GERIMIS senja kini memiliki beberapa warna
yang semakin merah. Beberapa terkadang jatuh pada pelataran gedung-gedung tua
yang berkerak di tiap sudut bangunan. Saat menetes, tepercik, air dari rintik
itu perlahan membasahi beberapa fragmen dinding berlabel sejarah. Sejenak,
tembok tak bertuan itu berubah warna, memerah, menjingga, lalu kembali semula.
Saat kuperhatikan, aku tertegun menatap fenomena rintik senja itu. Barangkali,
itulah rintik yang luruh bersama air mata kesedihan. Saat berjumpa dengan yang
lain, mereka seketika menjelma menjadi warna-warni air mata, warna yang merah
kelabu serta menumpahkan berbagai rasa haru, mungkin juga, saat itu rintik
senja sedang berbagi cerita sedih dengan sesamanya. Namun, aku gamang akan hal
itu.
Berbicara
tentang gerimis, aku selalu menantikan rintik-rintik datang tepat di bulan
September. Di bulan itu, selalu aku mengingat beberapa romansa yang tak pantas
ditoreh, tak sanggup dicitra, serta tak ada daya membaginya. Bagiku, setiap
bulan tentu memiliki beberapa jenis rintik atau gerimis. Misalnya saja Januari
dengan rintik hijau tosca, Februari dengan gerimis merah muda, Maret dengan
rintik abu-abu, serta yang lain. Aku mengingat semuanya, sebab seluruh rintik
telah kucoba bagaimana mereka memberikan makna. Dari berbagai rintik, tentulah
rintik senja di bulan September yang khas akan kesedihannya. Barangkali, bulan
itu memang sengaja diciptakan untuk mengingat keharuan.
***