kauakhiri. Kukira kau sudah berada di jalan yang seharusnya
untukmu bersama dia yang kaucinta.
Caramu
memperlakukan wanita juga mulai berubah sejak ditinggal pergi Viona, kekasihmu
saat itu. Viona sangat baik kukenal. Kami satu fakultas di kampus juga tak
sering kami belajar bersama apabila mendapat tugas yang sama. Hanya saja dia
tak tahu bahwa rahasia kalian ada pada genggaman ini jua.
Viona
benar-benar mengajarimu akan sebuah pengertian bahwa wanita tidaklah meminta,
tapi menunggu. Kau terlalu lama memberi kepastian hubunganmu. Hingga Viona tak
sabar lalu menguap menjadi beberapa lembar diari ini. Syukurlah kau sadar. Kau
mengerti.
***
KAMI memang
tak terlihat akrab di kampus atau tempat umum lainnya. Kau juga segan
mengenalkanku ke teman-temanmu. Seperti orang lain saja kami di luar sana. Kau
dengan kesibukanmu, sedangkan aku bergelut dengan segala problematika hidup
yang bersamamu akan temui jalan keluarnya.
“Aku cukup
di belakang layar saja,” lanjutmu.
Aku tak
punya pilihan. Bila itu pintamu, aku akan mengiyakan. Tak penting orang lain
mengetahui status kami sebagai sahabat, sama tak pentingnya ketika aku
memintamu untuk menjadi pacar pura-pura ketika di waktu silam ingin membuat
Widya terbakar api asmara. Namun, urung itu semua.
***
TIGA hari
lagi genap setahun mereka menjalin kasih. Hadiah yang jauh hari kausiapkan juga
telah hangat. Penuh dengan harapan sera helah kasih sayang yang kautumpahkan
dalam simbol itu.
Tiga bulan
pertama, kalian memang saling bertengkar. Belum menyamakan prinsip serta jalan
pikiran. Seperti biasa, akulah dewi asmaramu. Wajar, sebuah hubungan haruslah
mempunyai sisi seperti itu. Bukankah pelaut ulung tak lahir pada perairan yang
tenang? Bukankah dia ditempa menjadi hebat pada perairan berombak tinggi dan
kejam?
Identik
halnya tentang hubungan. Kualitas hanya bisa didapat stelah mampu melewati
segala perbedaan. Dua kali kau bertengkar hebat. Dua kali pula rasa sayang
kalian semakin erat.
Sampai
akhirnya kau datang ke rumah malam itu. Bukan hari minggu, tak jua aku
mengundangmu. Wajah itu tak asing kuterka apa arti ekspresinya. Pasti ada
masalah yang akan dia lontarkan kepadaku malam ini.
Aku
terkejut. Hati ini seakan bergolak mendengarnya. Kau mengaku putus cinta dengan
Renata. Ada apa sebenarnya?
“Kali ini
aku tak perlu menanyakan pendapat kepadamu. Aku cukup dewasa untuk mengambil
keputusan ini,” jawabmu.
Belum jelas
apa perkataannya. Hingga sebuah jawaban akhirnya terungkap seiring bertambahnya
kapasitas cerita. “Renata telah mendua bersama lelaki lain. Begitu lihainya
setahun ini dia mengenakan topeng.” Jawaban itu kudapat secara implisit dari
percakapan kita.
Aku
memandangi air mukamu dalam. Ada kesenduan yang pekat kurasa. Sedih karena
putus cinta atau sesal tak berujung dalam memorimu tentang Renata.
“Ironis
kisah cintamu kali ini...” dalam hati kuberbisik.
Suasana
mengambil alih hingga tak tahu siapa yang memulai, mereka berdua berpelukan.
Sejenak momen itu sebagai jeda penenang. Untuk Atma, untukku.
***
BERGANTI
posisi, kini saat sabtu malam tiba, akulah yang melempar pikiran ke arahmu,
April, sahabatku. Dalam setengah sadar, aku melihatmu berjalan menujuku,
membawa senyuman indah, jelujur daun berjuntai jemarimu serta tarian lembut
kata-kata. Indah, bukan?
Apa yang
salah dengan otakku malam ini? Mengapa bukan yang lain dalam khayal semuku?
Benarkah aku jatuh cinta? Seketika malu menyeruak dalam dada menyesakkan segala
rasa.
Aku mencoba
berpikir jernih akan masalah ini yang tak mungkin terbagi kepadamu. Mana
mungkin aku bercerita padamu jikalau aku sedang jatuh cinta. Apalagi pemerannya
bukan aku dan permaisuri hati di sana, tapi kau, yang dipilih oleh hati ini
adalah engkau.
Mustahil aku
menjadikanmu sebagai kekasih. Aku menganggapmu sebagai teman istimewa yang suci
dari rasa cinta. Kami juga berikrar tuk menjadi sahabat selamanya. Tapi kali
ini aku harus melupakan ikrar itu dan membuat ikrar lain denganmu. Semoga kau
mau.
***
MINGGU pagi
aku datang ke rumahmu. Kau tak curiga. Meski sebenarnya aku lebih rapi dari
biasanya. Aku sengaja tak masuk ke dalam. Di teras ini saja.
“Sebenarnya...”
aku menata kata demi kata yang biasanya mudah terurai begitu saja.
Lantang
kuucap dengan dengan mata terpejam dan telinga yang tertutupi oleh jemari, “Aku
mencintaimu...”
Kau
tercenung. Cukup lama kurasa kau mematung.
Tak perlu
kaujawab. Aku juga tak memaksa. Aku malu.
“Kau tak
sopan. Ulangi!” katamu memintaku.
Aku tak
mengerti.
“Tak sopan
mengatakan cinta dengan mata terpejam serta telinga tertutup. Ulangi!”
Kali ini aku
yang diam. Kuulangi bagian tersulit itu dengan menuruti semua pintamu.
Tapi
pandanglah, kau kini tersenyum. Ada damai terasa di sini, di dalam hati yang
kini terlengkapi lagi.
Kini dan nanti kau adalah sahabatku, kekasihku. Dalam
wajahmu kulabuhkan nirwanaku, berbalut sejuta kasih, berbuih harum nan
mewangi...
(IPM)
Bandung,
Oktober 2011
#Ilustrasi diunduh dari sini