MASIH
teringat jelas dalam memori Reno tentang kisah-kisah tak sempurna di masa SMA
dulu. Ya, banyak orang beranggapan bahwa masa SMA adalah masa-masa paling
indah. Masa di mana seorang remaja bersiap menuju kedewasaan serta mulai
mengenal arti cinta dan kehidupan. Semua melekat rapi di masa itu. Setiap hari
adalah bahagia dan setiap saat takkan terlupa. Tapi mungkin opini tersebut
kurang klik dengan kisah Reno. Hidup dalam kondisi yang kurang beruntung
mengharuskannya melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan oleh teman
sebayanya. Setiap pagi buta Reno harus bergegas mengantar koran untuk warga
kompleks yang berlangganan. Setelah itu barulah dia bersiap berangkat ke
sekolah.
Kisah Reno
tak selalu tentang kondisi ekonominya yang pelik. Namun, sebagai manusia bukan
dewa tentu dia memiliki berbagai macam kisah cinta. Mulai cinta monyet sampai
cinta sejati mungkin telah terangkum indah dalam buku hariannya. “Apa salahnya
seorang lelaki memiliki buku diari?” kata Reno menyanggah. Maklum, dalam hal
menulis Reno sangat piawai memainkan kata dalam setiap karyanya. Di diari itulah
mungkin dia menemukan dimensi lain yang lebih indah daripada dunia realitanya.
Setiap sore atau kadangkala malam, Reno selalu duduk santai di bangku lusuh
dalam kamarnya, bersandar, sambil mencurahkan segala kisah yang terjadi di hari
itu. Dia sangat menikmati hingga terkadang tak terasa sudah dua jam berlalu
begitu saja.
Keahlian
Reno dalam hal menulis ternyata berbanding terbalik dengan keahliannya dalam
menaklukkan hati seorang wanita. Reno tergolong pecundang dalam hal ini. Rasa
takut, minder, dan khawatir bermutasi begitu hebat dalam diri Reno saat hendak
mendekati seorang wanita. Salah satu kisah terpanjang yang pernah terukir di
buku hariannya adalah kisah tentang Dinda. Seorang gadis yang di mata Reno
sampai saat ini merupakan mahakarya Tuhan yang paling sempurna. Paras, rona,
dan tutur katanya membuat Reno tak bisa tidur semalaman sejak pertemuan tak
sengaja tadi pagi. Saat Dinda lewat tak sedetikpun Reno rela membuang
kesempatan untuk memandangnya. Hingga suatu ketika Reno dan Dinda ditempatkan
pada kelas yang sama. Yaitu kelas XII-IPA-1. “Tuhan mungkin telah menjawab
doaku,” kata Reno hampir tak percaya. Maklum, setiap selesai beribadah, dia
selalu meluangkan sedikit ruang untuk memanjatkan doa pada Dinda. “Mungkin dia
jodohku,” kata Reno tegas.
***
HARI pertama
masuk sekolah setelah libur semester satu minggu lamanya, Reno tampak tak sabar
menanti jarum jam yang sangat lambat gerakannya dan tak menyegerakan pukul
06.00. Reno barulah pergi ke sekolah setelah pukul 06.00 sebab jarak dari rumah
ke sekolah hanya lima kilometer yang maksimal ditempuh sepuluh menit lamanya.
“Cukup dekat, bukan? Jadi buat apa berangkat pagi-pagi,” kata Reno.
Tepat pukul
06.10 Reno sampai di depan kelas XII-IPA-1 itu. Berhenti sejenak sambil
membayangkan apa yang akan terjadi selama delapan jam pelajaran nanti. Suara
bel tanda masuk pun berbunyi memecah segala bayang Reno dan segeralah dia duduk
di bangkunya. Tak berselang lama, Dinda datang dengan lari kecil menyangka
bahwa Pak Toni sudah terjaga dalam kelas. Karena terlambat, Dinda mau tak mau
harus duduk di sisa bangku kosong itu yang tidak lain berada di samping Reno.
Jantung Reno tak hentinya berdetak kencang saat Dinda duduk dan bicara,
“Hai,
selamat pagi. Aku Dinda. Kamu?”
“E…A…Aku
Reno,” jawab Reno gagap.
Tepat
setelah perkenalan itu, Pak Toni datang sambil membawa beberapa buku fisika
serta bersiap memulai pelajaran hari itu.
***
DUA jarum
jam di kelas perlahan tapi pasti bergerak menuju angka tiga dan dua belas
membentuk sudut siku-siku. “Sudah pukul 03.00 tepat,” kata Reno. Dentingan bel
pertanda jam pulang pun terdengar di kedua daun telinga Reno. Semua murid dalam
kelas termasuk Dinda merasa lega karena telah melalui hari itu. Mereka pun
bergegas pulang. Terkecuali Reno. Ya, saat ini bagi Reno, senja dan malam
bagaikan neraka sedang pagi dan siang adalah surga. Mengapa? Saat senja datang
dan berganti malam, Reno harus rela berpisah dengan Dinda. Hal tak menyenangkan
bagi Reno tapi biasa saja bagi Dinda. “ Kalau saja jam sekolah bisa dibuat 24
jam sehari, aku pasti takkan menolaknya,” dalam hati Reno berbisik. Reno pun
pulang dengan motor butut buatan kompeni itu melewati ladang hijau yang
warnanya mulai luntur seiring tenggelamnya sang mayapada.
Hari demi
hari berlalu begitu cepat. Buku harian Reno pun juga semakin terisi berbagai
kisah hidupnya. “Masih tentangmu di hari yang murung ini,” sepenggal kalimat
pembuka di halaman depan buku harian Reno yang baru. Sebab yang terdahulu sudah
tak termuat lagi. Kata orang, ”Lembaran baru tentu kisah baru.” Tapi
tidak untuk Reno. Konsistensi dan ekspektasi yang begitu luar biasa akan Dinda
tetap melekat setia dalam memorinya. Namun, apakah Reno sudah menyatakan rasa
cintanya pada Dinda setelah delapan bulan terlewati?” Satu kata “belum”.
Bahkan, hingga satu minggu menjelang ujian nasional pun Reno belum berani
mengungkapkan rasa itu. “Apakah Reno seorang pecundang?” Tidak menurutku. Dia
hanya merasa belum pantas bersanding dengan Dinda. Hanya perkara waktu saja
yang akan menjelaskan semuanya secara gamblang tanpa perantara.
***
EMPAT hari
yang sangat menentukan masa depan Reno pun datang. Reno telah mempersiapkan hal
itu dengan baik. Tak ada raut ragu atau bimbang dari wajahnya. Dia siap.
***
SATU bulan
berlalu sejak hari Senin, 18 April itu, Reno tampak harap-harap cemas
menantikan pengumuman kelulusan yang rencananya akan dipampang di mading depan
aula tepat pukul 10.00 nanti. Berharap yang terbaik karena tak tahu harus
melakukan apalagi. Dari kejauhan tampak seorang lelaki berseragam KORPRI
membawa sepuluh kertas berisi pengumuman tersebut. Lelaki itu menempel
kertasnya dengan erat di mading dan seketika siswa-siswi yang dari tadi menanti
langsung menyerbu mading itu. Tak terkecuali Reno. Entah bagaimana caranya dia
bisa berada paling depan di antara yang lain. Saat berpaling, wajah cerahnya
terhampar seraya mentari yang baru kembali dari peraduannya. Reno mendapat
nilai memuaskan. Syukurlah.
Setelah hari
itu, Reno sadar bahwa waktunya bersama Dinda semakin lama semakin tipis saja.
Setelah ini mereka pasti akan sangat jarang bertemu. Maklum, Dinda telah
diterima di Fakultas Kedokteran Unair Surabaya sedang Reno melanjutkan studi ke
Institut Teknologi Bandung.
***
BULAN Mei
pun bersambut, anak-anak kelas juga telah menyiapkan acara perpisahan yang
rencananya digelar esok malam. “Mungkin tinggal esok waktu terakhirku bertemu
Dinda. Aku harus memilih untuk mengubur rasa cintaku padanya dalam-dalam atau
mengungkapkan di depan semua esok,” kata Reno di tengah hening malam. Reno
sadar bahwa akan sia-sia perjuangannya selama ini apabila tiada seorang pun
yang tahu, termasuk Dinda. Tak membuang waktu, Reno mengambil sepucuk kertas
dan pena hitam miliknya bermaksud menulis sebuah puisi curahan hati untuk
Dinda. Reno berniat membacakan puisi itu esok, tepat di acara perpisahan kelas.
Puisi itu berbunyi :
Tuk
kekasih sejati
Tertegun ku dalam kesunyian hati
Masih tentangmu di hari yang murung ini
Tak akan lupa meski telah kucoba
Tak akan sirna karna tetap terjaga
Gerimis siapakah itu, mengetuk pintuku, lantas berlalu
Tidakkah kau tahu hati ini tlah melekat indah di parasmu
Hingga tak lagi dapat berlari seraya senja di dermaga ini
Kulabuhkan rasaku di manis ronamu
Kurebahkan jiwaku di lembut bahumu
Kusandarkan hatiku di senyum indahmu
Kutanamkan benih kasihku di taman surgamu
Berharap kau jualah yang akan memetiknya nanti
Meski aku tak bisa menghalangi
Kubiarkan cinta ini mengalir seperti air
Sampai akhirnya hilang dengan caranya sendiri
Tapi harus kau tahu
Dulu, saat ini, nanti dan selamanya tetap bayangmu dalam bingkai hati
Karna mencintamu adalah bahagia untukku
Dan akan tetap ku menunggumu
Tapi, kalau saja sisa usiaku ini tak sampai
Biarlah kutitipkan jasad ini, agar aku leluasa memandangmu
Meski tak bernyawa lagi
Meski harus di lain dimensi
Aku rela.
Dengan
berakhirnya baris puisi itu, berakhir pula kisah cinta rumit tentang Reno-Dinda
yang terajut sempurna dalam buku hariannya.
“Lucu sekali
ya kisah cinta ayah ibu dulu,” kata Ramona yang tidak lain adalah putri kedua
hasil pernikahan Reno dan Dinda ketika tak sengaja membaca buku harian ayahnya.
Senja memang seharusnya berlatarkan jingga.
(IPM)
Sidoarjo, Januari 2011
#Ilustrasi diunduh dari sini