MUSIM
penghujan di kotaku kini tak lagi menorehkan rasa, sepertinya hambar. Tak ada
dingin, tak jua basah, tetap kering kerontang serta terkadang membawa serpihan
masam akan sebuah kenangan. Tentang kita, bersama dalam sebuah nuansa semu yang
mungkin tak akan pernah menjadi nyata.
“Karenaku?”
tanyamu pada pena itu.
Mengapa kau
tak bertanya langsung padaku? Padahal hari masih berganti serta mentari tetap
perkasa menerangi bumi. Jawabnya singkat, kau tak mau, tak ingin.
Mengenalmu
rasanya sebuah sesal terindah dalam hidupku. Kala itu memang kita hanyalah
teman biasa. Teman pada masa yang kata orang adalah masa terindah. Namun, tak
terlalu indah bagiku, entah bagimu. Awal cerita terkesan biasa saja dan
melankolis. Lelaki cengeng melawan
wanita perkasa. Itu tema yang kuberi untuk meretas kisah ini.
Aku
bercerita denganmu, Kertas. Aku tak memilih seseorang karena aku tak
menginginkan segenap pendapat, hanya tempat berbagi yang aku mengerti kapan
untuk memulai serta mengakhiri.
Rasanya,
beberapa helai tubuh putihmu sanggup menghapus rasa sesak dalam raga ini kala
aku menulismu dengan setoreh pena. Kau dan pena memang terkesan serasi meski
bentuk serta sifatmu sangatlah berbeda. Kalian saling melengkapi. Tak seperti
kami yang selalu tak sama dan tak akan pernah bersama.
Apakah aku terlalu pesimis? Tidak jawabku. Ini logika. Aku lelaki dan ini sifat dasarku sebagai seorang lelaki.
Ya. Bagiku
kini kedewasaan adalah suatu hal yang sangat dibutuhkan. Meski memperolehnya
itu tidaklah mudah, berusaha menikmati proses dari Tuhan sebagai batang
pengarahnya layaknya pantas. Seperti kala aku mendapatimu telah menjadi milik
lelaki lain. Sangat berat saat itu aku menerima kenyataan. Apa yang menarik
darinya? Apa kelebihannya? Apa?
Aku
menghentikan tanya. Mengharap kalimat itu akan dijawab oleh sang waktu kala
senja nanti. Namun, hingga hari berganti belum jua kutemui sebuah alibi. Hanya
sunyi. Rasaku mati.
Beribu helah
napas telah kutorehkan dari atas ranjang lusuh ini setiap malam. Berbalut
sejuta angan yang melayang membelah alam mimpi. Lagi dan lagi adalah ilusi
tentangmu. Aku juga tak mengira jikalau bayangmu yang dipilih jiwaku untuk
datang di setiap sunyi. Aku bahagia bisa menjalinmu meski hanya dalam rintihan
maya. Tak apa.
***
SETIAP
kuterbangun, aku sadar bahwa itu hanya lamunan. Ketika semua nyata aku hanya
meraih sebuah bayang, menghirup sebongkah harapan, serta menyulam secerca
naungan. Bersamanya bersemi, tak lama juga akan pergi.
Rasa yang
kuat ini mengalahkan beberapa takut yang sempat menghujam dalam pikiran.
Mencintaimu adalah sebuah risiko. Membuang waktu dan tak pernah tergapai.
Semacam berjudi dengan rasa sakit serta pilu, karena menang atau kalah tetap
sedih yang dijamah.
Kau, Tya,
begitu istimewa di luar sana. Memesona banyak lelaki dan tetap saja rendah
hati. Sering kau berkisah tentang para lelaki yang mengejarmu kepadaku. Karena
kau adalah teman baikku, serta aku kaunilai tak banyak tingkah sehingga kau
percaya.
“Kau gadis
yang periang, anggun, nan jelita. Tak ada alasan bagi lelaki untuk menolak
memberimu simpati,” sambutku saat kau bercerita tentang mereka.
“Apa kau
juga menaruh simpati kepadaku?” kau balik bertanya. Terdengar jengah.
Aku hanya
tersenyum. Kau juga membalas senyum itu. Berbincang lama sepertinya adalah hal
terindah kala lampau. Karena dengan begitu, aku bisa menatap matamu yang indah,
mendengar suara lembutmu, serta merengkuh deru tawa kecil dari balik bibir
merah milikmu.
Kau tak
curiga tentangku. Mungkin kau juga tak tahu jikalau bursa persaingan untuk
menjadikanmu seorang kekasih bertambah satu orang lagi. Ya, aku, Satrya
Sanjaya.
Menjadi
wayang nyata memang tak selalu mengguratkan kesan mendalam. Ketika Dalang tak
lagi memberikan skenario indah, seberkas tangis dan air mata layak untuk
membayar sepi yang dirasa. Sering kumembujuk Dalang dalam sebuah panjatan agar
menyatukan kami dalam sebuah kisah romansa. Namun, Dalang hanya membisu. Dia
seakan memiliki rencana lain yang lebih indah untuk kami nanti, entah apa.
Dalang tak berkata. Hanya diam. Terkadang aku meragu, apakah suaraku yang
lantang ini terdengar hingga tempat Dalang berlagu, atau hanya memancar menuju
relung panjang tak bertepi itu.
***
SENJA di
pelataran taman budaya terlalu melankolis untukku yang termangu menatap
lembayung sekat kesendirian, mematung tak bergerak, serta memutus berantai
hamparan harap dalam raga karenamu cinta.
“Tya? Kau di
mana?” dalam hati kuberteriak. Kencang. Namun, tak seorangpun mendengar jeritan
ini. Mungkin hanya Tuhan serta aku, tapi pintaku, kau juga dapat menangkapnya.
Denganmu kuakui
adalah perwujudan rasa yang positif. Aku bisa meraih semua yang kekasihmu
punya, menyamainya, juga terkadang aku melampaui pencapaian itu. Bukan untukku,
tapi untuk kita, kau dan aku dalam seruang nuansa.
Berpeluh di
setiap waktu, tak henti kumengejarmu, memburu bayang terindah. Tak kusadari
akulah pemeran wayang itu serta kaulah yang mewujud sebagai dalangnya.
Mengombang-ambingkan sesuka hati dan meriwayatkan berbagai kisah tanpa tatanan
mendasari.
Raga ini tak
lelah. Namun, hati? Tak ada yang tahu apa yang dirasa oleh hati. Bukankah cinta
itu tak mengenal lelah, melumpuhkan sejengkal logika, melambungkan asa hingga
kau tersungkur, bersujud, memohon agar cinta mengasihi, memberi arti, dan
menyatukan kami? Itukah sebuah analogi?
Lagi-lagi
aku tak sanggup menjawab. Biarlah plot ini sejenak berputar-putar, agar kau
bingung, agar aku bingung, agar semua bimbang membuat pengakhiran. Tak penting
lagi bagiku apa arti penantian. Semenjak wajah ini tak kau toreh, semua
membiru, mengharu, menghujam setiap desah napas akan semua cerita lalu. Bagimu
aku tak bermakna, namun kaulah yang menjadikan sisa hidupku berwarna. Memainkan
peran yang tak sanggup orang lain jalani, sebenarnya aku juga tak mau
menghayati, namun bersamanya luka ini sejati membentuk sayatan perih dalam sempurna
resap memori, dari sini suaramu terdengar lirih.
***
AKU
terperanjat kala kau membenciku tanpa sebab. Apa salahku? Aku tak tahu. Aku
juga tak berbuat apa-apa, hanya mencinta. Apakah haram hukumnya bagi lelaki
mencintai wanita, meski wanita itu memiliki lelaki lain yang dicintainya?
Tolong jawab, aku butuh jawaban. Ini pertanyaan tentang keadilan dalam rasa,
sepertinya undang-undang tak pernah dibuat untuk mengatur ini, tak ada pasal,
terlagi ayat. Lantas, apa Satrya salah?
Kali lain
mungkin harus bertatap dulu tentang apa maumu serta siapa yang tak kau mau.
Agar jelas, agar tak terjadi hal seperti ini: mengasihi bayang yang indah tanpa
mengerti kapan menjelma menuju romansa.
Lantas, apa
hadiah darimu untuk seseorang yang telah menunggu lama? Sebuah pelukan? Sebuah
ciuman? Atau lambaian tangan tanda perpisahan? Bagiku ketiganya adalah omong
kosong, sebab bukan ragamu yang ingin kuraih, tapi sifat serta perilaku yang
kukagumi. Tak akan ada guna sepasang mata apabila hati telah merajam setiap
cahaya. Tak bermakna lagi sebuah perpisahan jikalau pertemuan selalu menanti di
depan. Seperti rembulan yang akan sia-sia bila berpinang di waktu fajar,
seyogyanya berganti, saling serasi dalam menemani.
***
HINGGA
bersambut alun simfoni, kau tak jua bisa kugenggam. Seperti buih saja, indah
saat kau memandangi dari kejauhan, namun ketika kau dekati, kau sentuh buih
itu, ia akan pecah karenamu. Barangkali kau menyesal karena itu buih idamanmu,
pahlawanmu yang kautakzimkan mengisyarakatkan beribu keindahan. Kau boleh
bersedih, seperti aku kini. Tak ada larangan bagi lelaki untuk menangis. Apa
guna Tuhan memberikan perasaan? Bukankah perasaan tercipta untuk manusia, tanpa
membedakan apakah kau lelaki ataukah wanita?
Bersama
angan ini, kau kututup. Terima kasih kau telah memberiku hampa dimensi untuk
mengukir setetes arti. Meski tak sampai, aku tak kecewa. Maaf, aku munafik.
Bukan lagi ksatria seperti namaku. Menerimamu bersamanya memang tak semudah
memberimu seberkas cinta, tapi percayalah, tak ada seseorang yang mampu memberi
tanpa menanti segala akan kembali, kecuali mentari. Aku bukan matahari, Tya.
Aku adalah bunga yang selalu bersemi kala rasa kasih lahir mewangi di bumi.
Saat aku terjatuh, terlepas dari dahan layu, seseorang mengambilku,
bermaksud memberikan aku kepada seseorang lain, kamu.
Sayang,
lelaki itu terdiam. Terus memegangi tangkai bungaku, berbisik dalam hati,
mengucap semuanya dengan arti. Andai bunga ini menyaksikan pertalian kita yang
merona, Tya-Satrya, pasti kelopaknya seketika merah, mengharum sejuta pesona,
serta mekar abadi dalam naungan kita. Namun, bunga itu menghitam, terbakar,
hangus tak bersisa kala dia menjamahmu di depan jasadku yang mati rasa.
Pantaskah bunga ini untukmu? Mungkin lebih indah untuk
sesiapa.
(IPM)