Di hari terbesarku Kau masih memberi napas. Setiap helah kurasa sungguh mengindahkan. Merangkaikan segala kisah menjadi halaman-halaman kehidupan. Setengah lebih kulukis dengan tinta hitam yang memekat dengan sengaja. Sebab aku yang menginginkan. Barangkali sejenak aku tertawa seakan telah menakluk setiap kuasa dunia. Namun, aku salah. Di atas usia pasti tumbuh sejengkal kesadaran. Dan sadar akan selalu berkarib dengan penyesalan. Sungguh, kalau diberi kesempatan mengulang hidup, takkan kusiakan menggapaimu atau mengabaikanmu. Ya. Memang tak salah jikalau hidup itu hanya tentang masalah memilih. Ketika kau menentu cerah hidupmu, hampir pasti kecewa tak kau renggut. Dan apabila kau sengaja atau tidak memeluk perlukaan ataupun kesalahan, boleh jadi damai dan tenang hanya tinggal kenangan.
Pages
Tirai hidup mengembang, membentuk sebuah kiasan akan kata dan rasa. Setibanya di jalanan, kulihat Pelangi yang sedang tak berwarna. Entahlah. Pelangiku kini hanya tertoreh dua macam corak. Hitam pekat. Atau juga putih pucat. Terkadang Pelangi tersenyum dengan sungging paling istimewa, tapi tak ingin membagi dengan sesiapa. Padahal menurut cerita, setiap yang menangkap senyum Pelangi maka sisa hidupnya juga akan mewarni sebagaimana Pelangi. Namun, cerita memang seharusnya menjadi kisah saja. Tak perlu merenggut realita.
Siapa yang
mengira kita dipertemukan? Siapa pula yang menjaga setiap perjumpaan?
Jawabnya
bukan aku. Barangkali kamu? Namun, kau juga tak mengiyakan, tak mengangguk
memberi tanda setuju. Kukira setiap perjumpaan adalah murni telah diatur.
Hingga setiap aral tak sanggup menghalang, tak mampu menghadang. Tapi, setiap
kucari jawabnya, selalu saja berakhir dengan tanda tanya. Tak menemukan sebait
alibi atasnya.
Dya, ingatkah kau? Ingatkah kau ketika kita dipertemukan
di persimpangan jalan itu? Jalan yang lurusnya kukira tak berujung, hingga aku
lelah mencari garis tepinya. Namun, siapa yang menyangka di antara lekuknya
yang kian panjang kita dijumpakan. Tepat ketika aku berlalu membawa
tinggi-tinggi langkahku, kau memanggil seraya menyapa dari kedekatan.
Pada suatu hari, Senja bertanya pada gurunya, "Apa itu pernikahan? Bagaimana saya bisa menemukannya?"
Gurunya pun menjawab, "Ada hutan yang subur di depan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali, terlagi menoleh dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu pernikahan."
KETIKA aku
terpejam oleh gemerlap perpisahan atau juga manis perjumpaan, Bunga datang
bersambang memeluk hati ini. Pelan. Sekejap. Sebab dia harus terburu pergi
sebelum langit bersiap menyinari.
“Bunga,
sampai jumpa...” kataku tipis bernada senyap.
***
SEBELUM
perpisahan, pastilah penjumpaan senantiasa mengambang. Memindai segala kenangan
yang harus dicetak hati-hati. Tidak pula seketika. Alasan berkata jikalau kau
memberi warna lembarmu dengan sesuka, pasti, atau barang tentu pengakhiranmu
akan di luar logika. Maka kau melukisnya dengan perlahan. Hidup ini memang
terkadang selaksa sandiwara, selalu butuh ‘tukang naskah’ yang memilah
bait-bait cerita.
Ya. Tidak salah jikalau hidup adalah tentang masalah kebenaran memilih. Kau yang memilihnya dengan alasan tak masuk akal menurutku sebuah kesalahan. Entah bagimu. Memang kini kau masih menganggapnya tepat dan tak mungkin keliru. Namun, tiadakah waktu memberikan jaminan? Bukankah segala kebohongan adalah manis di depan terlagi busuk di belakang? Sebelumnya laksana anggun terasa wangi, Semua tertutupi. Dari mata, bibir, hingga telinga ialah terkunci sejati. Tetapi, ketika pintumu terkuak sedikit, pasti atau barang tentu semua akan berbalik. Saat tiba saat itu, akulah yang pertama melihatmu. Jadi Cinta, pilih saja aku...
Pilih Saja Aku
by Petra Sihombing
Cinta mengapa kau sengsara
Benci kumelihatnya
Dia itu siapa bisa membuatmu merana
Cinta apa kau tak bahagia
Cinta apa kau tak bahagia
Sini denganku saja
Dia itu siapa aku ini lebih baik darinya
Jauh dalam hatimu aku tahu
Engkau ingin ada orang yang selalu
Mencinta dan memelukmu setiap waktu
Kalau dia tak mampu pilih saja aku
Engkau ingin ada orang yang selalu
Mencinta dan memelukmu setiap waktu
Kalau dia tak mampu pilih saja aku
Ini hatiku untukmu
Percayalah padaku sayangku
Kalau dia tak mampu pilih saja aku
***
#Ilustrasi diunduh dari sini
Cinta itu tidak pernah membandingkan, tak pernah mempertentangkan. Ia ada ketika dua insan saling merasa. Sama-sama memakna hingga terciptalah sebuah kisah. Apabila kisah itu adil, barangkali tiada masalah yang mengambang pelan. Namun, cerita tak selalu mengguratkan kesamaan, terkadang yang menurutmu pantas adalah sama sekali tak layak. Yang dari anggapanmu anggun, juga tak mesti mensyairkan kesempurnaan. Pendapat ada dan benar hanya untuk masing-masing pemikiran. Tetapi ingat, ketika kau jatuh cinta, sesungguhnya logikamu buta, tak bisa melihat sesiapa. Hingga kau mengira jikalau semua tak lebih baik darimu. Mungkin saja salah, atau malah sepenuhnya benar. Menurutmu, Cinta?
Gak Kayak Mantanmu
by Marcello Tahitoe
Aku bukanlah orang yang punya harta berlimpah
Aku hanyalah orang yang biasa-biasa saja
Tapi aku selalu setia padamu
Dan aku selalu jujur kepadamu
Aku hanyalah orang yang biasa-biasa saja
Tapi aku selalu setia padamu
Dan aku selalu jujur kepadamu
Gak kayak mantanmu yang selalu menyakitimu
Gak pernah mau ngurusin kamu
Bohongin kamu, curangin kamu
Gak peduli perasaanmu
Aku bukan dia
Lupakan saja semua janji-janji manisnya
Hilangkan saja semua kenangan bersamanya
Kini ada aku yang setia padamu
Kini ada aku yang cinta padamu
Hilangkan saja semua kenangan bersamanya
Kini ada aku yang setia padamu
Kini ada aku yang cinta padamu
Mengapa kau masih terbayang olehnya
Sampai kapan aku menunggumu
***
#Ilustrasi diunduh dari sini
Apa saja nasihat bijak Einstein?
1. Buntuti terus rasa ingin tahu Anda
“Saya bukan memiliki bakat khusus. Hanya selalu menikmati rasa ingin tahu saja.”
1. Buntuti terus rasa ingin tahu Anda
“Saya bukan memiliki bakat khusus. Hanya selalu menikmati rasa ingin tahu saja.”
2. Tekun itu tak ternilai
“Saya bukannya pintar, boleh dikatakan hanya bertahan lebih lama menghadapi masalah.”
Ada ungkapan bagus popular di kalangan pegawai pos, ‘selembar prangko menjadi bernilai hanya karena ketika dia menempel pada surat hingga mengantarnya sampai ke tujuan’. Jadilah seperti prangko, selesaikan apa yang sudah Anda mulai.
“Saya bukannya pintar, boleh dikatakan hanya bertahan lebih lama menghadapi masalah.”
Ada ungkapan bagus popular di kalangan pegawai pos, ‘selembar prangko menjadi bernilai hanya karena ketika dia menempel pada surat hingga mengantarnya sampai ke tujuan’. Jadilah seperti prangko, selesaikan apa yang sudah Anda mulai.
Ketika kau memutuskan untuk mencintai, persiapkan pula apabila kasih melepaskanmu. Sebab sekat antara kebahagian dan kesedihan sungguh sangat tipis. Tak terlihat. Terkadang pula kau tak menyadari jikalau senangmu akan berujung tangis. Atau malah air mata yang biarkan tercecer satu per satu akan dibayar lunas oleh kenangan terindah. Semua tak kau ketahui, tak jua aku. Sejatinya kita hanya menyiapkan, serta menjalankan. Apakah manis atau pahit yang digenggam, sungguh tak bisa kumelawan jalan suratan. Kau ada saat aku memimpimu. Dan kau tiada ketika aku memejamkanmu...
Terlalu Indah
By The Rain
Kita harus menerima bahwa
Memang tak ada kisah yang bisa sempurna
Seperti yang selalu diimpikan
Dan mimpi tak selalu jadi kenyataan
Memang tak ada kisah yang bisa sempurna
Seperti yang selalu diimpikan
Dan mimpi tak selalu jadi kenyataan
Ada awal dan ada akhirnya
Yang mungkin tak dapat terurai semua
Ada duka, ada bahagia
Yang mungkin tak akan pernah terlupa
Yang mungkin tak dapat terurai semua
Ada duka, ada bahagia
Yang mungkin tak akan pernah terlupa
Dan hatiku berkata
Selamat jalan kekasih
Manis yang berujung perih
Kisah yang sungguh terlalu indah
Kini semua berakhir sudah
Selamat jalan kekasih
Walau teramat sangat perih
Namun aku pasti coba
Untuk jalani ini semua
Walau teramat sangat perih
Namun aku pasti coba
Untuk jalani ini semua
***
#Ilustrasi diunduh dari sini
Aku adalah
Tulisan.
Senja kali
ini seharusnya dieja dengan seksama. Dengan hati-hati agar merahnya semerbak di
tengah, tidak terurai ke lain sisi yang mengisahkan kesedihan. Perlahan
menghampiri, titik demi titik lekuknya. Kusurutkan menyerupai senyuman guna
memudarkan isak pelan yang memanggut harapan tak sampai. Harap yang mengenang
seorang prameswari bersama sekian halaman kesenjangan.
Kutitipkan
nada ini bersama lentik jemarimu. Genggamlah erat sekuat nadimu. Sedaya
otot-ototmu yang mengindahkan. Dalam sepi, kau yang kuagungkan. Kungiangkan bak
mengejar rantai alunan lagu. Lagu yang sajak serta rimanya adalah sumbang,
senantiasa tak sama. Terkadang berakhir konsonan, tapi lebih banyak terhenti
oleh vokal kesenyapan.
“Satu...dua...tiga...!”
teriakku memberikan kode untuk memotret.
“Maaf...maaf,
Tuan.”
Kau yang tak
sengaja lewat di depan kami, masuk secara utuh ke dalam bingkai kamera. Aku
sebenarnya tak melihatmu, tak juga memperhatikan.
Subscribe to:
Posts (Atom)