Kadangkala
kita harus berhenti untuk mencintai...
UNGKAPAN
perih dalam hati kembali mengguratkan malam-malamku akhir pekan ini. Terdengar
sumbang meski seharusnya tergambar lantang. Penuh cerita sebenarnya tapi tak
mudah keluar dalam kata, terganjal beberapa nada yang kian memberatkan segala
langkah. Langkah menujumu atau juga menjauh darimu. Seharusnya aku berlaku ini
dan itu untuk menjagamu dalam benakku. Bukan kamu atau aku yang salah, tak jua
kita. Kami hanya pemeran dalam sandiwara romansa yang mungkin penulisnya berat tuk
akhirkan cerita dalam satu nuansa.
Tuhan
rasanya begitu kejam akan semua takdir yang diberikan pada kami. Saat kau
divonis oleh dokter menderita penyakit misterius itu dan aku belum sama sekali
siap tuk menerima. Sebenarnya kau juga. Hanya saja kau tak tampakkan air
muka sedih di pelupuk mata. Mungkin karena kau memang tegar atau menjaga
perasaanku yang hancur lebur tak karuan ini.
“Apa kau
baik-baik saja, Vin? tanyaku saat tiba-tiba wajahmu pucat.
Kini dia
seringkali bertingkah aneh. Keadaan tubuhnya juga cepat sekali berubah. Pagi
bisa saja dia tersenyum renyah. Namun, malam harinya mungkin kasihku telah
tergolek lemah tak bertenaga di ruangan sepi dengan dinding putih tak
bersuasana.
“Aku
baik-baik saja kok. Kau tenang saja, Hans...”
Kau
tersenyum. Cukup berat tampaknya bibir itu bergerak. Tak selincah dulu kala kau
bercerita tentang apa saja kepadaku setiap waktu. Cerita tentang keluargamu
yang cukup harmonis kurasa. Dengan ibu serta adik-adikmu yang masih tumbuh
remaja. Ya. Meski ayahmu telah tiada, tak kulihat air mata itu terus menetes
karenanya. Kau tegar dengan segala semangat yang selalu kau bawa.
“Mungkin itu
yang membuatku tetap cinta dan semakin cinta. Tak hanya fisikmu yang mempesona,
kepribadianmu juga...”
Kau juga tak
kecewa saat hari pernikahanmu nanti tak bisa disaksikan oleh ayah tercintamu.
Kau memandang hidup seperti roda. Di mana akan terus berputar, tak peduli
sesekali berada di atas atau di bawah. Yang kau yakini hanya satu, suatu saat
nanti roda itu akan terhenti pada tujuan yang sempurna.
“Aku
menunduk sejenak... Mensyukuri atas apa yang terajut indah dalam dirimu, Vina.
Kekasihku, perempuanku, juga yang kuyakini sampai hari ini adalah calon isteri
yang paling tepat untuk anak-anak kami...” doaku dalam sela napas.
Kau tampak
cantik ketika rambut panjang yang tergerai indah itu tertiup oleh angin secara
perlahan di taman belakang villa saat senja tiba.
“Aku masih
ingat secara detail momen itu,” kataku padamu. Pakaian yang kau kenakan
aku juga masih hafal. Rasanya otakku yang putih ini tak kuasa melupakan segala
warna di kala itu. Entah memoriku yang hebat atau perasaan kita saat bersama
yang luar biasa kuat.
Kuajak kau
melihat danau yang airnya sedikit hijau tercampur alga yang tumbuh subur di
sana. Melihat wajah kita yang terpantul indah. Bercanda. Sesekali derap tawa
juga mengiringi jangka kita.
“Lihat
Sayang... Kita serasi, bukan?” selaku lagi ingin mendapat anggukanmu.
Kau hanya
tersenyum. Mengangguk kecil pertanda setuju. Aku terbang, melayang, ke taman
yang luar biasa indah hingga tak mampu aku melukisnya. Taman semu yang dalam
nirwanaku selalu tertera kata cinta dan keindahan. Taman yang kami buat bersama
di mana pondasinya adalah rasa saling percaya.
Kulihat
senja jua makin menipis. Langit mulai gelap. Burung-burung di danau telah
bergegas pulang ke sarang mereka tuk kembali bersama. Kami belum
beranjak dari pinggir telaga yang dekat dengan sabana. Kau duduk bersila
menantiku yang tadi pamit tuk mengambil setangkai mawar putih indah.
Kujabat tanganmu dan kuberi bunga manis itu. Meski gelap, cahaya rembulan kian
terasa cemerlang dalam persepsi kami. Mawar putih juga menambah terangnya malam
sempurna ini. Kukecup keningmu dan kami beranjak pulang.
Cerita masa
lalu yang sulit terulang di mana kami berdua kini telah tumbuh menjadi insan
yang dewasa. Mungkin hanya akhir pekan waktu kami tuk memadu kasih.
Selebihnya hanya berkutat lewat alat komunikasi yang semakin canggih saja. Aku
bekerja di salah satu bank swasta sebagai pegawai dengan gaji yang belum cukup tuk
membangun bahtera rumah tangga. Sedang kau bekerja di sebuah taman kanak-kanak
di dekat tempat tinggalmu sebagai guru dari adik-adik kecil di sana.
“Aku cukup
bangga denganmu... Meski kau hanya seorang guru TK, tapi tak kulihat kau murung
akan profesimu. Kau mengajari mereka mambaca, menulis, dan berhitung dengan
sabar dan sarat akan kasih sayang. Aku terkesan,” ujarku meneruskan.
Tak jarang
anak-anak itu menangis tanpa sebab. Merengek. Meminta ini dan itu sesuka hati
mereka. Namun, apa yang kau lakukan? Kau hanya tersenyum dan berusaha menjadi
teman mereka. Sangat tulus peran yang kau mainkan hingga rasanya mata ini
terharu melihat rangkaian yang tak mungkin membiru.
Kau sangat
menjiwai pekerjaanmu sebagaimana aku yang juga mencintai profesiku. Meski upah
tak seberapa dan sering pula aku mencari beberapa pekerjaan tambahan tuk
tutupi segala kebutuhan. Namun, tak pernah aku menyesal memilih profesi itu.
Aku selalu mencintai apa yang aku kerjakan. Sama sepertimu.
Tak terelakkan,
kisah kami memang mirip. Ayahku juga telah tiada. Bedanya aku sudah ditinggal
sejak SMA sedangkan kau baru-baru saja. Kurasa latar belakang itu jua yang
kelak menjadi pengikat kita. Kami senasib, seperjuangan juga sekisah dalam
cinta. Kau pencerah saat hari-hariku gelisah oleh sejuta masalah. Laksana embun
yang menetes pada dahan yang kering. Suaramu juga membangkitkan jiwa yang
kadang kala lemah.
“Aku hidup tuk
orang lain, untuk keluarga serta yang lain...” sergahmu yang termakna.
“Begitukah
cita-cita seorang wanita perkasa di mana tak lagi mempedulikan hidupnya?”
tanyaku.
“Bukankah
hidup memang harus seperti ini?”
Aku tak
ingin mengejarmu menyelesaikan semua perbedaan. Apalagi kau mengakhirinya
dengan mendesah. Seperti keluhan. Deras hujan yang mengucur dari air mata
kesunyian.
***
KAU tergolek
lemah lagi. Kali ini lebih parah. Sekujur tubuhmu pucat. Selalu saja seperti
ini. Kularikan kau ke rumah sakit. Sang dokter yang memeriksamu menyarankan
agar kau dirawat beberapa hari. Selain tak sadarkan diri, kau terkadang juga
mengerang kesakitan. Kalau sudah parah, kau harus diberi beberapa dosis obat
peredam rasa sakit. Ya. Morfin. Zat yang sangat mahal itu harus diberikan ke
tubuhmu tuk ringankan segala perjuangan melawan rasa sakit.
Dalam hati,
aku berpikir kalau terus-menerus seperti ini, raga jua rasanya tak cukup tuk
penuhi keperluan berobatmu sampai sembuh. Siang malam kuberpikir hingga suatu
ketika aku memutuskan pensiun dini dari bank itu. Aku keluar. Ibuku terkejut
akan keputusan ini. Namun, tekatku sudah bulat. Aku ingin mengobati sakitmu
dengan uang pesangon ini hingga kau sembuh total. Sayangnya aku tak
menceritakan padamu tentang bagaimana semua ini bermula. Yang kau tahu hanyalah
tiap hari aku mengantarmu berobat. Itu saja.
“Besok, mungkin
rasanaya sudah genap sebulan aku mengantarnya berobat...” pungkasku. Tak ada
kesedihan dalam diriku. Optimisme dan ekspektasi yang luar biasa akan
kesembuhannya begitu menyeruak dalam darah.
“Semoga
Tuhan menjawab doaku...” batinku berbisik.
Memang
benar, sebulan sejak terapi itu, dia tak pernah kambuh-kambuh lagi. Namun, uang
ini tak lama akan habis juga. Dan berarti rasa sakit itu akan kembali menerpa
raga Vina yang lemah.
Kepalaku
berat oleh segenap masalah yang belum tahu bagaimana tuk selesaikan.
Mata ini rasanya gelap tak mampu menikmati mentari yang bersinar tanpa rasa
lelap. Kuberpikir tentang beberapa kemungkinan tentangmu, tentang kita. Aku
terdiam. Merintih di bawah langit biru yang membentang.
Seperti biasa,
aku datang ke kamarmu di pojok lantai tiga rumah sakit itu. Kulihat ada lelaki
gagah tinggi besar sedang menjengukmu. Aku tak jadi masuk. Menunggu dia pergi
dahulu. Aku tak mau mengganggu momen itu. Mungkin dia saudara jauhmu, teman
lala, atau jua teman kerja. Aku tak tahu.
“Cukup lama
lelaki itu mengobrol. Aku mulai bosan menunggu. Makin dalam saja aku ditelan
fatamorgana,” gerutuku.
Usai
beberapa saat aku masuk ke ruangan itu tuk bertemu kasihku. Dia tampak
ceria. Aku tak bertanya apa-apa tentang lelaki tadi. Diam saja sambil menunggu
dia yang membuka cerita. Dia bercerita tentang kakak kelasnya tadi sewaktu SMA
dulu.
“Sudah
sukses sekarang ... Sayang, belum punya pendamping hidup...” ceritanya.
Aku terkejut
dengan kata-katanya. Terpikir dalam benakku ini bahwa Vina seharusnya
mendapatkan lelaki yang sukses seperti Dira, nama lelaki itu.
Mata Vina
terpejam. Seperti letih setelah terjaga sekian lama. Dia beristirahat di
ranjangnya sedangkan aku duduk di kursi ini, memandangnya dengan sejuta cinta
sambil menggenggam erat jemari lentiknya.
Semakin
sering saja Dira berkunjung ke sini. Keluarga Vina juga sangat terbuka akan
Dira. Seperti sudah mengenalnya lama. Kulihat mata Dira berbinar saat menatap
Vina. Tak ada rasa cemburu atau iri dalam batinku kini. Aku malah senang Vina
bisa tersenyum kembali.
“Tak salah
lagi. Mereka pasti punya suatu hubungan spesial dulu,” aku menerka.
Setelah
kutanya pada ibu Vina, memang benar, Dira adalah cinta monyet Vina saat SMA.
Tapi hanya cinta anak ingusan yang tak lebih dari sebuah guyonan.
***
RUMAH sakit
akhirnya memulangkan Vina. Bukan karena dia telah sembuh, dia masih perlu
terapi. Namun, biaya yang tak sanggup lagi memenuhi. Tabunganku juga telah
menguap. Habis tak bersisa.
“Tak apa.
Ini demi kamu...” telaahku.
Setelah
sesaat termenung, aku sadar jikalau kau terus bersamaku, takkan bisa penyakitmu
itu sembuh. Sementara di sisi lain, ada lelaki yang menurutku sangat
mencintaimu. Dia juga terbilang orang beruang. Rasanya tak sulit baginya tuk
membiayai segala keperluan kritismu sampai kau benar-benar sembuh dan tak lagi
kambuh.
Tiap hari
kurasakan kau memang cocok bersanding dengannya. Aku tak akan menghalangi.
“Semua telah ditakdirkan begini...” lanjutku.
Kuawali pembicaraan
serius senja itu. Tentang topik masa depan hubungan kita. Kujelaskan padanya
jikalau kau terus mempertahankan hubungan ini denganku, kau tak akan pernah
sembuh, lebih lanjut kau juga akan mati dan kita tak akan berulang lagi.
“Bukankah
mati itu di tangan Tuhan?” tanyamu.
“Iya benar,
tapi...” aku tercengang.
Kau
menumpahkan air matamu di bahuku. Entah apa maksudnya. Aku tahu ini berat untuk
kita. Namun, kau harus sadar ini yang terbaik untuk kita.
Kita tak
akan bertemu lagi tahun depan atau bahkan sebelum tahun itu tiba. Tak lupa
kuucapkan selamat tinggal padamu dan keluarga. Kau sudah dewasa. Jauh lebih
dewasa mengartikan berbagai sumbu kehidupan. Aku lega.
***
ENAM bulan
pascaromansa senja itu. Undangan pernikahanmu bersama Dira yang kutunggu
akhirnya sampai ke rumah.
Aku tak akan
datang. Bukan karena rasa sakit itu yang masih membekas. Hanya aku yakin kalau
kau pasti sangat bahagia bersanding dengannya. Penyakitmu juga telah hilang
berganti cerita suka dalam setiap nuansa. Aku menghela napas panjang pertanda
lega. Syukurlah.
***
BEBERAPA
tahun kemudian nasibku ini juga telah berubah. Bukan lagi Hans si pegawai, kini
jabatanku adalah orang nomor dua di salah satu bank nasional. Hanya saja saat
ini, sukses telah kuraih tapi tak tahu sebenarnya tuk siapa.
“Untuk kamu?
Untuk siapa?” guratan tanya yang tak butuh sebuah kata.
“Apakah aku
menyesal? Apakah aku harus merebutmu dari Dira?”
Aku tak
yakin ini ceritaku. Yang kutahu kadang kala kita harus berhenti tuk
mencintai. Bukan karena orang itu berhenti mencintai kita. Melainkan karena
kita menyadari bahwa orang itu akan lebih bahagia apabila kita melepasnya.
Sampai
bertemu, Kasih. Sampai jumpa di lain kesempatan nanti. Aku tak pernah menyesal.
Aku tahu dia dan kamu memang sempurna tanpa aku yang menjadi pemisah. Tetaplah
bernyanyi, meski terkadang tiada lagu di hati.
Rintik hujan yang takkan terlupa. Tetap mewangi hingga esok kumenutup mata.
(IPM)
Bandung,
September 2011
#Ilustrasi diunduh dari sini