KETIKA aku
terpejam oleh gemerlap perpisahan atau juga manis perjumpaan, Bunga datang
bersambang memeluk hati ini. Pelan. Sekejap. Sebab dia harus terburu pergi
sebelum langit bersiap menyinari.
“Bunga,
sampai jumpa...” kataku tipis bernada senyap.
***
SEBELUM
perpisahan, pastilah penjumpaan senantiasa mengambang. Memindai segala kenangan
yang harus dicetak hati-hati. Tidak pula seketika. Alasan berkata jikalau kau
memberi warna lembarmu dengan sesuka, pasti, atau barang tentu pengakhiranmu
akan di luar logika. Maka kau melukisnya dengan perlahan. Hidup ini memang
terkadang selaksa sandiwara, selalu butuh ‘tukang naskah’ yang memilah
bait-bait cerita.
Ceritaku
adalah halaman senja yang terkadang tidak jingga. Setengahnya diisi oleh biru
langit, sepertiga yang lain dilukis hijau tosca, sedang sisanya bersenyawa
lelehan merah muda, cokelat, juga abu-abu. Semua menyatu membentuk awan
ceritaku yang senja. Yang apabila dilapangkan akan timbul bintik hitam di
antara kanvas-kanvas putih tulang. Tertata acak, sebab hidup takkan selalu bisa
ditebak. Boleh jadi kau telah merencanakan sedemikian rinci tentang harimu,
tetapi tidakkah kau tahu jikalau hari adalah bukan sama sekali milikmu. Ada
yang memiliki hari, ada pula pemilik mentari, pembuat hujan, juga ada penyimpan
keheningan. Semua telah tertata dengan pola yang tak sederhana. Dan tugas
manusia tidak lain ialah mencari jawabnya.
Makna biru
langit di senjaku berkisah tentang kebebasan memilih kehidupan. Tak terelakkan,
jikalau hidup selalu berpasang dengan pilihan. Dan seorang insan yang cakap
memilih hidup, tentu dunia tak akan memberi sepucuk kecewa. Sebab pilihan
hanyalah tentang mana yang benar atau tersisa salah. Tak ada yang relatif
sementara pikir masih kian jernih menaksir. Dan jawaban relatif hanya keluar
dari mulut orang-orang peragu. Pembimbang. Para perasa yang gamang menentukan
pilihan, yang menghindarkan salah dengan mencampurnya dengan kebenaran. Tak
lain agar kita bingung menyatakan sikap, lalu lamat-lamat dia pergi tanpa
memberi isyarat.
Sedang hijau
tosca di halamanku berdongeng tentang ketenangan jiwa mengarungi hidup.
Ketenangan atau bisa juga disandingkan dengan perasaan damai ialah perihal yang
ingin dicapai setiap manusia. Bukanlah harta. Tak pula tahta ataupun wanita.
Karena takkan bermakna lagi ketiganya jikalau kau tak bisa memejamkan mata di
penghujung hari, tak mampu bernapas pada hangat lambaian pagi, serta selalu
merasa sepi tepat di hari jadimu yang megah. Semua bukan sebuah tujuan ataupun
pengharapan. Setiap insan selalu membutuhkan tenang. Dan tenang tak bisa
diperoleh dengan uang atau yang lain. Cukup alam spiritualmu yang berbicara
dengan dirinya, dengan semesta, juga dengan ‘pemilik jiwamu’ secara halus
perlahan. Jikalau semua terlampaui, mati bukanlah sebuah ketakutan lagi.
Lalu,
goresan merah muda, cokelat, abu-abu yakni berdendang soal kehidupan manusia.
Selalu ada saja fluktuasi di antara lembaran kisah. Tak ada yang sama, tak juga
yang mirip atau mengembarkan. Karena sebuah jari pastilah hanya untuk jemari
yang lain, yang tepat ketika saling menggenggam, tapi tidak sama. Bukankah
serasi tak harus searti? Tidakkah seiring tak mesti saling menggiring?
Jikalau kau
mencintai seseorang, terlagi memilikinya, kau tak pantas memegangnya erat.
Biarkan dia berjalan dengan hasratnya. Tunggulah dia hingga kembali sendiri ke
rumah. Kau boleh meregang khawatir, tapi tidak untuk mencengkram. Karena
sungguh bunga yang terus dibayangi tak akan bisa tumbuh menjadi rupawan. Terus
kerdil dengan rupa yang senantiasa tak bebas. Tak lepas. Dan pada saatnya
nanti, kau yang akan merutuk mengenangi dirimu. Memandang seseorang yang
kausayang berlari menuju relung yang ia cinta. Namun, bukan kau. Melainkan
seseorang lain yang menerimanya dengan hati sesuka ketika ia menari dengan
anggun, bernyanyi sembari menegak bergelas minuman, atau juga melukis wajah
orang itu dengan bibirnya yang merah. Lantas, kau iri melihatnya. Dan mungkin,
sebelum itu berlaku, segeralah renggangkan ikatanmu. Tunggu saja dia
sebagaimana warna abu-abu yang mengajarimu tentang keraguan. Merah muda yang
memberimu pelajaran soal jatuh cinta. Atau juga cokelat yang dengan manisnya
menghadiahkanmu sepenggal perpisahan.
“Lebih
kurang seperti itu awan ceritaku. Bagaimana menurutmu?” tanyaku padanya.
“Awanmu
indah, tapi tak berarak,” jawabnya singkat memberikan komentar.
“Lalu,
bagaimana cara mengubah awanku agar berarak?” aku bertanya lagi.
“Kau yang
tahu caranya sendiri, bukan aku,” terusmu lantas berlalu.
***
PERCAKAPAN
tadi membuat hariku menjadi bimbang penuh segenap gamang. Sarat akan tanya yang
ingin disampaikan tapi tak ada sesiapa. Kucari jawabnya lewat mentari, tiada ia
memberi tanpa mengambilnya lagi. Kukisahkan semuanya pada malam, namun ia hanya
mengabarkan sepi kegelapan. Kugantungkan harapan akan bintang, tetapi ia hanya
menebar senyap cahayanya, tak membalas segala gelisah. Kini aku tertambat pada
keadaan yang pekat, yang tiada seorang mengerti di mana dasarnya.
“Bunga, di
mana kau berada? Bolehkah aku jumpa?” bisikku pada semilir senja.
***
BUNGA masih
menyendiri meneguk kesedihan di antara bilik-bilik kamar. Aku bisa mendengar
suara sesenggukan tangisnya. Melayang. Menghentikan waktu hingga sesiapa yang
menangkap getarnya akan ikut menjadi sayu. Tak terkecuali aku. Meski aku tak
bisa memandangnya meretas air mata, tapi sungguh, aku sanggup merangkai kisahnya
yang senja. Sesenja ceritaku terdahulu, ketika mentari masih menguning
menebarkan cahaya, atau juga gemintang yang sarat menumpahkan sinarnya.
Kucari kau
dengan seksama ke berbagai tempat dan keadaan. Ke tepi lautan, yang garisnya
membentuk pola melengkung laksana sepasang mata orang yang tengah tersedu
menangis. Kubuka pula karang-karang purba yang usianya tak mampu lagi tersurat.
Hingga setiap pencari ragam tak mampu menghenti segala nafsu untuk menukarnya
dengan ganjil rupiah. Lalu kulanjutkan berjalan ke dalam rimbanya hutan. Rimba
yang buas dengan segala perangkap yang sengaja dibuat agar siklus alam tetap
terjaga. Namun, ada pula jebakan yang tak masuk di mana pun jenis klasifikasi.
Ialah dia, yang menebar sejengkal ancaman dengan taruhan sejarah hutan. Mereka
oknum yang melakukan barter antara materi dengan derita anak cucunya. Yang
menjual segala bahagia buah hati anak-anak mereka dengan senyuman semu. Namun,
mereka bangga akan kursi empuk, terlagi minuman berleleh melumpuhkan syaraf.
Mereka yang memihak kaum penguasa tidak lain sedang menampar wajah keluarganya
sendiri dengan pelan, yang lambat laun semakin mengeras. Hingga tak terasa
seluruh keluarganya tak bisa ikut bernapas menghidupi. Mungkin pada saatnya
nanti hanya tersisa sesuatu yang berasma penyesalan. Tapi selalu tak bermakna,
bersebab semua telah terlambat. Telah tertambat menjadi bingkai-bingkai
kesedihan yang abadi.
“Bunga...Bunga...Kau
memang lihai bersembunyi...” gerutuku menghelahnya.
***
KARENA tak
membuahkan, maka kuhentikan segala pencarian. Kurasa, pastilah semua tindakanku
berujung pada kata sia-sia. Sebenarnya aku murung setelah memutuskan ini.
Namun, semenjak napasmu tak lagi berbau, atau sorot matamu tak sanggup menguap,
serta lebar telingamu yang tak kuasa menangkap getaran, kau tak lagi
menghadirkan harapan.
Sungguh
segala kisahmu adalah mirip dengan pelita negeriku. Kau yang sebagaimana
negeriku sejatinya sedang tertidur pulas di suatu tempat tanpa batas waktu.
Bahkan orang awam boleh jadi menyebut tidur tanpa batas waktu –tidak lain–
ialah mati. Dan sesuai pola ragawi, pasca segala tiada nyawa, maka mereka
tinggallah jasad yang membusuk. Yang aromanya membuat seluruh lapisan enggan
menengok, terlagi mendatangi. Lantas, mereka berlari pergi membawa masing-masing
alasan. Sebagian logis, tapi banyak di antaranya yang mengada-ada. Semacam
budaya saja, di mana jika salah satu pergi maka yang tersisa tak akan menahan
kuasa berdiam diri. Ikut-ikutan ialah identitas di sini. Agar kau mengerti
maksudku, akan kuberikan sebuah analogi. Di sini, ketika ada seseorang berhasil
mencapai puncak, maka yang lain akan merendahkan agar kembali sederajat.
Bukannya membuat diri mereka sejajar dengan meninggihkan, tetapi opsi
mengerdilkanlah yang ber-Tuhan. Dan sudah bukan rahasia umum jikalau mereka
yang gagal akan dihadiahi seluruh kebencian. Lantas kebencian itu akan
ditumpahkan kepadanya seketika. Barangkali setengah dari mereka hampir pasti
akan berdiam di balik jeruji, atau juga mendekam bahagia dalam barak-barak yang
tertawa menanti mati yang lambat merangkak menghampiri.
“Sungguh
mirip denganmu, Bunga. Tak ada yang berbeda.”
***
TEPAT di
hari ini, Bunga menampakkan diri dengan wajahnya yang putih serta berbusana
serba anggun. Rambutnya yang panjang sebahu dibiarkan tergolek menahan hempasan
angin tak bersuhu. Lalu kuperhatikan bibirnya yang merah basah seperti tengah
menegak butiran air mata. Namun, ada yang ganjil. Bunga tak membuka mata. Dia
memejam sambil berkata yang bukan-bukan. Dia membuta sembari berjalan ke arah
pusaran gelisah. Hingga bersambut suara senja, Bunga tetap menahan segala
sikapnya. Barangkali Bunga sedang mementaskan ‘naskah tentang negerinya’.
Negeri yang buta dengan berjuta mata saling memicikkan. Negeri yang hijau tapi
sarat akan merah kemarahan. Ialah negerimu, yang berinisial huruf vokal, yang
sedemikian hari hanya menyisakan selarik nama.
Pelan-pelan
kubisikkan sebaris pesan tepat ke telingamu: Selamat tidur, Bunga. Semoga
kau terbangun ketika negerimu telah bermata. Salam tak jumpa.
(IPM)
Bandung, Mei
2012
#Ilustrasi diunduh dari sini