GERIMIS senja kini memiliki beberapa warna
yang semakin merah. Beberapa terkadang jatuh pada pelataran gedung-gedung tua
yang berkerak di tiap sudut bangunan. Saat menetes, tepercik, air dari rintik
itu perlahan membasahi beberapa fragmen dinding berlabel sejarah. Sejenak,
tembok tak bertuan itu berubah warna, memerah, menjingga, lalu kembali semula.
Saat kuperhatikan, aku tertegun menatap fenomena rintik senja itu. Barangkali,
itulah rintik yang luruh bersama air mata kesedihan. Saat berjumpa dengan yang
lain, mereka seketika menjelma menjadi warna-warni air mata, warna yang merah
kelabu serta menumpahkan berbagai rasa haru, mungkin juga, saat itu rintik
senja sedang berbagi cerita sedih dengan sesamanya. Namun, aku gamang akan hal
itu.
Berbicara
tentang gerimis, aku selalu menantikan rintik-rintik datang tepat di bulan
September. Di bulan itu, selalu aku mengingat beberapa romansa yang tak pantas
ditoreh, tak sanggup dicitra, serta tak ada daya membaginya. Bagiku, setiap
bulan tentu memiliki beberapa jenis rintik atau gerimis. Misalnya saja Januari
dengan rintik hijau tosca, Februari dengan gerimis merah muda, Maret dengan
rintik abu-abu, serta yang lain. Aku mengingat semuanya, sebab seluruh rintik
telah kucoba bagaimana mereka memberikan makna. Dari berbagai rintik, tentulah
rintik senja di bulan September yang khas akan kesedihannya. Barangkali, bulan
itu memang sengaja diciptakan untuk mengingat keharuan.
***
MASIH terpatri
jauh dalam angan ini, beberapa percik air yang jatuh di bulan itu membasahi
sejengkal tanah. Sejenak lahan itu memerah, menjingga, lalu kembali semula.
Barangkali, itu rintik terakhir yang kuingat sebelum semuanya berubah. Sebab
kini gerimis tak lagi datang sebagaimana dahulu. Rintik hijau tosca kini
terkadang datang kala November, gerimis merah muda tahun lalu jatuh di tengah
Agustus, tapi anehnya rintik senja tetap melagu di bulan September. Meski tak pasti
di awal, pertengahan, atau bahkan akhir penanggalan.
Beberapa
sebab pastilah mewujud menjadi sebuah alibi, karena tidak ada di dunia ini yang
tak sanggup diurai maknanya. Mungkin banyak orang bersuara bahwa cinta adalah
hal yang sukar dicerna. Mereka beranggapan dalam cinta ada spasi kosong yang
tak pasti terisi maknanya, atau juga terdapat lentera gelap dalam cinta
sehingga mereka hanya meraba tanpa pernah melihat apa esensi dari cinta. Aku
mungkin dahulu adalah bagian dari kaum pembunuh cinta, sebab kami selalu ragu
dan khawatir tentang romansa yang dicipta oleh Sang Pemilik Rasa. Kami
terkadang juga gamang tentang keabsahan rasa ini, kelanggengan sikap ini, serta
banyak lain yang tak dimengerti.
***
DAHULU, saat semua masih ungu, aku adalah
aksen tak bertitik. Terus saja berjalan mengikuti arus ke mana pun ia pergi. Ke
jeram yang dangkal, tepian danau yang keruh, muara tak berfragmen, serta lautan
luas tempat menenggelamkan segala kesedihan. Saat berbalas menuju sebuah relung
kelam, aku sadar bahwa selama ini aku tak bernyawa, hanya beraga yang
digoyangkan oleh terpaan angin sehingga bergerak layaknya insan yang memiliki
napas. Hingga kutemui seorang Pelita, barulah aku mulai bisa dikatakan berasa.
Pelitaku
berparas senja, berlekuk pagi, serta bertatap langit malam. Saat aku bertemu,
Pelita tak bersuara, dia hanya tersenyum menyerukan kesenjangan rasa. Aku
terpatri dalam angan semu yang senantiasa kurajut dengan benang-benang
kerinduan, kesunyian, serta kesenyapan yang abadi. Dengan benang itu, berhelai
kain kesenduan terasa begitu dingin tercipta. Sehelai, dua helai, tiga helai,
hingga beberapa gulungan rapi tertumpuk di sebuah ruang dalam hati. Nanti, saat
semua telah terlampau sarat, aku akan merasa bimbang tentang semuanya. Namun,
untuk saat ini, aku lanjutkan merajut benang-benang itu kembali.
***
KAU tak pernah memandang rupa Pelitaku.
Kau juga tak bertatap saat itu hingga kau memaksa aku untuk melupakan
siluetnya. Kau meradang ketika kubilang mulai jatuh hati kepadanya. Tak berarak
ke mana tetaplah senyum hangat itu yang senantiasa kuraih, kupetik perlahan,
lalu kusimpan senyum-senyum itu ke dalam beberapa toples kenangan. Wadah kaca
yang bisa kujamah dengan mudah lekuk senyumnya, ceria nada, serta hangat
hembusan kata-kata. Saat kuterpuruk, terhempas dari roda dunia yang kencang
berputar, aku sesekali membuka tutup wadah itu perlahan, berharap tak
membangunkan senyummu yang sedang tertidur pulas. Kutatap dengan lambaian mata
berirama, kau tetap cantik, meski hanya dalam potret senyuman. Kututup lagi
wadahnya, kubiarkan kau kembali bermimpi tentang kita.
Sedikit
cerita, pernah kucoba memastikanmu menganggapku ada. Mematri segala harap dalam
raga menjadi hasrat yang kujamah. Aku mulai membuka diri akanmu, akan segala
keindahan yang tecermin dalam bingkai lirik ronamu, merah muda mustika, serta
tudung kain yang selalu tersemat anggun bak mahkota. Dalam alibiku, kau bahkan
bukan sekedar wanita, melainkan perisai bagi kaummu agar tak merendahkan
mereka. Dunia akhir memanglah kejam, tak ada tindak tanduk insan sejati lagi,
semua yang baik perlahan mati, berganti kesangsian yang terus lahir memenuhi.
Sejenak, aku mulai ragu akan akhir cerita, tentang bagaimana wujud kesenjangan
beberapa masa mendatang. Dalam batinku, semua telah abu-abu, begitu juga diriku.
***
PELITAKU tak kutangkap ternyata selalu
menyala hangat. Pelitaku telah memiliki Api yang lain, yang senantiasa
memberinya hidup agar tetap benderang. Api itu panas membakar Pelita tapi
tetaplah dengan itu dia menjadi bermakna. Macam memakan buah simalakama saja
nasib Pelitaku kini. Terjalin dengan Api yang sangat kubenci. Bercerita dengan
senja yang terangnya mulai luntur seiring jatuhnya rona dalam hati, aku tak
bisa berkata-kata lagi, diam termenung menatap Pelitaku berbincang dengan Api
itu. Dari sini memang tak terdengar apa yang mereka bicarakan, namun dalam
relung ini pastilah bergolak menyalahkan. Aku mulai sering melamun, merenung,
menyendiri di tengah ramai dunia. Aku masih tak bisa menerima.
Sadar dalam
naungan, aku haruslah melarikan rasa ini jauh-jauh. Melenyapkan kesedihan agar
bahagia bisa singgah dalam asa. Sejenak kutembak beberapa rasa yang
menjengahkan keadaan. Namun, tetap saja ada romansa-romansa kelabu yang
membakar rasa damai itu. Untuk cinta, aku harus kuat mengikhlaskan rasa yang
membelengguh raga, melumpuhkan sejengkal logika, serta memerahkan dinding hati
menjadi lukisan kesedihan.
Saat datang
rintik senja di bulan September nanti, aku berjanji akan menguapkan diri di
dalamnya. Menghilangkan raga agar tak lagi bisa mengingat Pelita, mengingat
Api, serta cahaya mereka berdua. Semoga rintik benar-benar datang di September
tahun ini.
***
RINTIK senja tak datang pada September
tahun ini. Aku juga tak mengira kalaulah rintik senja tak menampakkan alunan
nada tepat di bulan kesedihan. Tak pernah kucatat dalam sejarah bahwa rintik
senja tak jatuh di bulan itu sebelumnya. Mungkinkah terhempas di bulan
berikutnya atau tak pernah tertemui lagi? Aku tetap berharap agar rintik senja
segera datang dan aku bisa melupakan senyum dingin mereka.
***
TEPAT di penghujung Desember, rintik
senja jatuh dengan derasnya. Mengaliri persawahan, jalan setapak, hingga
kolong-kolong jembatan tempat beberapa saudaraku tinggal. Mereka sejenak
mengerti bahwa ini pertanda kesedihan segera datang, tempat melemaskan raga
hilang disapu deras aliran sungai yang berisi rintik-rintik senja. Rintik tahun
ini begitu deras, saking lebatnya beberapa volume air di berbagai tempat
penadah melonjak tajam. Tak kusia-siakan kesempatan tersebut untuk mencari
tempat perpisahanku.
Aku
menakzimkan ranah yang penuh akan rintik senja sebagai tempat perpisahanku. Aku
terjun ke dalamnya, menenggelamkan diri di sisi rintik senja yang bergerak ke
sana ke mari. Menghentikan segala ingatan akan Pelita dan beberapa romansa tak
sempurna. Aku menikmati hidup di tempat baruku kini untuk beberapa lama. Cukup
lama sampai kutak mengenal lagi siapa Pelita, tak mengharap lagi apa itu cinta,
serta mendamaikan hati untuk menyambut lentik-lentik jemari bidadari. Aku menghilang,
tak berpamit kepada siapapun. Mungkin di suatu tempat, Pelita sedang mencariku,
atau khawatir tentang keberadaanku. Tapi, itu hanya lamunan, tak ada yang
peduli tentang kau lagi saat ini. Berbahagialah dengan Api terhangat yang
menghabiskanmu bersamanya. Aku tak butuh kau saat ini.
***
TAHUN depan, tepat di bulan September, aku
akan pulang untuk menjenguk Pelita. Tak penting lagi bagiku tentang rasa itu,
sebab aku telah menghanyutkannya bersama rintik senja. Saat kutemui dirimu,
kutatap kosong perlahan, Pelitaku kini tak secemerlang dulu. Menghitam dengan
beberapa flek tanda perpisahan. Kau juga tak menyala lagi. Di mana Api
kekasihmu?
Aku tak
menanyakan sedemikian, sebab tak penting lagi siapa kau kini. Sama tak
pentingnya tentang di mana kekasihmu saat ini. Dengan segenap harapan semu,
kukembalikan potret senyummu di depan bidadari yang memeluk erat di sampingku.
Ini milikmu, kau tak lagi untukku. Kini masa depanku telah terajut bukan dengan
benang-benang kesedihan, melainkan dengan pintalan kasih sayang. Tempatku
berlabuh juga tak di dalam ranah lagi, sebab aku tak lagi bersedih. Kala kau
menangis menyesali keduanya, ketahuilah aku dulu pernah merasakan itu bersama
senyummu, Pelita. Semoga saat rintik senja datang, kau bisa tak lagi bersedih.
Namun, itu takkan mungkin, sebab cerita tentang rintik dan gerimis telah lama
jauh kupendam dalam pusaran ingat ini, bersamamu, juga berantai senyap memori.
Saat rintik terhenti, terbanglah mentari, bercahaya, membiaskan sinar membentuk
indah pelangi senja, tapi sayang, itu bukan kau, Pelita.
(IPM)
Bandung,
Februari 2012