Sebait
cerita pendek yang kian berkesan mewarnai hati yang sedang terpecah belah ini.
Oleh asmara yang senang mempermainkan emosi. Yang membuat hati terasa mati
suri. Tak tahu tentang apa yang dicari. Menjemukan. Namun, rindu apabila tak
melakukan.
Lesatan
bintang jatuh di langit malam sebuah restoran tiba-tiba menyadarkanku dari
lamunan sepi ini. Sudah tiga jam berlalu. Cangkirku yang berisi coklat hangat
pun sudah tak tampak penuh lagi. Tamu-tamu restoran juga telah datang dan
pergi. Hanya aku. Ya. Aku yang tetap di sini. Menunggu Armand, kekasihku. Tadi
siang dia berjanji untuk datang. Tapi sampai sekarang belum juga terlihat dari
kejauhan.
“Mungkin
Armand sibuk...” gumamku.
“Atau dia
lupa akan janjinya...”
Sudah kucoba
hubungi beberapa kali handphone
miliknya. Tak jua ada yang menjawab. Tak diangkat. Tragis memang malam ini. Malam-malam
sebelumnya juga. Masih karenamu dan segala tingkah laku. Seakan mengaduk
segenap emosiku. Dan mungkin selalu terulang hingga menuju sebuah kebiasaan.
“Rasanya
malam ini saputanganku akan basah lagi. Terpakai tuk usapi seribu air mata yang
jatuh berganti. Mata ini pun akhirnya lembam. Cukup merah. Tak apa. Memang
hidup harus punya cerita,” batinku menyanggah.
***
Armand
datang pagi-pagi dengan mobil sedan itu. Membawa beberapa tangkai mawar putih
tanda permintaan maaf. Sebenarnya dia belum berucap sepatah kata pun. Namun,
aku sudah bisa menerka maksudnya. Bukan kejutan menurutku. Dia memang seperti
itu dari dulu hingga nanti. Meski harapku dalam sanubari dia bisa berubah.
Mobil itu
melaju membelah jalanan ibukota yang cukup padat oleh kendaraan. Selalu seperti
ini rute menuju kampus kami.
Membosankan. Tak ada yang perlu disalahkan. Mereka punya kepentingan
masing-masing yang tak bisa ditinggalkan. Menjemukan.
Hari ini ada
praktikum yang tak boleh gagal lagi. Di mana teman yang lain sudah beristirahat
ria, aku masih harus mengulang praktikum ini. Sungguh sial. Pacar yang aneh,
jalanan macet, dan remedial
praktikum. Sempurna hari ini. Karena hanya sendirian, terpaksa aku harus gabung
dengan kelas dari fakultas lain. Jadilah aku praktik bersama kelas kimia. Meski
harus terpisah dan disediakan seorang analis khusus.
Dua jam
berlalu. Praktikum akhirnya selesai. Sangat lega. Seperti melayang jiwa ini.
Padahal dalam hati belum tahu berapa nilai yang didapat. Tapi tak apa. Akhirnya
lewat juga.
“Maaf, apa
benar Anda mahasiswi farmasi yang tadi ikut praktikum di lab kimia?”
“Iya benar.
Ada apa ya?”
“Apa ini
barang Anda? Tadi tertinggal saat kelas selesai. “
“Ya ampun.
Bodoh sekali aku ini. Buku catatan sepenting itu bisa tertinggal,” ujarku dalam
hati.
“Kok diam?
Benar tidak ini barang Anda?”
“Iya benar.
Benar sekali...”
“Ya sudah.
Ini bukunya. Emm...Hannah...Hannah Puspita...” dia membaca tulisan kecil di
sampul bukuku.
“Iya. Itu
nama saya. Maaf kalau boleh tahu, nama Anda siapa?
“Ray...”
“Okay. Terima kasih banyak ya, Ray.”
“Sama-sama.
Kali lain jangan ceroboh lagi,” tutupnya singkat sambil berlalu dari
pandanganku.
“Cowok yang
cukup berkharisma. Tanggung jawab pula. Andai Armand seperti Ray pasti hidup
ini akan terasa semakin bermakna,” pungkasku dalam hati selagi bermimpi.
***
Bandung sore
ini hujan lebat. Sesekali guntur juga terdengar dari kejauhan. Saling menyambar
seakan tak mau kalah. Kuliah hari ini cukup melelahkan. Ingin cepat pulang ke
rumah tapi hujan turun dengan derasnya. Menunggu reda. Huh...
“Hai...
Cewek farmasi yang waktu itu kan?”
“Apaan sih kamu? Aku punya nama tau,”
celotehku setengah terkejut.
“Iya. Hannah
Puspita kan?”
“Lha, kok
kamu ingat?”
“Jelas
ingat. Cewek ceroboh mana lagi yang suka ninggalin
buku catatan sepenting itu di laboratorium. Ya, mana mungkin aku bisa lupa.”
“Wah. Nyindir nih kamu.”
“Hayo. Kamu ingat nggak siapa namaku?”
“Aduh. Aku lupa. Bagaimana ini Tuhan?”
doaku sambil mengingat-ingat nama itu.
“Ray Jusuf
Herlambang...” tak sengaja aku membaca sebuah tulisan kecil di sampul textbook yang dia bawa.
“Canggih
kamu. Tahu dari mana nama lengkapku?”
“Tahu dong. Hannah gitu...” kataku sambil tersapu malu.
Kami pun
menunggu hujan lebat itu reda berdua. Beramai-ramai sebenarnya. Namun, kurasa
yang lain tahu dan sengaja memberikan ruang tuk kami berdua. Hujan, tebakan
nama, dan hawa dingin. Sangat romantis. Ditambah jaket kulit hitam miliknya
yang sengaja dia rebahkan di punggungku. Rasanya lumayan hangat badan dan perasaan
ini.
“Mungkin
malam ini aku tak akan bisa tidur. Terbayang-bayang terus...” tambahku
tersenyum.
***
Hampir tepat
lelucon kemarin. Semalaman aku benar tak bisa memejamkan mata. Terus teringat
akan momen istimewa itu. Rintik hujan. Deru air yang mengalir. Hawa dingin kota
kembang. Semua bersenyawa menjadi satu. Cukup sempurna. Tapi sayang, hari ini
aku kesiangan. Armand yang menjemputku ke rumah juga rasanya sedikit kesal.
Menungguku cukup lama dan tak kunjung keluar.
Aku duduk di
jok depan. Di sebelah Armand yang cukup serius mengemudi. Aku juga sudah minta
maaf akan kejadian tadi pagi. Seperti biasa, dia hanya datar. Tak banyak
ekspresi dari wajahnya. Armand melirik jaket kulit asing yang kupegang erat
dari tadi dengan ujung matanya.
“Itu jaket
siapa? Jaket barumu?” tanyanya ingin tahu.
“Bukan. Ini
jaket titipan teman sekelas, anak farmasi juga. Kemarin tertinggal sewaktu
kerja kelompok di rumahku.”
“Oh gitu...” tutupnya datar.
Aku terpaksa
berbohong karena Armand tipe cowok posesif. Pencemburu. Terkadang sedikit liar
pemikirannya. Dia juga terlalu ramah pada semua wanita. Merasa tak adil saja.
Armand punya pacar tapi juga tak jarang jalan berdua dengan wanita lain. Sampai
detik ini aku hanya diam. Menahan sakit hati. Memendam dan terus menumpuk.
Mungkin suatu saat nanti rasa ini akan meledak hingga tak bisa seperti sedia
kala lagi.
Aku juga tak
tahu mengapa kami berikhrar menjadi sepasang kekasih. Sudah lupa dahulu siapa
yang pertama mendekati. Entahlah. Masa-masa manis itu rasanya telah mati.
Tertutupi segala macam perih. Olehmu. Oleh kita. Juga para selir-selir semu
yang berada di sampingmu. Aku tak banyak tahu. Tak mau tahu juga. Malas aku
menperdebatkannya. Yang kutahu kau milikku saat bersamaku. Saat tak bersama
tinggal nuranimu yang bicara. Kami juga tak diikat dalam tema apa pun. Tak ada
cincin di jemari kami. Tak ada janur melengkung atau juga penghulu yang
menyuarakan janji suci sebuah pernikahan.
“Ya. Kita
masih belajar. Belajar mencintai atau jua menyakiti...” desahku.
***
Roda
kehidupan perlahan tapi pasti mulai bergerak ke arah yang lebih terang. Semakin
baik saja. Sudah jarang rasanya mata ini menangis. Mungkin terkadang air mata
memang tak bisa ditahan tuk menetes. Tapi sungguh berbeda dengan dahulu. Air
mata bahagia dan cukup memberikan cerita. Berkesan. Ya. Karena kamu, Ray Jusuf
Herlambang. Hampir setiap malam dia menghubungiku. Sekadar mengirm pesan
singkat berisi ucapan selamat malam atau menelepon hingga lupa akan waktu
berjalan. Semua terasa begitu singkat. Itu karena kami sangat menikmati.
Sempurna.
Ray juga
sangat perhatian. Kalau aku lagi kosong dan tak melakukan sesuatu yang berarti,
dia kadangkala meluangkan waktunya untuk berkunjung ke rumah. Cukup nekat. Tapi
aku suka.
“Tidak. Aku
tidak suka Ray. Mungkin lebih dari itu. Aku mencintainya. Cinta yang datang
begitu saja. Tidak ada dari kami yang mengundangnya. Cukup bimbang...”
pungkasku seraya menata luapan emosi bahagia.
“Lantas? Apa
kabarnya dengan Armand?” hatiku bertanya.
Armand
sedang sibuk dengan kuliah serta kehidupan malamnya yang semakin parah saja.
Hampir tiap akhir pekan dia pulang menjelang pagi. Mabuk oleh minuman
beralkohol serta seringkali tak sadarkan diri. Orangtuanya juga sangat khawatir
dengan pola hidup Armand, anaknya.
Hanya bersenang-senang
dengan dunia fatamorgana yang apabila sudah terjatuh maka sulit tuk berdiri
lagi atau bisa jadi tenggelam dalam sumur hitam tanpa dasar. Armand kini sangat
berbeda dengan yang dahulu. Lebih berbahaya serta sangat labil. Namun, aku akan
berusaha setia padanya. Aku tahu dia sebenarnya anak baik. Mungkin hanya
pelarian atau pengaruh lingkungan yang buruk saja hingga membuatnya seperti
saat ini.
***
Semakin
parah saja kelakuan Armand sekarang. Tattoo
di tubuhnya juga semakin bertambah. Sudah mirip kain batik saja tangan itu.
Terpenuhi hingga tak ada celah lagi. Badannya juga semakin kurus. Entah pola
makan yang tidak diatur atau benar adanya kabar burung yang menyebutkan bahwa
dia sedang menjalin hubungan dengan barang haram itu. Ya. Narkotika. Lengkap
sudah penderitaanku. Sangat lengkap dan hampir sempurna. Aku juga sering
mengangkat cerita ini pada Ray. Tapi Ray hanya diam. Kurang bereaksi dan
cenderung melempar kalimat-kalimat litotes. Cukup aneh lagi tak biasa. Ada apa
sebenarnya dengan semua?
Berganti
hari Ray semakin giat mengikuti latihan sebuah pementasan musik Jazz di kampus.
Tak banyak yang tahu jikalau Ray adalah salah satu bagian dari grup itu. Dia
pegang saxophone dan segala
harmoninya. Maskulin. Sangat mempesona saat dia memainkan dengan cantik
jemarinya. Alunan nada yang indah serta mengalun mesra.
Hari
pementasan tiba. Ray tampil beberapa kali bersama grup Jazz itu. Bersinergi
dengan yang lain hingga membentuk sebuah musikalisasi romansa yang indah.
“Angkat topi
untuk mereka...” teriakku bersemangat.
“Khususnya
untuk Ray...” dalam hatiku menambahkan.
Belum
selesai sampai di situ, di akhir acara ternyata Ray main solo. Sendirian. Membawakan lagu pop romantis yang tak biasa dia
mainkan. Lagu My Valentine milik Martina McBride dia senandungkan dengan
sangat apik. Menyentuh meski sekadar instrumentasi. Rangkaian irama pun
berakhir. Tiba-tiba Ray berjalan mendekati sebuah microphone dengan penyangga yang berdiri tegak.
“Tuk kekasih
sejati aku di sini. Terima kasih...” sepenggal kalimat terakhir lalu pergi.
Tak mengerti
makna apa yang dia katakan. Namun, menorehkan kesan.
Karena
kelakuan yang begitu gila, Armand akhirnya drop-out
dari kampus. Dia tak pernah masuk. Tak pernah muncul lagi. Dari teman dekatnya
terpatri kabar bahwa Armand kini mendekam di hotel prodeo tersandung kasus
penyalah gunaan narkotika dan kekerasan. Tragis memang. Aku hanya
menangis. Tak tahu harus melakukan apalagi. Dia kini sudah menjadi orang lain
bagiku. Sudah bukan Armand lagi. Asing. Kisah kami juga kurasa telah kandas.
Terkubur oleh sebongkah masalah serta melaju bersama perahu kertas menuju hilir
arus muara. Sangat rumit dan tak lagi mungkin dapat terurai.
Hubunganku
dengan Ray lambat laun mencapai tahap yang serius. Kami pun resmi menjadi
sepasang kekasih. Aku tak punya alasan saat Ray datang dan memainkan instrument lagu yang sama kepadaku.
Hanya saja saat itu hanya untuk aku. Di penghujung dia berbisik pelan.
“Would you be my valentine?” tanya Ray
sambil menatapku.
Aku hanya
mengangguk. Memejamkan mata seraya tak percaya akan sebuah mimpi indah. Terlalu
indah hingga bibir ini tak dapat lukiskan sepatah kata.
Hari-hari yang semakin berwarna. Pelangi di setiap
pagi dan gemintang di malamnya. Kau memang istimewa Tuhan dengan semua jalan
cerita.
Selamat tinggal elegi. Kini kau telah mati. Termangut
sepi yang abadi. Tinggalkan kami berdua bersama simfoni yang mengalun indah.
Dari kami Ray-Hannah.
(IPM)
Bandung,
Juli 2011
#Ilustrasi diunduh dari sini