MALAM
pergantian tahun tak lagi menorehkan kesan di hati Arjuna. Kebanyakan orang
pergi keluar menghamburkan uang untuk momen itu. Bersama keluarga, pacar,
ataupun teman sepermainan. Hanya secerca harapan untuk lebih baik di tahun
depan tapi setelah datang ternyata sama saja tak ada perubahan. Kadang Arjuna
bingung, apakah tahun benar-benar berganti atau hanya berulang kembali.
Paskah libur
dua hari, halaman kampus hijau bergaya Belanda itu masih tampak sepi ketika
Arjuna datang dengan sepeda kumbangnya. Jalanan sekitar pun kian lengang tak
banyak orang berlalu lalang. Para mahasiswa juga belum datang.
“Benar saja, masih pukul 06.00,” kata Juna,
panggilan akrabnya. ”
“Mana ada
mahasiswa yang datang sepagi ini ?” lanjutnya.
Hanya Juna
dan segelintir orang saja yang sudah beraktivitas di pagi itu. Bukan apa-apa,
Juna adalah anak salah satu penjual makanan di kantin kampus ternama itu.
Setiap subuh dia berlomba mendahului mentari agar sampai tepat waktu di pasar
induk dekat balai kota bermaksud membeli segala kebutuhan untuk ibunya
berjualan nanti. Setelah semua terpenuhi, barulah Juna melenggang menuju
kampus.
Deru sapa
penjual lain begitu ramah terdengar di telinga Juna. “Ternyata mereka jauh
lebih pagi dari aku,” kata Juna menyeru. Langsung saja dia berjalan menuju
lapaknya, membuka kunci pintu, serta menyalakan kompor untuk memasak segala
hidangan. “Aku membuatnya dengan hati, pasti mereka akan suka dan membelinya
lagi,” seru Juna berpikir positif.
Menit demi
menit pun berlalu, sang surya juga telah tampak perkasa lagi menyinari bumi.
“Sudah pukul 08.00. Saatnya berganti pakaian dan menyiapkan segala keperluan
kuliahku,” kata Juna bergegas. Ibunya juga telah datang di lapak itu. Maklum,
saat ada jam kuliah, ibunya lah yang menggantikan Juna menjaga warung itu.
Namun, apabila Juna tidak kuliah, dia pasti langsung menuju warung untuk
membantu ibu yang mulai tak cekatan lagi melayani pembeli. Jelas saja, warung
Juna termasuk salah satu warung paling ramai di kantin itu. Ya, meski kampus
ternama serta mayoritas mahasiswanya dari kalangan beruang, tapi kalau urusan
perut mungkin mereka tak segan tuk berdesakan berebut hidangan dan ramahnya
pelayanan di kios Juna. Mulai mahasiswa, dosen, dekan, atau rektor sekalipun
mungkin pernah makan siang di sini. Semacam primadona lah tempat itu.
***
SUMBU
kehidupan terus melaju seiring berputarnya roda sepeda Juna. Meski tiap hari
harus kuliah sambil bekerja entah tahu kapan semuanya menjadi terang, Juna tak
pernah hilang semangat. “Buat apa merintih di bawah langit kalau aku bisa
berdiri tegak memikulnya,” kata Juna menyemangati diri. Hari ini jadwal kuliah
Juna baru ada setelah pukul 14.00. Tapi dari pagi dia sudah terjaga bersama
ibunya. Melayani pembeli yang datang dan pergi tak ubahnya ombak di tepi sebuah
pantai.
“Ini Nona
pesanannya,” kata Juna ketika mengantarkan makanan ke sebuah meja.
“Iya, terima
kasih. Lho, kamu Juna kan?” balas
nona manis itu.
“Iya, Non.
Ada yang bisa saya bantu?” jawab Juna.
“Oh, nggak.
Kenalkan aku Rara. Anak FISIP juga sama seperti kamu, tapi aku baru hari ini
kuliah di sini Aku berasal dari Surabaya, Jun.” kata Rara menjelaskan.
“Oh begitu.
Iya deh, Non. Salam kenal. Aku kembali dulu ya ke kiosku. Masih ada yang harus
aku kerjakan. Sampai ketemu.”
“Iya.
Sama-sama, Jun. Salam kenal juga,” kata Rara menutup pembicaraan.
“Sungguh
manis si nona ini, adakah dia sampai kumiliki?” dalam hati Juna ketika berlalu.
***
HARI demi
hari berlalu begitu cepat. Frekuensi pertemuan Juna dan Rara pun semakin sering
saja. Mulai dari kerja kelompok tuk sebuah tugas konservasi atau hanya sekedar
makan siang berdua sambil saling mengagumi. Tak ada yang salah tentang pepatah
Jawa bahwa cinta ada karena terbiasa bersama. Simfoni itu telah mengubah hitam
merah kehidupan Juna yang sudah lama tak merasakan cinta akan seorang wanita.
Ya, setelah ayahnya meninggal, Juna tak lagi mengenal apa itu cinta. Hidupnya
hanya bertujuan satu, berusaha membahagiakan ibunya dengan berbagai cara.
Sampai akhirnya Tuhan mengirimkan Rara dan warna hidup Juna berubah.
Suatu ketika
saat warung sepi. Juna duduk berdua dengan ibunya menunggu pembeli. Ibu Juna
menanyakan tentang kedekatannya dengan Rara.
“Jun, kamu
lagi dekat ya sama Rara?” kata ibu ingin tahu.
“Ibu, kenapa
tanya soal itu?” jawab Juna balik bertanya.
“Kamu belum
tahu ya Jun, non Rara itu anaknya siapa?”
“Belum Bu,”
jawab Juna sedikit penasaran.
“Non Rara
itu anak perempuan semata wayang Pak Bakrie, rektor kampus ini.
Juna pun
terkejut mendengar jawaban ibu.
“Nekat
sekali kamu Jun kalau sampai suka sama non Rara. Mau kamu kita diusir dari
kampus ini. Hidup kita sudah susah, Jun. Janganlah kamu tambah bermain api,”
tambah ibu.
Juna pun
terdiam tak bersuara ditelan gemuruh gunda. Bingkai mimpi bersama Rara pun
terpecah belah. Lagu sendu seolah terdengar mengalun di hati Juna yang sedang
patah.
Sudah tiga
jam lepas pukul 22.00 mata Juna belum juga terpejam. Dia masih berpikir tentang
berita tak menyenangkan tadi siang. Di serambi malam ditemani bintang yang
terteguk muram, Juna bimbang tentang apa yang harus dia lakukan. Tetap nekat
dengan konsekuensi yang pahit atau melepasnya tuk hidup bebas seperti biasa.
Pagi pun
datang menyisakan malam yang kian kelam. Langkah Juna tampak berat menuju
kampus. Sketsa mentari yang biasanya cerah kini berubah keruh sekeruh hati Juna
akan Rara. “Mengapa harus kamu yang jadi anak rektor sialan itu? Mengapa juga
status sosial yang harus menghalangi kisahku ini?” beribu kata tanya mengapa
tergurat hebat dalam pikiran Juna.
Dia tiba di
kampus dengan beban psikis di kedua pundaknya. Juna duduk bersandar di bangku
kayu jati yang seratnya mulai rapuh sambil melamun tentang hal itu. Tiba-tiba
Rara datang menghampiri.
“Hai, Jun.
Kok murung gitu? Ada apa? Mau cerita?” kata Rara dengan rona merah di pipinya.
“Iya. Hai
juga, Ra. Aku baik-baik saja kok. Gara-gara kurang tidur mungkin. Tadi malam
aku kena insomnia,” jawab Juna berbohong.
“Lho? Kok bisa? Kamu lagi banyak pikiran
ya? Tentang apa, Jun? Ayo cerita!” Rara ingin tahu.
“Mana
mungkin aku jawab tentang sebenarnya. Aku tak mau dia terluka. Cukup aku saja,”
dalam hati Juna bergumam.
“Ya sudahlah
kalau begitu. Aku nggak maksa kok. Aku menghargai privasimu. Aku cuma mau
bilang kalau aku peduli sama kamu, Jun. Jadi tolong jujur ya sama aku,” sambung
Rara.
“Sinyal itu
telah mengisyaratkan bahwa benar Rara memang cinta aku sama seperti aku
mencintainya,” sekali lagi Juna bergumam.
Tanpa pikir
panjang Juna lantas mengutarakan perasaannya pada Rara. Gayung bersambut, Rara
juga mengutarakan apa yang dia rasa akan Juna. Mereka resmi sebagai sepasang
kekasih berlatar taman hijau kampus yang menjadi saksi.
Ungkapan
rasa itu ternyata masih menyisakan aral di hati Juna. Juna bingung mau dibawa
ke mana hubungan ini. Tapi dia tak ambil pusing. “Jalani saja selagi cakrawala
masih kian terjaga,” kata Juna memecah dingin hatinya.
***
HANYA
berselang tujuh hari selepas kisah indah itu, Pak Bakrie mengetahui tentang
hubungan anaknya, Rara dengan Arjuna. Pak Bakrie lantas memanggil Juna
menghadap ke kantornya.
“Apa benar
kamu yang bernama Juna?” tanya Pak Bakrie.
“Iya Pak.
Benar,” jawab Juna.
“Kamu tahu
siapa Rara itu? Dia anak perempuan semata wayangku. Aku tak mau terjadi apa-apa
padanya. Lantas kau begitu saja memacarinya. Nekat sekali kau anak muda. Apa
mau kau beserta ibumu aku keluarkan dari kampus ini? Ayo jawab!” kata Pak
Bakrie dengan nada tinggi.
“Tidak Pak,”
pungkas Juna lemah.
“Jauhi Rara!
Dengan begitu aku takkan mempersoalkan masalah ini lagi. Kau mengerti?” gertak
Pak Bakrie memberikan pilihan.
“Saya
mengerti Pak,” Juna mengiyakan.
Selepas
kejadian di ruang rektor itu, Juna mulai menghindar dari Rara. Rara bingung
tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Juna.
“Jun, kamu
kenapa lagi? Kok tiba-tiba berubah?” tanya Rara khawatir.
“Nggak kok,
Ra. Nggak terjadi apa-apa,” Juna menutupi hal itu.
“Mana
mungkin tak terjadi apa-apa. Kamu tak seperti biasanya. Apa karna ayahku
seorang rektor lantas kamu merasa tak pantas bersanding denganku. Ayolah. Ini
tak adil,” kata Rara mencoba mengurai curahan hatinya.
Dengan
terbata-bata akhirnya Juna menceritakan semua problematika itu. Rara pun
terkejut. Raut wajahnya seketika menjadi pucat kuyu. Mereka berdua terdiam
sejenak.
”Bagaimana
kalau kita pacaran diam-diam di belakang Ayah?” kata Rara dengan lirih.
“Tidak,”
tegas Juna.
“Hubungan
ini bukan hanya kita yang menjalani, tapi keluargaku, keluargamu juga. Memang
benar cinta itu segalanya. Tapi ingat, kejujuran adalah warna indahnya,” terang
Juna.
“Kamu harus
mau, Jun. Bukankah orang akan nekat melakukan apa saja ketika mendapat sebuah
tekanan?” keluh Rara.
“Ya, kamu
benar. Episode kita mungkin memang butuh sebuah perjuangan. Aku akan mencoba
menjadi seperti apa yang ayahmu pinta,” Juna berikrar.
***
JEDA empat
hari Pak Bakrie tak sengaja melihat anaknya sedang duduk berdua bersama Juna di
emperan sebuah toko sambil
bercakap-cakap mesra.”Nekat benar nih anak. Punya nyali juga ternyata. Belum
tahu ya siapa aku?” gerutunya.
Esoknya,
tanpa pemanggilan maupun penjelasan Pak Bakrie langsung mengutus koleganya
untuk mengusir Juna beserta ibunya dari kampus. Mereka tak bisa melawan. Mimpi
buruk itu akhirnya datang. Juna hanya sempat menulis kata-kata terakhir untuk
Rara.
Dalam memo
itu tertera :
“Aku harus
pergi. Bukan tuk tinggalkanmu. Hanya menghindar sampai kutemukan jati diri.
Biarlah kisah kita berakhir di ujung jemari. Tapi, di relung jiwa ini tetap kau
yang menghiasi sampai nanti sampai mati.”
Setelah
membaca pesan singkat itu Rara langsung berlinang air mata. Mengurung diri
dalam kamar dan tak mau seorang pun menemuinya. “Tuhan, aku tahu kau yang
memilikinya. Setiap helah dan hembusan napasnya. Aku sadar. Aku telah mencintanya.
Tapi aku tak mengerti, Tuhan. Mengapa kami bertemu lantas akhirnya dipisahkan.
Mengapa kami berjumpa tapi akhirnya dijauhkan. Apa ini skenario terbesar-Mu
tentang hitam terangnya hidupku. Aku percaya, Kau pasti telah menyiapkan akhir
yang indah untuk kami nanti,” tutup doa Rara dalam rapuh hatinya.
Beban berat
di pikiran Rara membuatnya tak kuasa dan jatuh sakit. Rara mengalami depresi
hebat. Hanya bengong dan sesekali marah-marah sendiri. Lambat laun Rara hampir
pantas disebut gila. Dalam angannya, wanita malang ini merasa telah
mendepak ayahnya keluar dari rumah. Sedangkan untuk memuaskan keinginannya
hidup bersama Juna, setiap kali dokter mengunjunginya, dia berkata,”Dokter,
saya melahirkan seorang bayi tadi malam. Coba lihat, mirip suami saya bukan?”
kata Rara dalam fatamorgana. Kehidupan ini dahulu mencampakkan semua impiannya
pada kenyataan yang amat kejam. Tapi dalam kegilaannya yang penuh fantasi,
semua impiannya menjadi kenyataan. Dia hidup penuh kenikmatan dan bahagia.
Apakah kejadian ini tragis? “Saya tidak tahu. Tapi jika saya bisa mengusir
kegilaannya itu, saya pasti tak akan melakukannya. Dia jauh lebih bahagia dalam
keadaannya sekarang. Jauh lebih bahagia dibanding kenyataan hidup yang
sebenarnya.”
Kegilaan
Rara hanya seumur jagung. Dia kembali harus opname
di rumah sakit sebab keadaannya semakin memburuk. Semua diperiksa. Mulai kepala
sampai ujung kaki. Hasil diagnosa dokter menyebutkan bahwa Rara mengidap kanker
otak ganas. Setiap waktu bisa saja menjadi akhir perjalanan hidupnya. “Kalau
saja aku dulu merestui hubungan mereka, pasti Rara, anakku takkan tergolek
lemah seperti ini,” ungkapan penyesalan yang tak lagi berarti.
Hanya dua
bulan Rara bisa bertahan sampai akhirnya tak lagi bisa diselamatkan. Rara pergi
menutup jalinan cerita sedih yang tak tahu bagaimana cara tuk mengobati.
Jasadnya pucat. Hanya sedikit senyum di bibirnya yang mengisyaratkan bahagia
karena telah lepas dari problematika dunia. Rara dimakamkan di kompleks
pemakaman dekat kampus. Batu nisan yang basah juga mulai mengering selepas
peziarah pergi meninggalkan tempat itu. Rara sendirian dalam sunyi yang abadi.
***
KABAR duka
itu akhirnya sampai di telinga Juna. Dia amat sedih karna tak bisa menyaksikan
paras Rara tuk terakhir kali. “Ya, mungkin itu penyesalan terbesar dalam
hidupku, Saat tak bisa bersamamu tuk terakhir kalinya. Kini aku harus
menunaikan sisa tugasku sebagai manusia yaitu menikah. Aku meminta izin padamu,
Ra. Aku tahu ini salah. Tapi aku tak mau mengecewakan ibuku tuk kedua kalinya.
Aku percaya kaulah jodohku yang sejati hanya saja bukan di dunia ini. Selamat
jalan kasih, tunggu aku temuimu lagi,” penutup suara Juna di tepi makam Rara
yang wangi bertabur melati suci.
Rembulan memang akhirnya tak bertuan, tapi cinta
Juna-Rara akan tetap mewangi dalam ingatan.
(IPM)
Sidoarjo,
Februari 2011
#Ilustrasi diunduh dari sini