Untuk Adinda,
Tertanda Arjuna
Adinda. Sungguh, dengan sepenuh hati aku menulis sebuah
surat berisi untaian puisi. Kepadamu. Kepada kembang yang selalu ingin kukecup
kelopaknya, kepada senja yang ingin kulukis siluetnya, kepada semerbak yang
ingin kubungkus, kubawa ke dalam saku lengan jaketku, lalu kubiaskan bercahaya
hingga teduh dalam toples hati ini. Kau kini yang kumau seutuhnya. Tak kurang.
Tak lebih. Namun, lengkap beserta hati yang bermandi sejuta kasih.
Adinda. Sungguh raga ini lelah karena kisah. Karena jeri
payah yang tak pernah menuntun ke sebuah hasil nyata. Selalu fana. Terkadang,
bilamana terlampau sering sesal itu datang, maya kukira adalah sejati,
keramaian tak pernah kumengerti, semua bagiku sepi, sunyi, atau bahkan kusangka
mati. Dalam angan berbalut harapan, kelak kau akan datang membawa jemarimu
beserta lentik kuku-kuku yang merah muda, yang membelai parasmu perlahan tanpa
mensyairkan sayatan, yang membuka ruang hati hingga kembali beralih.
Adinda. Sungguh kuharap kau tak kembali. Terus berada di
sini. Di samping rusuk ini, mendekap hangat degup jantung yang mengalun
perlahan, yang membuncahkan kerinduan, serta menyanyikan simfoni terindah untuk
dirimu tersayang. Coba kau renungkan lagi! Semua perkataku tak pernah dusta,
tak sekadar rangkaian metafora, juga tak mengada seperti yang dilakukan para
lelaki tak berwajah. Lihatlah air mukaku! Tatap sayup mata ini! Tatap! Tatap
sekuatmu! Tatap hingga kau tak lagi bisa berkedip ke lain sisi!
Adinda. Sungguh aku tak menyeru kau untuk mencintai. Tak
mendongak mulutmu untuk berkata suka. Tak memenjaramu dalam sangkar romansa
dengan seseorang yang tak kau cinta. Aku hanya mencoba mengukir rasaku pada
lembut dinding hatimu. Tak ada tujuan selain agar kau melihat, agar kau peka,
agar kau sadar akan rintihan ini. Kumohon Adinda, jikalau kau harus
membenciku, tolong benci dengan sungguh-sungguh. Hardiklah aku
sekeras-kerasnya! Sejadi-jadinya! Kumpulkan seluruh tenagamu untuk membenciku!
Sebab dengan begitu, aku semakin merasa, semakin bahagia. Kau pasti bimbang,
Sayang. Gamang akan alibiku ini. Akan kujelaskan perlahan. Bukalah telingamu
lebar, gerai sedikit rambutmu yang menutupinya! Perhatikan! Sesungguhnya tak
ada kata benci dalam kamus pujangga. Tak ada halaman yang menuliskan.
Tak ada pasal, terlagi ayat. Adinda, semakin kau gores makna benci
dalam memorimu, semakin aku tahu jikalau dia terlampau berharga untukmu,
sehingga kau –mau tak mau– juga mencintainya. Ingat pula Adinda bahwa
dia yang kau maksud adalah aku. Yang masih memapah langkah menujumu.
Adinda. Sungguh tak kutahu apakah kau sudih membaca surat
putih ini, mau memandangi, serta ingin meresapi setiap baitnya. Sebab, aku ragu
jikalau kau hanya menerima tanpa berminat untuk membuka. Apalah arti penantian
apabila tak sanggup bersambang? Apalah makna perhentian jikalau hanya
membesarkan spasi? Aku tak bisa menjawab pertanyaan ini. Kau kurasa juga persis
beremosi karenaku. Kuharap engkau tahu, bahwasanya tak ada kerugian dalam
percintaan, tak ada deposit rasa apabila cahaya masih perkasa dalam dada, serta
takkan ada aku lagi bila kau berkata akan pergi. Karena aku takkan tetap di
sini, takkan pula menunggumu datang yang tak pasti kembali. Melainkan
menjemputmu, yang terjaga tak bertuan bersama indah lekuk senjamu...
Arjuna-Adinda
(IPM)
Bandung,
Maret 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini