Aku adalah
angin yang melayang rendah di pelataran tanah merah. Tanah yang menguapkan
senja menjadi sejati. Segala terasa melankolis dan sedih di sini. Tak ada air,
terlagi rintik hujan. Barangkali, langit telah membenci Mogadishu sehingga tak
pernah menurunkan harapan lagi. Menangis pun enggan. Hanya membiarkan tanah
coklat memerahkan sesamanya. Memerah. Merekah. Bergejolak hingga kontak
fisik terjadi di mana-mana. Mereka yang mengaku bersaudara tetapi berperang
adalah suatu titik klimaks dari hubungan. Bertarung menaklukkan sesama dengan
alibi sebuah perebutan. Tidakkah yang mereka cari adalah imaji? Bukankah
kemenangan tak lagi berarti? Sayang mereka tak mengerti, tak mengarti.
Mungkin,
petinggi di sana adalah para pencari kesenjaan. Mereka meronce lekuk tersedih
dari senja melalui air mata rakyatnya. Rakyat yang selalu memanggil suara-suara
Tuhan kala berdoa, tetapi tetap tak berubah. Terkadang aku ragu apakah lantunan
itu sampai ke tempat Tuhan berlagu, atau melesat menuju relung hitam tak
bertepi itu.
Sungguh tak
perlu berdebat tentang mana yang lebih senja antara Mogadishu dan Soe. Sebab
aku pernah merasakan suhu keduanya. Bila kau berkenan, sungguh akan kukisahkan
lembaran murung Soe mirip mimik Mogadishu. Dengarlah, tempat di negeriku ini
sangat menyentuh. Di sana, matahari tak terbit setiap hari sehingga harapan tak
jarang hanya menggantung di tiang-tiang. Tak tinggi, Juga seringkali roboh
sebelum terealisasi.
Kami dan
mereka hanya berbeda soal peruntungan dan pembentukan. Mungkin mereka berakal,
bermata, berhati, dan bertelinga. Namun, tidakkah semua indera mereka dipegang
oleh kendali penguasa. Sedang mereka tak sadar, tak mampu menyadarkan. Saat
senja tak lagi terbit di kedua tempat, barangkali aku telah mati karena
sayap-sayap yang terbakar amarah kerakusan. Amarah insan yang membeda antara
baik dan hitam yang kelam. Namun, aku tak pernah menyesal bercerita tentang
ini, membagikan kesedihan agar kau merasa. Agar kau menangis merenungi
perilakumu yang membiarkan mereka.
Dari
kejauhan, tampak hujan turun di tanah keduanya. Bukan bahagia, tapi sunyi yang
menghadang ketika aku lelah bercerita. Mungkin semilir angin terakhir takkan
ada lagi di sini, di sana. Bersebab mereka malu melihat tuannya yang senantiasa
berpeluh seujung usia.
(IPM)
Bandung,
April 2012
#Gambar diunduh dari sini