Ada pelangi yang tak pernah mengukir di mana ujungnya,
sambanglah ia, yang selalu memujimu ke mana pun kamu berlagu. Menanti deru
sapamu di setiap tikungan senja. Tikungan yang tak pernah bisa ditoreh dengan
kelepak sayap biasa, perlu berdua untuk menggenapinya.
Ialah bayangan yang ada saat tubuhmu melangkah. Ia
hadir saat kamu terjaga, berselimut tanda menggigil, serta memeluk hangat sinar
mentari yang malu-malu menyapamu dengan rintihan maya.
Tanpa pernah juga kau sadari jikalau denting doamu selalu
teramini dengan sajak khasnya. Membahana. Membuat perihal permohonanmu menjadi
nyata. Namun, kamu tetap menganggap wajar nun datar. Tak berkesan.
Ia, lebih daripada pelangi yang tak mengizinkan ujung,
senantiasa menjelma, melukis beberapa romansa senja bak pertunjukan drama. Saat
kamu memejam, dia yang menjagamu dari sentuhan kelam. Menghapus bulir-bulir
gelisahmu ketika mimpi tak seindah episode kemarin.
Sungguh, ia yang bermatakan jeli laksana pelangi
terus-menerus mengikutimu secara anggun dari kejauhan. Berharap kamu tak
merasa. Tak curiga. Ia sangatlah takut menakdirkan perubahan akanmu sehingga
berhati-hati mencintai.
Saat kamu bersedih, hendak menghujamkan belati ke
kepala. Ia yang lebih merah warnanya dari pelangi, membisikmu dengan segenap kalimat
harap sehingga dadamu menjadi kian lapang. Dan sungguh kamu tak mendeteksi
keberadaannya. Bersama luka barangkali ia berduka.
Ia jugalah yang menemani malam-malam singkatmu bersama
bintang. Ia yang menghadirkan rembulan agar memantulkan berkas ke dalam imaji
mata. Kamu terpesona. Tapi segala tak pernah kau tahu, jikalau ia yang memapah
menujumu.
Ketika kamu memulaskan harap bersama lembut sprei
kamarmu, ia yang lebih semerbak daripada lantunan pelangi, memilih untuk legam
bermata: menggadai ganjil kenangan agar mimpimu tetap kian berwarna.
Cinta, dan mungkin juga Tuhan, kadang kala hanya
dibutuhkan kala kau merasa kesepian. Dengan segala jemarinya yang senantiasa
memeluk tapi tak pernah sampai, ia membelaimu perlahan. Melangkah menemani,
sedang kamu tak cukup menggenapi.
Sungguh, ia, lebih dari pelangi yang tak pernah
mengukir di mana ujungnya, mengerti apa saja maumu, juga apa yang tak kamu
ingini. Ketika mentari singgah, pelangi sirna. Sejak itu kamu merasa janggal
akan hidupmu. Seperti ada yang pergi namun kamu tak mengerti. Laksana ada yang
hilang tapi kamu tak mengetahui.
Ialah ia, pelangimu, yang takkan berhenti mencinta,
yang senantiasa tertegun ketika senja esok tak lagi berwarna.
(IPM)
Bandung, April 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini