PELANGI itu
sangat memesona, berantai serampai warna, mengolah sketsa indah di atas langit
sana. Kau tak menyadari, entah karena tak suka atau menganggap fenomena itu
sebagai hal yang biasa.
“Lihatlah!
Ini indah, bukan?” teriakku padamu, hanya saja tak kulisankan. Aku bergumam.
Ya. Aku
sadar bahwa kau tak sanggup menatap cahaya lagi, kala lampau, mungkin nasibmu
yang kurang bersambut. Seharusnya kau yang menjalinku kini, bersama untuk
tunaikan tugas sebagai sepasang insan. Namun, semua berbalik, kembali ke suatu
ruang yang disebut kehampaan. Kau masih terlihat, tapi tak sanggup melihat.
Batinku sepah tinggalkan jasadmu sendiri. Apa daya, aku harus bisa.
***
AKU lahir
kembali, setelah hibernasi karena sebuah kesenjaan, mengalami tragedi yang
tiada pernah terbayangkan. Kehilangan indera penglihatan serta segulung rajutan
kenangan. Aku lupa segalanya.
Indera ini
masih berpasang dengan serasi. Tetap melekat dalam wajah serta memagut harap
tentang sebuah simfoni rasa. Hanya saja, hitam dan putihnya tak lagi bersama,
hingga tak mampu menangkap cahaya, meneruskan secerca bayang menuju relung
kelam, tak bertepi dan berteman sepi abadi.
Bersama
gelap aku mulai berkisah tentang kenangan. Katamu, dulu aku seorang penulis,
seorang yang tampan dengan segenap kharisma. Menulis kala hati sedang gundah,
mengukir kronologi di balik goresan tinta, serta menyulam angan tentang masa
depan dari balik khayalku, sebelum kemudian aku membaca ulang karya-karyaku
agar aku tetap melagu dari balik dinding kamar ini. Kamar dengan beribu
nostalgia akan imajinasi dan naungan. Dari sini aku ingin pergi, kembali.
“Dunia ini
bernyawa, bukan?” aku bertanya pada sepi.
Sepi itu tak
berlisan, tak bertelinga sehingga hanya bisa menyerap gelombang sedih tanpa
pernah membalas ataupun menyalahi. Aku mulai berteman baik dengan sepi,
bercengkrama gunakan bahasa kami, dengan tatapan mesra tanpa sebuah asa akan
bersua. Aku mulai sedikit gila.
***
UNTUK
membuatku kembali, beberapa manusia asing yang mengaku sebagai orangtua
mengenalkan aku tentang cerahnya dunia baru. Dunia kesedihan yang di dalamnya
kami bebas berekspresi sesuka hati, menangguhkan angan setinggi-tingginya,
serta menyambut hangat sebuah kompetisi sunyi. Di sini kami senasib, tertawa
bersama, sedih sedikit luntur karenanya.
Teman itu
sangat istimewa jikalau kau menyadari seni filosofi. Saat semua hampa, Tuhan
dan teman layaknya sebuah sahabat, sangat dekat. Seakan malaikat, mereka
bersayap, berperi dalam setiap nadi, membagi rasa gembira bagi setiap insan,
termasuk kami. Sejenak, hidupku kembali berarti.
Tinggal di
“negeri gila” lambat laun merubah beberapa paradigma. Aku bersyukur bisa hidup
di negeri ini, memiliki banyak teman senasib di mana tak dapat membedakan
ilusi, tak peka dengan indera mata, serta sedikit tuli karena telinga terlalu
sesak akan alunan nada.
Temanku tak
hanya gelandangan atau pengais kesedihan, mereka bertitel sarjana, magister,
doktor, beberapa bahkan profesor. Sayang, mereka buta. Aku bertanya tentang
titel yang mereka dapatkan. Apakah itu arti sebuah kerja keras? Apakah itu
hadiah bagi seorang tunanetra yang tetap bersabar? Atau juga pemberian dewa
karena telah menjaga kelestarian sesama? Jawabnya satu, abu-abu. Tak tahu.
Intelektual
di negeriku memiliki mental baja. Jutaan rakyat merana, mereka hanya bertolak
pinggang mengacungkan tangan tanda berkuasa. Kala harus merancang undang-undang
baru, mereka lebih memilih kencan dengan putri mimpi, tertidur pulas di tengah
hamparan merah sebuah musyawarah. Jikalau harus memutuskan suatu kasus, mereka
hanya berjudi, salah atau benar tak masalah, karena ini semua hanya sandiwara.
Berjuta manusia sanggup melihat semua, tapi tak bertaji mencegahnya. Karena
harta, materi, dan kekuasaan semua menjadi lupa, amnesia serta bersahabat
dengan para kaum yang disebut memiliki bibir paling indah. Janji manis tapi
akhirnya selalu tragis.
***
SEKARANG aku
telah terlanjur basah, masuk dalam lingkaran kesunyian bersama mereka. Mereka
yang bersemangat serta memberontak haus akan kekuasaan. Sejujurnya aku tak mau
masuk dalam golongan itu, tak jua mereka yang mau tak mau harus distandarkan
dengan kami yang hina.
“Kami tak
hina!” berontakku membangkitkan gairah. Rekan sesamaku kini seakan mati suri,
mulai meramalkan nasib dengan berbagai cara, meminta wejangan kepada beberapa
paranormal atau termangu sendiri di sela kamar dalam gulita sunyi.
Paranormal
favoritmu akhirnya mati. Meninggalkan jasad kaku serta bederma dengan binatang
tanah sebelum akhirnya menghilang. Gugur bersemayam memberatkan sesamamu.
Beberapa orang menangisi, meratapi, serta bertanya mengapa bukan seseorang lain
saja yang pergi, tapi buatku itu masa bodoh karena aku tak mengerti jalan pikir
kalian, mereka, atau semua yang percaya akannya.
Katamu, dia
bisa melihat masa depan, mendengar semua masalah orang, serta menyelesaikan
segala layaknya Tuhan. Tapi dia telah menguap, habis tak bersisa. Aku mulai
khawatir denganmu. Kau harus mengubah paradigma, karena yang terdahulu telah
sia-sia, legam tak bersisa.
***
KUTAWARKAN
kepadamu serta teman sesama kita tentang sebuah opsi. Mengalirkan hidup
layaknya insan tak bertanggungjawab atau bergolak menjalani asa dengan segala
harap. Hidup ini pilihan, bukan?
Tak ada yang
berani menjawab, semua membisu. Kini, aku sukar membedakan mana teman mana
musuh, karena kalian sejawat. Akhir dunia ini sebenarnya tidak terlalu lama,
beberapa ahli ilmu telah menguap begitu saja, entah ke mana, mungkin Tuhan
menyelamatkan mereka dari kaum yang hina, atau membawanya ke dimensi lain yang
lebih pas sebagai tempat tinggal mereka. Segala perbuatan adalah meragu, antara
benar ataupun keliru, semua rancu, terkadang jua persis sama sehingga mengira
kita pahlawan tanpa dosa. Namun, setelah pengadilan agung digelar, kita tak lain
adalah mereka yang buta. Sama.
“Lihatlah
Tuhan! Aku mulai menulis lagi, meski kini tak bisa aku membagi dengan
ciptaan-Mu yang lain, karena aku hanya mengigau, menjalin kisah ini itu dalam
lamunan sadarku,” ujarku pada senja.
Telah
kubuktikan disabilitas hanyalah sebuah kata dalam kamus tebal yang bagiku kini
tak lagi cukup berarti. Aku mulai menyamai segala kompetisi, tak menyerah pada
roda nasib, meski kutahu aku tak secemerlang dulu, namun inilah aku yang baru.
Aku sejati, tak bertatap tapi membuat setiap detik terasa hangat. Menjalani
profesi sebagai motivator layaknya tak terlalu buruk bagiku kini. Mulai dari
undangan perpisahan sekolah hingga acara termegah semua telah kucicipi. Tak
masalah menjadi seorang buta, sementara hati masih mawas memandang semua.
Tuhan itu
maha adil. Saat Dia mengurangkan nikmatmu di satu sisi, namun di sisi lain Dia
akan melebihkan anugerah agar kau mau berusaha. Itu motto hidup milikku,
Mustika, tunanetra tak menyerah.
“Aku telah
lulus ujian-Mu dengan sempurna, Tuhan. Jikalau Kau berkenan, tolong beri aku
anugerah atas kesepian ini,” panjatku di setiap hening malam.
Tuhan
membayarnya kontan dengan bidadari yang menjalinku kini, meski kutak tahu dari
mana asalmu, namun percayalah, dia suci nan istimewa, sahabat bagi mereka yang
sabar dan bersemangat, kupanggil kau, Akal Sehat.
(IPM)
Surabaya, Desember 2011
#Ilustrasi diunduh dari sini