Hidup memang
tak selalu maju ke depan, sesekali menoleh ke belakang atau menempuh segenap
kelokan...
UNTAIAN
kata-kata puitis tak padu itu mengawali hidupku pagi ini. Dering alarm ponsel,
bising menyadarkan mimpi tak sempurna tadi malam. Masih berat sebenarnya
kepalaku, oleh masalah kantor, keluarga, juga kamu. “Ya, kamu,” sergahku.
Penyegar sekaligus beban dalam hidupku kini. Mantan terindah sewaktu kuliah
dulu hadir kembali sejak pertemuan tak sengaja dua minggu lalu, lewat jejaring
sosial. Benar. Lewat Facebook.
“Rasanya
cukup menyesal aku membuat akun itu,” gumamku.
“Mengapa dengan aku?” jawabmu balik bertanya.
Secara
tiba-tiba kau datang. Tiada yang mengundangmu sebenarnya. Tak jua aku. Kisah
kita juga telah berakhir lama menurutku. Aku telah putuskan tali itu. Sudah
silam hingga aku lupa tepatnya kapan. Tak terelakkan kau memang spesial bagiku,
tapi dulu. Sebelum aku menikahi Shinta, gadis kota kembang yang mungkin
dikirimkan Tuhan tuk menghapus sepiku. Sepi keluargaku lebih tepatnya.
“Apa
bedanya?” lanjutmu.
“Beda. Dia
tak benar-benar kupilih saat itu. Dia perempuan pilihan ibu. Tapi aku tak
menolaknya ketika kami dipertemukan. Sebab tak ada pilihan lain. Aku tak punya
calon. Sedang ibu mendesakku untuk segera menikah,” jelasku panjang.
“Pepatah
Jawa memang rasanya kurang klik dengan kisahku ini. Ya. Mungkin harus diganti:
‘Wiwiting tresna jalaran ora ana sing
liya’ bukan ‘jalaran saka kulina’.”
Tak
seharusnya aku menceritakan itu semua. Ini keluargaku yang sah. Yang penuh
harmoni nan rasa cinta. Tak pantas aku menurunkan citranya. Citra istriku
khususnya.
“Tak apa,
aku tak akan banyak berkomentar kok.
Hanya berusaha menjadi pendengar setia. Aku juga tak ingin tahu banyak soal keluargamu.
Keluarga kecil bersama wanita ibumu. Yang kau agung-agungkan itu. Namun,
bukankah sepi, dingin, dan hampa yang kau rasa?” angkatmu.
“Aku tak
tahu. Aku bingung menjelaskan ini semua. Hatiku gundah antara dua pilihan,”
gerutuku.
“Ayolah Van.
Ini mudah. Tak serumit kisah Romeo-Juliet atau juga romansa Napoleon-Josephina.
Kau lelaki. Kau tinggal pilih saja,” katamu kemudian.
“Tak semudah
itu. Aku juga tak seburuk itu kepada seorang wanita, apalagi istriku sendiri.
Sangat biadab rasanya. Aku tak sanggup,” ujarku seraya menolak.
“Lalu?”
“Apa?”
Andai saja
kau bukan suami sah Shinta Lusiana. Pasti kau sudah bahagia jadi pendampingku
kini. Mengusir sepi, menghangatkan hati yang kadangkala beku, menemani tidurku,
membicarakan soal masa depan, menentukan jumlah anak-anak kita, serta mana yang
terdahulu, anak lelaki ataukah perempuan.
“Sudah,
kubur saja semua imajinasimu itu...”
“Bukankah
hidup berawal dari mimpi?” lanjutmu.
Ya. Mimpi
indah. Mimpi di mana tak seorang pun akan terluka. Mimpi yang membuat semuanya
tersenyum mesra. Tak ada tangis, air mata, juga deru derita.
Sudah.
Bangun saja dari ini semua.
“Bukankah
kau sudah cukup bahagia seperti ini?”
“Ya... Tapi
aku ingin lebih. Ingin selalu hadir kapan pun saat kau membuka mata,” katamu
seraya memohon.
“Dasar
pelindur, pemimpi ulung. Mana mungkin kita bisa bersama seperti dulu.
Bergandengan tangan ke mana saja, berbincang ketika ingin mencurahkan semua,
menelepon saat salah satu gundah atau bertemu meski harus mencuri waktu kuliah.”
Kenangan
indah itu sudah lapuk. Termakan rayap-rayap kehidupan baru. Tak juga bisa
kembali, meski hati sebenarnya ingin beralih. Sebagaimana abu kertas yang tak
mungkin lagi menjadi kertas. Tetap hitam dan selamanya takkan jadi putih.
Terjaga keruh atau semakin bertambah keruh hubungan kita ini.
***
SIANG ini.
Cukup cerah untuk musim penghujan di kota sejuk ini. Langit juga tersenyum
menyapa. Kau berkabar ingin bersua denganku. Tak biasanya kau yang menghampiri.
Kau datang ke kotaku dengan sejuta harap lagi kerinduan. Aku bisa rasakan itu
meski kau tak mengurainya dalam kata-kata. Kau menyewa sebuah kamar hotel dan
menungguku datang ke ruangan itu. Terdiam sendiri. Sunyi hati yang tak bisa
seorang pun membohongi.
Sudah
beberapa jam kami mengobrol. Banyak cerita baru yang kau lontarkan begitu saja.
Tak canggung lagi seperti waktu itu, di mana sesekali kita diam dan hanya
saling memandang. Cerita tentang keseharianmu dan berbagai komposisi tambahannya.
Kadangkala menyenangkan, sementara yang lain mengharu biru.
“Benang
kehidupan memang terkadang kusut,” tambahku.
Kau
tersenyum.
“Seringkali
harus susah dahulu sebelum kau temui bahagia.”
Senyum itu
menyeruak lagi. Bukan senyum bahagia atau suka cita. Lebih tepatnya topeng tuk
tutupi segala kebimbangan. Kalut hatimu juga bisa kurasa. Cukup tragis. Tapi
kau tak sadar akan hal itu.
Segera kau
membuang muka ke arah jendela. Mengarahkan perhatian ke arah keramaian publik
yang tak pernah tidur di luar sana. Mengeluarkan sebatang rokok mentol dari
balik sakumu. Menyalakan dengan pemantik milikku yang tak sengaja kuletakkan di
dekatmu. Menghisap dalam. Lalu menghembuskan asap ke langit-langit ruangan
hingga membentuk beberapa semu lingkaran. Aroma tembakau juga santer tercium.
Kulihat jemarimu sangat piawai memutar-mutarkan putung yang masih menyala itu
sembari memberi jeda sebelum kau hisap lagi. Bibir indahmu juga tak tampak
hitam karena nikotin. Mungkin juga tertutupi lipstik merah menyala itu.
Kami
terdiam. Kamar itu tak bersuara. Hanya asap yang bergema menyuarakan
kebimbangan kita.
“Kau masih
suka menulis?” tanyaku memecah sepi.
Kau
mengangguk.
“Tapi, mana
karya-karya terbarumu? Kau berhenti sampai di puisi itu,” tanyaku ingin tahu.
“Aku
mengarang berdasar interpretasi realita hidup. Dan ceritaku masih tetap di
tempat ini. Berhenti. Belum maju. Lembar baru juga belum terbuka. Aku tak punya
inspirasi segar lagi.”
“Apa
maksudmu? Puisi itu tentang kita?”
Kau menunduk
lesu. Entah malu atau leher itu sudah tak sanggup lagi menopang beban masalah
di kepala mungilmu.
Aku masih
ingat bebarapa kalimatnya:
sepi merangkai arti
sendiri
dalam sunyi
harap berganti
tuk lalui emosi
secerca menghampiri
binar simfoni
berpasang cintai elegi
berarti
namun terurai mati
hingga nanti
terpatri
“Sudah.
Cukup. Aku tak mau dengar lagi. Aku letih akan semua ini,” pintamu.
Tak lama.
Air mata itu akhirnya menetes. Makin deras. Hingga wajah itu kini terbasahi.
Kau memelukku seketika. Merebahkan kepalamu di dadaku yang lumayan luas
bidangnya ini.
Suasana
menjadi dingin. Diam. Hanya gemericik isak tangis yang mengurai segala
kerumitan.
“Menangislah
sejadi-jadinya! Setelahnya kau akan merasa lega. Mungkin bersama air mata
itu mengalir pula segala beban masalah kita.”
Kau tak
mengiraukan. Terus menangis...
Luapan emosi
itu terhenti. Air mukamu juga sudah berubah. Hanya sisa bekas tangis yang masih
tertinggal di pipimu yang merona. Aku mengusapnya dengan tangan ini. Dengan
perasaan layaknya sepasang merpati memadu kasih. Kau sangat cantik. Bahkan saat
menangis, kau sangat cantik. Aku terkesan.
“Apa rasanya
sekarang?” tanyaku.
“Aku merasa
ringan. Pundakku tak kaku lagi. Seperti ada yang menopang dari belakang.
Sayapku juga mungkin telah terlengkapi. Aku bisa terbang kini,” jawabmu.
“Itulah
peran kita. Peranmu juga peranku dalam sandiwara ini...”
“Peran?”
“Ya. Kita
bak pemain drama roman picisan yang
sedang pentas. Penuh cerita, makna, dan penghayatan. Mimik dan skenario juga
amat sempurna. Nyaris tanpa cacat.”
“Itu karena
kita bermain dalam cerita dan peran yang sesungguhnya. Tak ada kemunafikan.
Kita suci. Tak ada noda dalam diri kita.”
“Noda?
Bukankah kita berperan di atas kebohongan terbesar? Bukankah kita selalu
mengenakan topeng tuk tutupi semua? Apa kau lupa?” tanyaku.
“Aku tak
lupa. Berlagak pelupa mungkin lebih baik. Berharap bisa lupa dan tak ingat
lagi,” balasmu.
***
AKU kembali
ke rumah seperti biasa. Tak ada yang berbeda. Shinta juga tampak tak curiga.
Masih menebar senyum dan binar dari ujung matanya. Mungkin karena dia lugu atau
aku yang terlampau lihai menutupi sebongkah peristiwa. Terkadang aku merasa
bersalah pada Shinta, pada diriku, pada semua. Aku malu.
Kuperhatikan
Shinta, seksama, menyeduh secangkir kopi panas untukku yang termenung menanti
di ruang tengah. Memandang langit dari balik pintu kaca yang mulai mendung dan
tak bersahabat. Semendung hati ini. Kulihat istriku sangat cantik, baik pula.
Tak pantas aku menduakannya.
Kusesali dan
terus seperti itu. Terkadang aku merasa tak benar-benar menjadi lelaki.
Pecundang ulung. Pecundang bermuka dua.
Terlintas
dalam benakku, aku harus pindah dari kota ini. Lari dari kenyataan untuk
membangun kenyataan lain yang baru. Yang kami tahu apa maksud serta akhir
ceritanya. Tekatku sudah bulat. Aku harus melakukan ini. Menghilang demi
kebahagiaan yang sempat hilang tergadaikan.
Aku berbicara
serius dengan Shinta.
“Kita harus
pindah. Tak ada yang kita cari di kota ini lagi. Terlalu banyak kerikil tajam
di sini. Kau tak keberatan kan dengan
semua keputusanku?”
“Aku... Aku
terserah kamu. Aku ikut saja... Jika itu yang terbaik...”
***
KAMI pindah
ke kota kecil beratus kilometer menjauh dari tempat itu. Ke sebuah pemukiman
yang cukup tenang serta asri. Dengan motivasi dan ekspektasi baru. Hidup baru.
Cerita terdahulu. Bersamamu. Bersama keluarga kecil ini yang suatu hari pasti
tumbuh besar. Kutitipkan message-Facebook
terakhir dariku untuk Rena tanda perpisahan kita, esok dan selamanya. Kututup
pula akun itu bersama cerita yang telah mematri beberapa romansa.
Aku bukan di sana. Tapi di sini. Menghapusmu,
pelangi...
(IPM)
Bandung, Juni
2011