SUASANA pernikahanmu sungguh membahana.
Beribu bunga terpampang mesra di pelataran ketika aku hendak memasuki lorong
gedung serba guna itu. Gedung putih dengan kerak-kerak alami di setiap sudut,
ditambah model arsitektur klasik menjadikan tempat ini layak untuk kau utus
sebagai saksi mati hari berbahagiamu. Entah kembang yang sengaja kau pasang
sebagai dekorasi atau kiriman dari berbagai relasi suamimu terpajang rapi nun
sempurna. Semua cantik, segalanya indah.
Barangkali, seharusnya kisah ini tak perlu terjadi, andai saja kau kuat meretas nasib bersamaku, Larasati, tentu bukan dia yang kau kecup saat ini. Cerita kita dulu juga kupikir tanpa cacat, nyaris sempurna. Hanya saja, kau terlalu letih dengan keadaan. Hingga ketika kau terjatuh, tersungkur bersama raga manismu, kau memilih berdiri dengan menopang genggaman tangan itu. Bukan lengan ini yang selalu terbuka kapanpun kau butuh. Lebih ironis, kau juga pergi bersamanya, hingga terguratlah sebuah romansa senja tak berujung yang tersimpan ganjil dalam alinea.
***
AKU mengenalmu tiga tahun lalu ketika takdir
mempertemukan kita pada sebuah acara seni budaya di kota beku tak bertuan. Kala
itu, beberapa karyaku terpatri rapi di dinding bilik-bilik pameran. Mulai
lukisan, kayu pahatan, hingga dongeng-dongeng sastra tertata elegan penuh
variasi. Kukira agar tak konstan dengan satu aliran saja, namun tak kutahu kau
menyukainya.
Kau memandangi beberapa saat lukisan hujan karyaku. Kau pun menyentuhnya, dalam anganku kau juga merasakan basahnya air yang kulukis saat itu, tapi kau tak menghiraukan. Tak lama, lentik hitam putih matamu berpindah ke rantai kata-kata yang sengaja kutempelkan pada tembok tak berpelangi. Kau berkata padaku beberapa helah kata, isyarat yang kudapat adalah kau suka akan jalan ceritanya. Mungkin saja, kau mencintai, menyayangi karya senja juga penulisnya.
Kau memandangi beberapa saat lukisan hujan karyaku. Kau pun menyentuhnya, dalam anganku kau juga merasakan basahnya air yang kulukis saat itu, tapi kau tak menghiraukan. Tak lama, lentik hitam putih matamu berpindah ke rantai kata-kata yang sengaja kutempelkan pada tembok tak berpelangi. Kau berkata padaku beberapa helah kata, isyarat yang kudapat adalah kau suka akan jalan ceritanya. Mungkin saja, kau mencintai, menyayangi karya senja juga penulisnya.
***
DUA cangkir coklat panas menjadi pemisah antara kami saat ini. Memandangmu dari dekat rasanya bukan sesuatu hal yang mustahil. Ditambah lirik lambaian mata yang dalam alibiku menafsirkan bahwa ada gema di antara kami. Mungkinkah ini cinta? Ataukah kasih yang pantas diberi untuk sepasang kekasih?
DUA cangkir coklat panas menjadi pemisah antara kami saat ini. Memandangmu dari dekat rasanya bukan sesuatu hal yang mustahil. Ditambah lirik lambaian mata yang dalam alibiku menafsirkan bahwa ada gema di antara kami. Mungkinkah ini cinta? Ataukah kasih yang pantas diberi untuk sepasang kekasih?
Saat itu
masih kuingat bagaimana rembulan malam sedang mengintai gerik kami dari atas
nirwana, memandang tanpa berkedip sekali pun, serta menyinari langkah yang
terus melaju menuju jalanan rumahmu. Kali ini aku yang mengantarmu, bukan sopir
angkot atau metromini tak berhawa lainnya. Kau juga tak pikir panjang tentang
ajakan bersambang. Barangkali, kau tak sadar kalaulah cinta telah menelusup ke
dalam nadimu, setelahnya ia perlahan menanjak, naik, dan sampailah nurani dalam
taraf kasmaran. Indah, bukan? Ini bukan sastra, ini nyata.
***
MEMAKNAI pertemuan tentu bukan tentang
mewarnai pelangi di langit malam yang semu serta tak bermakna. Beberapa frasa
mungkin takkan pernah mewakili rasa yang dijamah kala cinta telah hinggap pada
kedua insan saling berbeda. Dengan cinta, apa yang tak sama menjadi serasi,
mengubah segala jenjang mewujud bidang datar, serta meracik segala alibi agar
tetap mewangi. Sesampai cinta pada tujuannya, cinta tentu tak akan diam, cinta
pasti kembali mencari tujuan lain akan cinta. Karena cinta tak pernah sama pada
satu waktu, selalu mengubah senja menjadi gulita baru, seakan pula merangkai
mimpi yang tidak logis terjadi.
Ketika
kuikat rambut ikalmu, aku sadar bahwa kau telah jauh berlalu. Bukan helai ini
yang kubelai saat itu, mungkin juga jemariku telah kehilangan sentuhan peka
akan romansa. Tapi tak mungkin, sebab segala kenangan pastilah merajuk pada
satu titik. Entah sengaja atau tidak, titik itu sejatinya takkan bisa terhapus
sampai kau meletihkan diri di pelataran tanah, bermandi deru air mata dari sanak
keluarga, serta hari tak kuasa menutup halaman senja. Kau menguap, Larasati.
***
LENTERA pagi ternyata semakin menjelma
menjadi secangkir kopi hangat tak bermanis, tetap pekat dengan aroma pahit yang
menguat. Sementara di lain sisi, mungkin kau masih tertidur lelap dengan
kekasih tak bermata di sebuah ruangan gelap. Menunggu hingga mentari melayang
tinggi, barulah mata terbuka serta raga saling menjaga. Barangkali surya tak
akan terbang hari ini, kuikat erat sumbunya dengan gemerlap kesedihan agar kau
tak bermata, kekasihmu juga. Sebab dengan mustika itu, aku tak bisa menatap ke
depan, selalu ke arahmu. Aku masih ingat ketika kau berlalu menggenggam erat
lengan kekasihmu di depanku, masih segar dalam lamunan saat kau meneguk mesra
lambaian perpisahan kita, juga masih terasa amis rasanya bau sandiwaramu di
balik kesenjangan nuansa.
“Semua masih
kuingat, Laras...” desahku pelan.
Mungkin,
saat kepala ini dibenturkan beberapa kali ke dinding berduri, atau menghujamnya
dengan timah panas sampai berlubang sebesar biji barulah aku tak bisa
menggambarmu lagi. Namun, aku tak mau melakukan hal yang sia-sia. Sebab hidupku
telah cukup terbunuh dengan senja yang kau retas bersamanya. Menghilang bagai
sajak-sajak tak berpenulis, meringkas cerita sastra murahan dengan rentetan
nada sinis, hingga meraibkan puisi menjadi kertas buram tak berarti telah
berkali kujalani. Hanya saja kau tak melihat, tak bermata.
***
***
KUCARI tahu tentang kekasihmu, yang kau
sandarkan padanya pita-pita kehidupan masa depan, tapi aku tak memperoleh
sebuah alasan untuk berpaling dari kenyataan. Dia hanya seorang babu
duniawi, Laras. Pesuruh yang mengerti kemauan tuannya sehingga tak sanggup
melawan arus. Dia juga hanya diam mencari zona nyaman dengan asumsi kekayaan
selalu rapi tergenggam di tangan. Kekasihmu itu tak lebih dari sebongkah sampah
berbungkus hadiah. Gaya kelas atas macam jas dan celana kain tak berlekuk,
sepatu kulit mengkilat yang menyilaukan mata para pengais kesedihan, serta dasi
dengan corak garis-garis tak bermakna. Tak ada kesan dari dandanan itu, semua
topeng. Sayang, kau tak melihat, aku lupa kau juga tak bermata.
Sekali lagi,
kupererat menarik sumbu mentari, agar kalian berdua tak terbangun, tak bermata.
Sebab kau telah menjadi bagian mereka. Kini aku lebih tak suka gerak-gerik
kalian. Tak suka gelagak berpura mengasihi tapi tetap saja sepeser emas harus
disiapkan agar proyek berjalan ke depan. Aku juga tak hormat dengan tabiat
kantuk kalian, yang selalu berkencan dengan dewa-dewi mimpi ketika musyawarah
agung sedang digelar, atau berhias meraih angan semu dengan meronce berantai
kekayaan. Apalagi ketika palu diketok dengan suara ganjil, kalian seakan telah
merampungkan sebuah masalah, namun di balik saku, masalah sejati barang tentu
baru dibuka saat seluruh perhatian berlalu.
***
LARASATI, aku mengerti maksud undangan ini,
pengertian bahwa kau telah berhasil menaklukan aku dengan berjuta asa yang kau
gantung tinggi nun semu. Aku juga dapat menangkap wajah pucat suamimu yang
menakzimkan ketidakadanya jiwa di sana. Kau menikahi jasadnya, bukan dia. Bukan
hangat suhu tubuh atau keluasan berpikir yang lain. Kini, sengaja kulepaskan
sumbu mentari agar terbang ke angkasa, agar kau terjaga bersama kekasihmu. Saat
kau bermata, bersanding dengan manekin tak berjiwa, kau tahu, aku juga
merasakan aroma kebahagiaan itu. Sebab, kini akulah yang tak melihat, tak
bermata, tenggelam bersama oase dalam fragmen yang kau buat bersamanya.
(IPM)
Bandung,
Februari 2012