Jikalau aku
memiliki kesempatan lebih untuk menghapus seluruh lekuk dermaga dari kotamu,
pasti akan kulakukan dengan sungguh-sungguh...
BERKALI kukatakan dengan nada berirama
bahwa aku pernah melihat semua yang tak kau lihat, menemukan yang selama ini
kau cari, serta mengubur segala sesuatu yang berbekas kenangan. Segalanya
pernah kualami, kunikmati, dalam segenap hidup bertahun selaksa mati.
Aku mulai
bercerita tentang tempat paling senja di kotamu, tempat yang lekuk indahnya
sanggup membuat deras darahmu mengalir, serta rona mata berubah merah tak kuasa
menitih air mata. Dalam ruang waktu, aku pernah menelisik jauh hingga ujung
negeri, terbang terbawa angin menuju dangkal air laut, tapi yang kudapat
hanyalah kesunyian, kesepian, serta ketiadaan yang melengkapi setiap romansa
alinea kehidupan. Hingga terjalinlah sebuah rahasia tentang bagaimana tempat
paling senja itu berkisah.
Dahulu, saat
dermaga masih berbintang, di sana sering kulihat beberapa senyum yang
mengembang. Entah para buruh panggul dengan beberapa minuman penyegar
kelelahan, wanita berlekuk yang senantiasa merayu memanggil mereka yang tengah
kesepian, atau juga lelaki tak bermata yang menunggu umpannya tersaput ikan air
asin pinggiran dermaga. Meski kulihat sedikit senja terpotong dalam wajah
mereka, kuperhatikan ganjil bahagia masih setia mengembang dalam senyuman.
Namun, itu hanya kisah terdahulu, jauh sebelum aku dan kau bertemu.
***
LEMBAR kita seakan terbuka setelah kisah
kebahagian lenyap diretas. Tak ada cerita. Sebab hidup adalah gelombang,
jikalau satu sisi telah sempurna, lain sisi hampir pasti mensyairkan petaka.
Semua saling melengkapi, saling menjaga, seperti tangis yang setia
menghamburkan tawa. Dari sini, kau datang membawa lekuk sempurnamu,
mengundangku untuk bersambang, untuk terjatuh dalam buaian kasih semu milik
sepasang insan. Kuperhatikan, segala terlihat sempurna, tapi tidakkah kau tahu
jika terkadang yang baik menurutmu tersimpan keburukan yang sejati, tidakkah
kadang yang kau benci adalah sungguh sebuah kebaikan abadi? Segalanya tak kau
mengerti.
Semua yang
kuberikan padamu sesungguhnya adalah keraguan, murni berlatar abu-abu, antara
tidak dan rasa mau yang pura-pura. Kadangkala aku menyangsikan tentang rasa
ini. Apakah kau tak menyadari jika aku tak sungguh-sungguh mencintai? Tak
sepenuh hati peduli? Tak mau tahu apa kau juga menyayangi? Segala tak berjawab,
tak menemukan titik terang untuk menerangkan. Hatiku gamang.
Yang kusuka
darimu adalah sikap tak banyak tanya. Kau, Dara tak mau tahu apa-apa yang belum
kau mengerti. Selalu saja menjalani hidup menghadap ke belakang. Menengok
sejarah tanpa pernah mencoba hal-hal baru di depan. Sebab, masa lalumu sungguh
sebuah senja yang sejati, yang pekat gulita tanpa tatanan cahaya, hingga dengan
berjalannya waktu kau terbiasa dengan sunyi, dengan kenangan yang menyiksamu
selaksa mati.
***
DAHULU sebelum kita bertemu, sebelum
matahari terbit dari utara, hari-harimu senantiasa melagukan kisah-kisah
melankolis, cenderung tragis. Kau hanya seorang wanita tak beruntung di tengah
beku sebuah malam dermaga. Malam yang penuh kesunyian, namun ramai dicari oleh
para lelaki pemerhati. Mereka datang berbondong-bondong setelah lelah mencari
upah dunia. Membawa sebotol bir bermerk murahan dengan sisa oplosan bahan berbahaya
tak masuk akal, mendekat, merayu, menyentuhmu dengan sentimentil tanpa
perasaan. Di otak mereka hanya tersirat birahi, tanpa kasih atau cinta kepada
makhluk yang bernama wanita. Mereka membelimu dengan beberapa peser mata uang
tak bermakna. Kau yang terjebak dengan sandiwara mereka tentu tak sanggup
melakukan apa-apa. Kau menangis. Merengek sejadi-jadinya ketika mereka tertawa
menghabiskan malam selaksa tanpa dosa. Aku bisa melukis kesedihanmu saat itu,
tepat saat air matamu mengering dan meninggalkan noda tak berwarna di pipi.
Semua bisa kuraih, tak perlu kau bercerita. Sebab aku memang tak menginginkan
sebuah kisah.
Hari demi
hari kau lewati seperti malam-malam sebelumnya. Nyaris sama. Setiap senja
adalah gladiresik datangnya petaka. Kau tak mengisyaratkan kesedihan saat pagi,
namun saat cahaya berlari, kau tertatih memandang sinar yang pergi perlahan
berganti malam tanda kesedihan. Kau juga selalu memohon kepada Pemilik Hidup
agar diampuni, disucikan, dibersihkan untuk menebus segala salah yang tak bisa
disanggah. Kurasa kau tak berdosa, suci, bersih selayaknya bayi yang baru
keluar dari rahim seorang ibu. Bayi itu lantas menangis di setiap malam, sama
sepertimu. Hanya saja dia berada hangat dalam pelukan ibunya, sedang kau
bermalam bersama mereka yang jijik aku menyebutnya. Aku tak sanggup berkata.
Mungkin
karena analogi itulah aku mau datang bersua ke tempatmu, ke warung tak
bercahaya itu, berkenalan, bersentuhan, saling menjabat tangan denganmu, Dara.
Aku juga mengerti jikalau kau cantik tak bersyarat. Di bilik yang remang
seperti itu saja, aku sanggup mencitra parasmu yang indah, meski kutahu
beberapa garis wajahmu bercerita tentang kesunyian. Seperti lekuk yang berlalu
bersama tangisan, namun setelahnya membekas tak menghilang.
***
AKU bisa menangkap isyarat jikalau
setengah dari dirimu ingin singgah, tetap melekatkan nasib pada rentetan
peristiwa. Sebab mau tak mau kau telah terbiasa akan sunyi, akan tangis yang
selalu jatuh seiring bergantinya hari. Namun, separuh jiwamu yang lain meminta
hijrah, memohon berubah, karena tak mau terus terjerembab jatuh, tersungkur di
kehidupan sunyi milik malam dermaga yang abadi. Di balik kontainer-kontainer
berkarat, kau senantiasa disekat, tak bisa lari, berteriak pun tak menaruh
arti. Semua sia-sia. Suatu ketika pernah terpikir dalam kepala mungilmu untuk
mengakhiri hidup dengan menenggelamkan diri ke laut dermaga, laut yang hitam
pekat tanpa kehidupan. Sebab tak ada yang sanggup beradaptasi dengan tabiat
dermaga yang kelam, yang penuh dengan hitam kesedihan. Barangkali ikan atau
sejenisnya juga telah lama bermigrasi menuju lautan tak bedermaga lain, tempat
yang menyediakan hidup tanpa menjadi saksi kesedihan tercipta.
***
DARA berhias diri, memadukan busana
ketat dengan tampilan menggoda, memerahkan gincu agar merona kala lelaki
memandangnya. Tapi, barangkali para lelaki itu juga telah bosan akan ragamu,
akan tangisanmu, yang selalu terisak di tengah perjalanan mengarungi malam.
Mereka memiliki banyak variasi di sini, sebab dermaga selalu melahirkan kupu-kupu
baru di setiap malam. Mereka menetas dari telur-telur yang menempel pada sekat
dedaunan, berminggu memakan hijau lentikan serupa larva, lalu berubah indah
menjadi wanita. Mungkin ini tak masuk akal, tapi percayalah, aku melihatnya
ketika Dara berkisah.
***
LANGIT malam di dermaga tak lagi bersinar
kepadamu, di tengah hampa dunia, aku datang menghampiri, jatuh hati pada
siluetmu yang sempurna. Kau tak menjawab segala tanya dariku. Kau diam, antara
bisu dan tak mau tahu. Aku tersakiti dengan tingkah lakumu seperti ini. Aku,
sebagaimana kamu adalah sesama makhluk jalang di dermaga malam. Kurasa dalam
hati, akulah yang kau cari. Lelaki senja dengan kemauan bertanggung jawab
kepadamu. Kukira kau juga menyukaiku, sebab setiap malam, hanya aku yang kau
temani. Beribu tangis juga telah kau curahkan kepadaku di tengah hening malam.
Aku juga yang selalu memesan ragamu sedari dulu. Namun, kau belum kusentuh
seutuhnya, aku juga tak tega. Tapi kau menolak memberiku simpati, padahal aku
telah memisahkanmu dari rintihan duniawi. Kau berdalih tidak sanggup menerima
kebaikanku di sini. Tapi, tidakkah kau mengerti bahwa seberkas cerita
selayaknya telah tertulis sebagaimana adanya? Tak bisakah kau berpikir jernih
jikalau cinta adalah tentang bagaimana dirimu sekarang, bukan seburuk apa
dirimu dulu, juga apa yang kini terpatri di hatimu? Kau tak mengarti dengan
sungguh-sungguh apa maksudku dengan setiap malam ke dermaga. Aku tak memburu
kesenangan, Dara. Aku menunggumu datang, sebab sejak aku tercipta, aku bercita
akan bercinta denganmu, dengan kau yang ada di depanku kini. Namun, kau
mendiamkan segalanya. Aku tak mengerti kau seutuhnya.
***
LAMAT-LAMAT dalam
kesunyian malam dermaga, kau memanggilku untuk menemukanmu. Kau bersandar,
melayang, membiarkan ragamu yang telah tak bernyawa terombang-ambingkan ombak
kecil tepi lekukan. Malam ini, dermaga lebih senja dari biasanya, sebab Dara,
tanpa ada alibi atau alasan telah pergi untuk selamanya. Kau bersinar saat
pertama ditemukan. Di ragamu, terdapat beberapa bekas tusukan, namun tak ada
petugas otopsi atau sejenisnya di sini. Kematianmu juga kurasa sengaja
ditutup-tutupi, padahal aku yang tak tahu banyak, dengan sederhana bisa
mengerti jikalau kau mati karena tengah terjaga suamimu yang cemburu buta
dengan alibi kau bermain api.
Kau tak mau
kudekati bertahun lalu sesungguhnya karena alasan telah berkeluarga, meski dia
–suamimu- yang menghardik agar kau bekerja di dermaga, seperti ini, sehingga
kita bertemu meronce sepotong arti di tengah hening sunyi. Kau sungguh setia
dengan janji yang dulu kalian toreh di tengah para saksi, meski sebenarnya
suamimu telah ingkar lama. Mungkin, sifat hatimu itu yang kucari, yang tak
kutemukan di lain sisi para wanita. Sebelum aku mati karena cemburu buta
suamimu, sebelum aku bersandar, melayang, membiarkan ragaku yang telah tak
bernyawa terombang-ambingkan ombak kecil tepi lekukan, sesegera mungkin aku
menenggelamkan diri mencarimu yang kuyakini hanya berpindah ke sisi lain lautan
dekat dermaga. Aku mencari, semakin dalam kumenyelam, semakin hitam warna
lautan, bermenit hilang, berpeluh penuh kenangan. Akhirnya dengan rintihan
napas terakhir, aku menemukanmu tersenyum di pangkal lautan dermaga. Tepat
setelah menjalin jemarimu, berbondong orang datang mengangkat mayatku. Aku tak peduli,
terus meraih lenganmu, mempererat memelukmu, ketika fajar berganti, ketahuilah,
sisi laut dermaga berubah merah tak seperti biasa.
(IPM)
Bandung, Maret 2012
Bandung, Maret 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini