DEDAUNAN kering berserakan di halaman sebuah
gereja, tak teratur, tak membentuk sebuah pola. Kukira alam sengaja
memperlihatkan hal itu pada kita, yang termangu menatap langit senja berlatar
warna ungu kenangan. Semakin gelap, semakin kita ingin beranjak pergi
meninggalkan kompleks bangunan itu, berlari memburu cahaya mentari ke utara, ke
tempat sinarnya terlelap bersama segenap tenaga. Setelahnya, rinai hujan
bergemericing turun perlahan membasahi pelataran, gedung-gedung bertingkat,
rumah susun, serta kita yang terus berlari hingga lelah tepat menjelma dalam
hati.
Aku terhenti
di rumahmu, tepat di depannya. Mengantarmu sampai pintu masuk dan memastikan
kalaulah perempuanku baik-baik saja hari ini. Maria, nama wanitaku, tinggi
semampai, berlekuk putih tak bersayat, memicingkan mata di setiap pagi, serta
berambut lurus tergerai sebahu, hitam, bersinar kala kau memintalnya dengan
jemarimu secara perlahan. Mungkin hanya itu deskripsi tentang Maria, selebihnya
dia adalah kekasih, yang mengerti apa yang dimau tuannya, apa yang dirasa belahan
jiwanya. Dia pengertian, selalu bersolek bak permata, menyilaukan mustika
hingga aku tak dapat melihat wanita lain di luar sana selain dia.
Saat aku
bertolak, kembali menuju tempat beristirahat, suara surga berkumandang
memanggil para insan yang sudih berinteraksi dengan Tuhannya. Ya. Di era akhir
seperti pada masaku kini, surau-surau pastilah sepi tak bertuan, seperti
bangunan kosong yang meneriakkan kenangan, sebab terdahulu berbondong insan
rajin ke sini, mengadu kepada Penciptanya, memohon agar sebutir emas turun tak
terduga di depan rumah, hingga memastikan kalaulah jalan hidup yang dipilih
adalah benar adanya.
Namun,
sekarang berbeda, jauh tak sama seperti dahulu, banyak replika yang kini tumbuh
menyaingi Tuhan, padahal replika-replika itu hanya sebuah penjelmaan yang tidak
lebih dari ganjil ujian. Entah itu harta berlimpah, yang nilainya tak sanggup
seseorang menghitung dalam setahun, isteri cantik nan sempurna, laksana takkan
pernah menjadi renta dan akan selalu kencang menemani hingga kau mati, atau
juga anak-anakmu yang dikaruniakan segenap kecerdasan tak masuk akal, hingga
kau lupa bahwa sejatinya jabatan itu adalah pinjaman, tak permanen seperti yang
selama ini terbayang dalam anganmu. Hartamu bisa saja hilang seketika saat
bencana tiba dari selatan tanpa mengundang, atau juga isterimu yang kau junjung
di atas kepala tiba-tiba memilih pria lain yang dianggapnya lebih rupawan
darimu, atau mungkin anak-anakmu diam-diam selalu mengantongi pisau tajam di sakunya
untuk kemudian ditusukkan tepat di uluh jantungmu saat kau tertidur, lelah
setelah menimbang harta. Semua tak kau tahu, atau juga tak mau kaumengerti.
Sejenak aku mengurungkan niat untuk beranjak, melainkan sejenak bersinggah ke
tempat Tuhan berlabuh, memainkan kata meminta Tuhan agar mengijabah keinginan
dalam rintihan doa.
***
MINGGU pagi, hari berwarna jingga di
pertengahan bulan Desember masih setia menyaksikan kami menunggu satu sama lain
di kelokan taman dekat gereja. Kala kau masih beribadah dengan sesungguhmu, aku
menantikan kesudahanmu di sini. Sendiri, tapi tak merasa sunyi. Sebab menunggu
sebuah kepastian adalah nyata, tidak terlalu menyakitkan, dan selalu berbeda
jikalau bukan kau yang di sana. Beberapa saat berselang, kau beranjak datang,
membuyarkan lamunanku dengan sejuta pesonamu. Blouse putih bersih dan rambut
sebahu yang kau biarkan bebas diterpa angin mensyairkan bagaimana kau adalah
pribadi yang sederhana, namun istimewa. Sehingga tak pantas jikalau aku tak
memperjuangkan rasa ini. Meski dalam ruang waktu, ada palung yang memisahkan
sisi sempurna itu. Aku tak peduli akan semua, terus melangkah menjabat
tanganmu, Maria.
Ritual kami
di minggu pagi selanjutnya adalah berkunjung ke rumahku. Di sana, kau begitu
disambut hangat oleh kedua orang tuaku. Mereka menampilkan senyum terindah
ketika kau datang, mempersilakan duduk, dan berbincang layaknya telah lama
bersua. Bahkan, adik perempuan terkecil di keluargaku begitu akrab denganmu.
Kau memang mudah menyatu dengan anak kecil. Entah bermain atau sekadar belajar
membaca alfabet denganmu rasanya membuat adik begitu bersemangat. Semua telah
menerimamu seperti keluarga, itu pertanda baik bagi kami, entah untuk mereka.
***
DALAM hal hubungan, tentu bukan tentang
satu sisi saja yang mengharuskan sempurna. Perlu timbal balik agar lentera
jalinan kasih tetap menyala meski angin senantiasa menghembuskan tekanan untuk
mematikan cahaya. Tapi, tekanan itu tidak datang dariku, bukan juga darimu,
melainkan berasal dari keluarga besarmu yang tak sanggup menerima kenyataan
ini. Tak kuasa menyaksikan putrinya bercinta dengan lelaki lain yang berbeda
cara memuja Tuhan. Apakah sepasang manusia haruslah persis sama? Haruskah
identik tentang apa saja yang mendasari? Lantas, apakah guna rasa apabila hanya
untuk sepetak kaum saja? Kurasa tak ada yang sanggup menjawab berbagai ragu
tersebut, hanya berpendapat yang tak ada sesuatu menjamin benar maupun salah.
***
BERGULIRNYA hari,
semakin lama, tak kuasa kami membendung segala tekanan yang ada. Aku sebenarnya
kuat, tapi aku menyangsikan kau, Maria yang terus bersedih di setiap minggu
pagi. Aku masih menunggunya seperti biasa, di tempat biasa, tapi akhir-akhir
ini kau memintaku datang terlambat, mungkin karena kau ingin beribadah lebih
sungguh dari biasanya, atau juga ada hal lain yang tak kumengerti. Aku
menuruti.
Lewat tengah
hari, kau bertatap denganku setelah keluar dari pintu gerejamu yang megah. Tak
seperti biasa, kau ingin lekas pulang. Terburu-buru. Aku tak menolak ajakan
itu, tapi di depan rumahmu, kau berkata lirih. Kau berucap akan meninggalkan
ukiran romansa ini dengan alih dijauhkan paksa oleh keluargamu ke luar negeri.
Besok siang, kau harus pindah, bertolak menuju tanah anggur beribu kilometer
dari sini. Kau menangis tersedu-sedu, juga aku. Namun, sengaja tak kutampakkan
di depanmu, sebab aku ingin memberikan senyuman di hari perpisahan kami. Kau
meninggalkan aroma tubuhmu padaku untuk terakhir kali lewat sebuah pelukan
serta tetes tangisan. Hangat. Tapi aku serasa beku karenanya. Selamat tinggal,
Maria.
Kau pergi
tepat di akhir tahun ganjil ini. Meninggalkan kenangan bersama hijau memori
masa lalu. Aku sudah pernah mengira hal semacam ini akan terjadi, tapi aku
sungguh tak menyangka jikalau terlalu cepat dirimu hijrah. Aku terluka,
sebagaimana kau di sana hampir pasti lebih tersayat karena kisah. Semoga kau
cepat melupakanku dan bertemu pangeran terbaik yang menghormati keluargamu, tak
seperti aku. Barangkali itu pintaku yang terucap di senja terahir tahun ini.
Jengah, tapi kuharap berbuah nyata.
***
GENAP satu lustrum kau pergi ke sana,
kudengar dari sanak keluargamu kalaulah kau telah dipinang oleh lelaki
keturunan anak relasi kerja ayahmu tiga tahun lalu, kucitra pula kau telah
berbahagia di sana hingga tak ingat apa pun tentang kita. Sempurna. Sebab di
sini, aku juga telah melarikan rasaku pada seorang wanita, yang mungkin cukup
serasi menjadi ibu dari anak-anakku nanti. Kami juga telah menetapkan tanggal
pernikahan kelak. Tapi jauh dalam hati, tetap ada keping wajahmu yang terpatri.
Tak apa, sebab wanitaku takkan bisa melihat keping itu, terlalu lihai aku
menutupinya dengan kenangan lain yang lebih indah.
***
KAU berkabar jikalau lusa akan kembali
ke Indonesia. Kau juga meminta bertemu kembali denganku, kukira aku juga lama
ingin bersua denganmu. Mungkin, pertemuan ini tak lebih dari nostalgia sepasang
sahabat. Dalam anganku, kau pasti telah memiliki seorang buah hati di sana, aku
ingin melihatnya bersamamu, mungkin sangat cantik apabila wanita, atau jika
lelaki pastilah gagah sebagaimana ayahnya. Aku tak sabar menantikan lusa.
Minggu pagi
datang, aku bersambang, kau telah duduk termangu sendirian di kafe dekat gereja
itu. Sendiri? Mengapa kau datang seorang diri? Berbagai tanya terlintas dalam
kepala. Aku menyapa. Canggung. Tapi kau mencairkan suasana dengan menanyakan
kabarku, aku pun bertanya sebaliknya. Lalu, dari bibirmu terguratlah fakta
kalau kau tak jadi menikah tiga tahun lalu. Kau juga masih sendiri saat ini.
Masih cantik, laksana lima tahun lalu ketika kita bersama. Aku membeku dalam
keramaian, tak mengerti mengapa kisah kita tak pernah serasi, kala kau sendiri,
ketahuilah kalau aku hampir pasti akan menikah. Aku tak bisa berkata, selaksa
mati suri mendengar kata-katamu yang sarat makna.
***
KUINGAT lagi dengan seksama, aku keliru.
Aku tak pandai mengeja kenangan bersamamu dulu. Dedaunan tak pernah kering
dekat gereja. Rintik hujan juga tak jatuh perlahan saat itu. Tak ada yang pergi
ke Paris serta tak ada yang kembali setelahnya.
Maria,
sungguh penyesalan kini sejati dalam diriku. Kukira kau telah bahagia. Kukira
aku yang meratap mengenang siluetmu bersamanya. Ternyata aku salah, kau yang
setia, sementara aku yang kejam mengkhianati rasa. Saat kau mendengar semua
deritaku ini, ketahuilah Maria, aku telah menikah...
(IPM)
Bandung,
Maret 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini