Sesuatu yang
menyadarkan bahwa kita pernah memiliki adalah kehilangan...
TAHUN 2009 adalah masa yang Engkau pilih
untuk kami bersua, berbincang tentang segala hal yang disebut orang sebagai
kisah cinta. Ya, kala itu kami hanya sepasang anak manusia yang buram akan apa
makna sebuah rasa. Selayaknya mencari meski tak ada seorang pun menjamin semua
akan tertemui, kami terus melakukan hal yang tak dimengerti. Seberkas terasa
hambar, namun secerca harap sanggup mengobati dahaga akan arti sepenggal kisah.
“Kupanggil
kau, Cantik, jikalau kau mengizinkan...” tawarku padamu yang semakin hari
semakin berseri, tanpa sebab. Aku harap karenaku, tapi tak tahu apa yang
tersembunyi di balik tirai itu.
“Tak perlu.
Kau cukup memanggilku Livia saja...” jawabmu singkat tapi sarat akan makna.
***
KIRA-KIRA itu awal
perkenalan singkat antara Livia dan aku. Kala itu, mentari sedang berlari dari
peraduan, memainkan tempo cahaya yang kian lama semakin pekat akan panas
sinarnya. Hari sudah terik. Dengan tergesa, aku berlari menuju satu ruang kelam
kenangan.
“Aku benci pencitraan masa lalu...” jeritku dalam hati.
Bagiku, kini kenangan tak lebih dari sebuah gelas kaca kosong, kering, yang di setiap sisi menghayatkan kerak tak bermakna. Dalam masaku, kau adalah penyampai dan akulah penerima sehingga tak perlu perantara bagi kami untuk berjumpa.
Entah
mengapa, selalu saja elegi akan rasa, menjelma menjadi beberapa siluet yang
akan membayangimu di mana pun kau berlagu. Saat kau ingin sendiri, menyunyikan
hati tanpa rela seseorang datang untuk menawarkan syair, bayang mengikuti pelan,
menelisik, mengendap hingga kau tak tahu bahwa bayang telah menangkapmu. Kau
boleh saja berteriak kencang, memberontak layaknya ikan dalam udara pasang,
membuncahkan amarah sampai berapi, sampai semua tenagamu lenyap tak berarti.
Tapi kau tak sadar, bahwa senja akan selalu menjadi senja dan siang tak pernah
bersinar sama seperti kemarin.
Seharusnya
kau sadar itu. Mengerti bahwa harapan adalah perintah untuk meminta lebih
kepada Sang Pemilik Cinta. Namun, kau hanya menengadah, membiarkan cerita
mengatur jalan berkisahnya sendiri. Kau tak mau mengikuti, apalagi merebut
rentetan kisah itu darinya lagi. Dalam alibiku kau yang pasrah, kala hati ini
meradang karena tingkahmu, justru kau menghilang bagai bayang di tonggak
pelataran pagi. Bersepi dengan pantai tak bertepi yang wanginya seperti mayat
saja, menyengat.
“Aku tak suka caramu!” teriakku di tepi sebuah ranah.
Aku mulai mengenal apa itu penghabisan. Kala aku gamang akan kesendirian, inderaku yang lain menguat melemahkan sesamanya. Bagiku itu tak masalah, karena masih terlampau banyak manusia yang bermata tapi tak melihat, bertelinga tapi tak merasa, serta berhati namun tak mengarti. Itukah ciri seorang insan? Ataukah segala raga di dunia hanyalah replika wayang, di mana dalang bebas memainkan sesuka hati, menjatuhkan, menenggelamkan, hingga mematikan dalam keadaan sesadis-sadisnya. Bukankah negeri ini telah menjadi arena kekerasan masal? Di jalanan ramai, di tempat peribadatan, hingga dalam rumah tempat kita berlabuh menukar rasa penat dengan senang yang terikat?
***
LIVIA adalah senja dalam pagi, karena
kelabunya memburamkan kacamata ketika mustika tak sanggup melihat pelita surya.
Dalam raga mungilnya, tentu, atau sudah pasti Sang Kaisar Cinta menyelipkan
kekuatan tak berhingga. Nurani semakin waktu, semakin bertambah peka akan
prasangka, seraya tak menentu apakah senja telah berganti pagi atau terus kau
ulangi kembali.
Perasaanku
akan Livia tentulah bukan kasih yang tak ternoda, barangkali tetes nodalah yang
memperbaiki semua sehingga lentera putih menjadi hitam pekat, seyogyanya sampai
kau tak bisa membedakan mana yang suci serta fragmen lain adalah keji yang
sejati.
Cinta itu
omong kosong, bukan? Tak ada yang lebih munafik dari rasa, karena ia tak tampak
pada permukaan, melainkan bersembunyi di balik raga yang berlumur berjuta
dusta. Di atas raga, seseorang adalah aksen-aksen yang tak masuk akal. Menjabat
seolah-olah raja namun tak ada yang mengira kalaulah anjing penjelmaanya. Aku
mulai jijik dengan analogi murahan macam itu, tak perlu.
***
BERCERITA tentang masa lalu tentulah
mau-tak-mau akan kubuka lembar-lembar senja tak berpelagi itu. Berpacu melawan
rasa sesak serta perih karena tak ada lagi sebutir obat untuk nurani. Selalu
saja, aku berkasih dengan gerombolan kaum penyuka kesedihan. Kelompok yang
mengantongi air mata dan menyulamnya menjadi selendang-selendang tipis,
transparan yang mengindikasi sifat kesedihan. Air mata itu simbol kelembutan
karena lepas tanpa terberatkan oleh angan semu. Seakan juga tak menentu hingga
waktu akan menuntut mengejarmu.
Saat kering,
air mata adalah kerak-kerak suci yang sering kautemui di pelataran. Kau mengira
itu debu, sehingga tak sadar kausapu mereka sampai lenyap tak berbekas.
Padahal, ketahuilah, merekalah yang meringankan kesedihan, mereka rela lepas
dari naungan demi kau, demi perluasan bidang sesakmu. Namun, itulah mereka,
setetes air mata.
***
LIVIA kuyakini masih tertidur hingga kini
di suatu tempat, hibernasi karena lelah akan kejam persoalan kisah. Mungkin
juga dia sedang bermimpi, saking indahnya sampai tak ingin terjaga lagi. Kalau
bisa memilih, aku lebih mencintai jalan yang tak nyata. Jalan yang tak ada
seorangpun mengerti arahnya, ke mana saja sama, tak ada salah maupun benar.
Semua adalah ragu, abu-abu.
Besok malam
Livia pasti terbangun. Dia akan membuka mata ketika hari kematiannya tiba. Dia
juga barangkali terenyak saat tahu betapa lama dunia ini telah berlayar tanpa
nahkoda. Menerjang ombak tanpa tahu koordinat berlabuh, terus melaju hingga
habis masa perdebatan itu. Namun, penghabisan adalah sejati, tak ada yang
sanggup untuk menghenti.
***
KAU telah siuman, terbangun setelah
bertahun hidup selaksa mati. Kau bingung, kau mencari-cari sesuatu. Gincu merah
di bibirmu telah tiada, menguap bersama udara yang mungkin meminta upah karena
kau selama ini menggunakannya dengan sesuka. Rambutmu yang hitam lebat juga
kini usang tak berpendar, semacam ijuk saja dari kejauhan, tak ada bekas hitam
sama sekali, semua memutih. Kulitmu yang langsat laksana sinar rembulan sudah
lama kukira tak bercahaya lagi, barangkali rembulan itu telah pindah ke kulit
yang lain, yang lebih pantas dia singgahi. Inikah, Livia?
Kuperhatikan
dari dekat, tak ada yang sama akanmu. Aku mulai ragu akan apa itu cinta. Saat
kau dulu memesona, pastilah semua berkata bahwa itu cinta. Namun, setelah
berubah, cinta tak lagi meminta untuk singgah. Tak ada yang statis dari cinta.
Kau boleh berbangga tentang kemolekan wajah, lekukan, atau raga yang kaupunya.
Tapi, tidakkah semua yang kaubanggakan adalah abadi? Tidakkah kau sadar bahwa
suatu saat semua akan pergi? Saat kau mengerti, kau ingin kembali, memulihkan
segala yang salah, tapi kau telah mati.
***
AKU melukismu dengan satu warna. Hitam.
Tanpa putih atau merah bata yang lain. Aku suka pelangi tapi tidak untukmu
lagi. Kau mungkin memang berwarna melebihi pancaran pelangi, namun telah tak
beraga. Sebab itu pula, aku mulai terbiasa mencintai siluetmu, tak lagi
menjamah hangat warna senyum manismu. Aku berjanji akan memberikan karya ini
padamu. Setelah kau menyaksinya, pasti kau tertegun tentang betapa kelamnya kau
di mataku.
(IPM)
Bandung,
Februari 2012