Salam dari
Jiwa untuk Cahaya...
YANG kuingat darimu sejak terakhir
bertemu adalah senyuman, yang lain aku lupa. Aku tak tahu warna baju yang kau
pakai ketika itu, lentik gelang yang tersemat di kedua lengan, corak tudung
kain tipis di kepala, atau aroma khas seorang wanita yang kau kenakan. Semuanya
aku tak ingat. Mungkin dengan senyum itu, aku sedikit bisa membayang bagaimana
sketsamu saat ini, gambaran akan fisik serta rona diri seorang Cahaya. Sebab,
sejak senja itu aku tak lagi memiliki kesempatan untuk bertolak, berbincang,
sambil basa-basi akan kenangan denganmu. Semua tak kuperoleh.
***
MASA putih abu-abu semakin berwarna saja
ketika kau sadar bahwa semua telah berubah, telah menjadi sebungkus potret
dalam bingkai tak bernyawa. Masa di mana seorang insan merangkul orientasi lain
dalam hidupnya, berteman, bercengkrama, serta meracik bumbu-bumbu kehidupan
remaja. Mungkin dalam hidup, masa itu takkan terulang, namun dengan kenangan,
semua dapat kau ulang sebagaimana kau mau. Seperti hari ini, hari di mana aku
membuka lembar demi lembar masa lalu, sebenarnya aku tak ingin, sebab aku
memiliki ikatan akan hal ini. Tapi inilah janji, ingin tak ingin harus kau
tepati.
Bercerita
tentang Cahaya haruslah kau mengerti bagaimana deskripsinya. Hawa berumur
belasan tahun yang bermata elok, berkulit langsat, berjari lentik, serta
memiliki senyum yang anggun. Aku tak yakin akan ceritaku, sebab aku telah lupa.
Tak lagi mengingat apa-apa darimu, kecuali senyum.
Seluruh
kejadian masa lalu selalu kurangkai rapi dalam album-album bersampul putih,
warna yang bersih dengan berantai keindahannya. Warna itu pula yang menyilaukan
siang saat kami pertama bersua. Berjumpa di dalam ruangan hampa dengan corak
arsitektur Belanda. Jendela yang tinggi nun lebar, berpasang dengan daun pintu
kokoh, teralis di ujung-ujung saung, serta cat yang mulai luntur. Di ruang
itulah kami berjumpa, berbincang tentang nama serta yang lain. Namun, Cahaya
tak bersuara saat itu, entah dia berbicara tapi aku yang tak mampu mendengar
atau sengaja dia membiarkan tegur sapaku. Dalam albiku, dia juga tak bergerak
ketika itu, apa karena tak berhawa atau aku yang tak sanggup mencitra. Sekali
lagi, aku tak yakin akan kisahku, sebab aku tak mengingat segalanya lagi,
kecuali senyum.
***
CERITA ini tak berlangsung lama, hanya
beberapa ganjil caturwulan saja. Sebab perbedaan datang memisahkan perjumpaan,
dan spasi selalu memberikan abdi bagi kami. Ketika itu aku masih terbayang
tentang semua perjuangan kami dalam menjalani kehidupan sekolah tingkat awal,
dengan adaptasi pada lingkungan baru serta romansa yang tak kami mengerti.
Sejenak, kami masih gamang mencari apa itu makna, apa itu rasa, serta aksen
yang menjalin antara makna dan rasa. Semua tak kami mengerti, hanya menjalani.
Aku kini tersenyum mengeja semuanya, tapi kau tak tahu jikalau saat itu aku
juga bimbang sepertimu, seperti kita.
Inilah
proses, suatu waktu yang diberikan Pemilik Masa agar kau mengerti beberapa ilmu
melalui sejengkal pengalaman. Dengan itu, aku mulai mengerti apa arti
perjumpaan, persinggahan, serta perpisahan. Ketiganya adalah satu paket dalam
hidup. Ketika kau berjumpa kepada seseorang, ketahuilah bahwa kau sedang
melakukan singgah, diam yang temporer dan selalu berubah, saat semua berkelok,
kau sadar kalaulah hatimu telah pergi ke arah yang dia inginkan, ketika itu
terciptalah kata perpisahan. Segalanya mungkin sebuah siklus yang akan kembali,
terjadi, dan berganti. Tanpa itu hidup adalah mati.
***
SELAIN beberapa kalimat di atas, aku tak
bisa lagi mengguratnya. Sebab tak ada lagi yang kuingat dari Cahaya. Kau kini
juga kurasa telah hidup bahagia merangkai mimpi di kota N dengan pangeran
terbaikmu, pria baik yang mencerminkan keindahan perilakunya serta
bertanggungjawab atas segala tutur kata. Dan, mungkin di sini, di kota D, aku
juga telah tertambat dalam hati seorang permaisuri, wanita yang berparas senja,
berlekuk pagi, serta bersenyum sedingin malam.
Tak ada yang
salah tentang sebuah kisah, barangkali senyum yang kuingat dalam hati selama
ini adalah kilau persahabatan. Senyum dari sahabat lama yang memberikan arti
beberapa kisah agar dewasa sesuai waktunya. Semoga saat kami berjumpa, tangan
ini tak lagi gemetar karena gugup berjabat, tapi memegang erat menyuarakan arti
seorang sahabat.
(IPM)
Bandung,
Maret 2012
#ilustrasi diunduh dari sini