Saat malam,
saat mentari tak lagi membiaskan sinarnya ke arah pelataran manusia, kau duduk
termangu di bawah keheningan rembulan, sendirian di pojok sebuah tenda yang
kukira tak bertuan. Kau tak menjawab saat kami berpamitan hendak pergi
menyusuri hutan malam. Hutan yang semakin pekat, semakin mudah kau menemukan
belantaranya. Kukira juga kau telah tertidur demi menyiapkan hari berbahagiamu
esok. Kami saja yang tak patut menerima hawa dingin, tetap melawan hingga raga
ini sakit karena dirasuki.
Saat pagi,
saat mentari tak lagi tertidur pulas memanjakan tubuhnya, kau telah bersiap
melanjutkan hari terbesarmu. Hari di mana kau mengenakan pakaian hitam
terbaikmu dan siaga menerjang apa saja yang ada. Aku sebenarnya ragu tentang
warna yang kau pilih di hari spesial ini, mengapa harus hitam? Adakah hijau
tosca atau merah bata yang lain?
Saat siang,
saat mentari bergegas menaikkan koordinat titik terpanasnya, kau tersenyum
melihat rekan-rekanmu termenung. Mencari hilang lekukmu, tawa manis, serta
renyah canda bersama derasnya aliran kehidupan. Kau tak ditemukan, hilang,
ataukah menghilang. Kau di mana? Mungkinkah kau lenyap bersama senja?
Saat petang,
saat mentari hendak menurunkan tirai cahayanya, kau memanggil kami menemukanmu,
mengharap kami tak murung, meminta dalam hati agar kami tersenyum. Namun, kami
tak sanggup, kami ingkar janji bahwa pertemanan adalah lentera kebahagian. Saat
kau datang, kami yang memulangkan. Sahabat tentu bukan seperti pelita dan api,
yang menghabiskan satu sisi, sedang seluruh ruangan berubah terang, namun
sahabat adalah selimut dan raga yang menggigil, yang selalu serasi kala kau
memanggil...
Selamat
jalan, Sahabat...
Bandung, Februari 2012