Siapa yang
mengira kita dipertemukan? Siapa pula yang menjaga setiap perjumpaan?
Jawabnya
bukan aku. Barangkali kamu? Namun, kau juga tak mengiyakan, tak mengangguk
memberi tanda setuju. Kukira setiap perjumpaan adalah murni telah diatur.
Hingga setiap aral tak sanggup menghalang, tak mampu menghadang. Tapi, setiap
kucari jawabnya, selalu saja berakhir dengan tanda tanya. Tak menemukan sebait
alibi atasnya.
Dya, ingatkah kau? Ingatkah kau ketika kita dipertemukan
di persimpangan jalan itu? Jalan yang lurusnya kukira tak berujung, hingga aku
lelah mencari garis tepinya. Namun, siapa yang menyangka di antara lekuknya
yang kian panjang kita dijumpakan. Tepat ketika aku berlalu membawa
tinggi-tinggi langkahku, kau memanggil seraya menyapa dari kedekatan.
“Zal...Rizal...”
teriakmu.
“Iya,”
balasku seraya memasang berjuntai senyuman.
Tahukah
jikalau sesungguhnya aku tak tahu kau berjalan dari mana, juga tak mengerti kau
akan ke arah mana, atau bisa saja tiba-tiba kau ada saat aku mulai melangkah.
Semua tak kuketahui. Seraya menghargai manis wajahmu, aku menghangatkan suasana
senja kali itu dengan lamat-lamat memandang sepasang mata yang indah. Mata
penuh binar yang tak mampu dilukiskan kata. Kutakzimkan jua suhu di sana
berubah tinggi, meskipun gerimis senantiasa mengguyur kota D di tiap
pucuk-pucuk hari.
***
Sekarang,
aku yang terlebih dahulu memulai kisah ini justru tak sanggup untuk menghenti.
Selalu saja aku menanti tiap sapamu yang renyah. Yang membekukan hening kata
menjadi bingkai-bingkai cerita. Kau bahkan kukira seperti candu, karena rasa
ingin bertemu senantiasa tercipta kala kutak melihatmu di antara sepetak waktu.
Jikalau
ingin berbalik ke pertemuan lain, barangkali akan kukisahkan sebuah momen di
penghujung hari. Sebenarnya tiada yang tahu kapan sebuah hari tepat dimulai
serta waktu yang mana ketika hari akan rapat diakhiri. Namun, biarlah aku
menyebutnya dengan penghujung hari. Sebab ketika itu semua sedang bergegas
pulang, seluruh orang bergerak menjauh menuju halaman masing-masing. Sedang kau
hanya berdiri sambil sesekali bercakap dengan teman sebayamu yang lain.
Kalau boleh jujur, sungguh aku sedari tadi memperhatikanmu dengan seksama.
Hingga pandanganmu tak lagi bisa lari menjauh dari segala indera. Semacam sudah
tertangkap dalam perangkap yang tidak sengaja kubuat. Sebab bukan aku yang
merencana, tapi kau yang mengundangnya.
Kudekati kau
dengan hati-hati. Dengan sepenuh langkah tapi getar senantiasa terpancar dalam
jangka. Pelan. Lantas sebelum aku bisa menyapa, justru kau lebih dahulu menebar
senyum terindah. Kau menipiskan bibir merahmu yang cantik nan anggun, seraya
berkata salam yang renyah, disambung memanggil namaku dengan nada-nada khas
kotamu. Entah itu sekadar dialeg atau hanya intonasi biasa aku tak menaruh
banyak perhatian. Namun, yang kutahu satu: dari pertemuanku denganmu, aku
menaruh cinta.
Dya, dalam alibiku, aku beranggapan kalaulah kau yang
mengundangku untuk datang di setiap malammu. Merangkai mimpi-mimpi yang belum
sempurna hingga benar jadi dan siap kita wujudkan bersama. Dan sungguh aku tak
mau segalanya berubah, meski aku mengerti kini kau masih menginginkannya.
Namun, jikalau nanti di sisa harimu kau kecewa karenanya, larilah saja ke sini.
Ke halamanku yang telah kusiapkan untukmu. Tenang saja. Lekas atau lambat
bukanlah sebuah masalah. Sebab segala spasi hati telah tertambat utuh wajahmu
yang sejati: Dya, aku jatuh hati...
(IPM)
Bandung, Mei 2012
Bandung, Mei 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini