“Satu...dua...tiga...!”
teriakku memberikan kode untuk memotret.
“Maaf...maaf,
Tuan.”
Kau yang tak
sengaja lewat di depan kami, masuk secara utuh ke dalam bingkai kamera. Aku
sebenarnya tak melihatmu, tak juga memperhatikan.
“Tidak apa,
Nona,” balasku sambil memberikan senyuman.
“Sekali lagi
maaf, Tuan.”
Dia berlalu.
Tak sengaja, dia meninggalkan sesuatu padaku. Potret wajahnya. Ya. Parasnya
tertinggal di rol kamera ini. Beserta lekuk senyuman yang membuat mata tak lagi
bisa beralih. Senja di jalanan sempit ini memberikan secuil peristiwa. Di bawah
gerimis, aku menemukan ronamu. Hatiku berkata, “Kau cantik, Nona.”
***
Dalam
perjalanan pulang, aku menaruh pikir. Anganku memilih membayangkan wajahnya.
Entah, aku merasa ada yang berbeda darinya.
Tak mau
terus-menerus berilusi, aku lantas mencetak rona itu ke dalam wujud dua
dimensi. Ya. Di kertas foto ini kini terpatri lekuk-lekuk sempurnanya. Natural.
Sebab saat dipotret, dia tak menunjukkan ekspresi yang dibuat-buat. Aku suka.
“Meski aku
tak mengenalmu, yakinku kita akan bersatu...” harapku, yang diam-diam
membisikkan ke dunia.
***
“Maaf, mau dipotong model apa, Tuan?”
“E...e...dipotong
rapi saja tapi bagian depan tolong dipertahankan,” jawabku sembari menjelaskan.
Barangkali
kita memang berjodoh. Ketika aku berkunjung ke sebuah salon, kau yang
menyambutku. Melayani pula. Di perjumpaan kedua, akulah yang memberanikan diri
berkata. Kutanya siapa namanya. Di mana dia tinggal. Ketika simfoni berlagu,
dia telah bercerita hingga kehidupan keluarganya.
“Mawar.
Tinggal di kompleks 78, Kota Baru”
“Anak
pertama dari keluarga bahagia. Pantas saja parasnya selalu memantik ceria. Tak
salah aku mengaguminya. Tuhan, aku terpikat oleh makhlukmu ini. Tolong
senantiasa pertemukan kami,” doaku seraya menutup segala deskripsi.
***
“Apa benar
ini tempat Dhani bekerja? Maaf, bisa bertemu dengannya?”
“Sebentar.
Saya panggilkan...” jawab asistenku pelan.
Mawar
bersambang ke studioku. Aku yang masih asyik mencari angle terbaik untuk
foto-foto ini sama sekali tak menghiraunya.
Terkejut.
Aku terkejut ketika melihatnya berdiri di belakangku.
“Mawar?
Sedang apa kau di sini?” tanyaku padanya.
“Ini. Ini punyamu.
Tertinggal saat kau tergesa keluar dari salon karena panggilan telepon,”
jawabmu perlahan.
Mawar
mengembalikan sarung kepalaku yang tersandar rapi di tempat aku memotong rambut
tadi. Kubawa dia ke depan latar studio foto. Tak kusiakan kesempatan ini untuk
memotretnya. Yang kedua. Lalu ketiga. Kemudian keempat dan seterusnya.
Rasanya
telah berlembar-lembar foto tercetak rautnya. Di ruangan gelap tempat
pencetakan, aku selalu tersenyum sendirian. Entahlah, sepertinya tak ada yang
lucu. Mungkin bersebab hati ini bahagia karenamu.
***
Kuajak kau
menyusuri lembar kehidupanku. Aku yang bekerja sebagai fotografer tetapi
menggemari balapan motor mengajakmu menemaniku ke lintasan balap.
“Dengan
motor ini kau biasa balapan, Dhan?” sanggahmu bertanya.
“Bukan,”
singkatku sambil menebar tawa.
Sengaja aku
tak membawa motor balapku seperti biasa. Namun, menaiki motor yang kau bisa
memapah memeluk punggungku. Motor-matic untuk kita balapan sendiri. Tak ada
yang menang. Tak ada pula yang tertunduk kalah. Sebab, ini bukan permainan.
Hanya kesenangan yang ingin selalu kubagi denganmu. Semoga kau lebih mengerti
aku. Terlebih lagi mencintaiku.
***
Hari-hari
berikutnya adalah tentang kami berdua. Kurasa cinta memang tak butuh sebuah
pernyataan. Tiada seorang dari kami yang memberikan pertanyaan perasaan. Dan
tiada pula yang sudih menjawab. Kami hanya menjalani cerita ini. Sepenuh harap
untuk nanti berlanjut hingga ihwal rumah tangga sudih tertemui.
***
Malam ini,
aku sedang sibuk mencetak foto di suatu ruangan gelap dalam studio. Mengambil
beberapa bahan kimia cair untuk disiapkan dan dicampurkan. Ketika itu, kau
menelepon dan berkata tidak bisa pulang karena hujan sangat lebat. Sebotol
bahan kimia terbuka kutaruh begitu saja di atas almari dan sesegera mungkin aku
berlari menjemputmu ke tempat kau menunggu.
“Semoga kau
masih di sana...” aku berharap sembari berlari menembus pekatnya hujan.
***
“Ayo pulang.
Ini payungmu...”
Kau malah
berlari tanpa menghiraukanku.
“Kau kenapa?”
Kau diam
saja. Terus berjalan hingga segala lekukmu terbasahi.
Ya. Masih
kuingat detik-detik itu. Detik ketika dia menolak payungku bersebab ingin
kupayungi. Dasar wanita, selalu saja tidak bisa ditebak. Terkadang aku pusing
menilaimu, tetapi tanpamu, aku tak bisa membayangkan bagaimana warna hidup ini.
Barangkali, sifatmu yang menjelma perbedaan dengan wanita lain. Kau istimewa,
Mawar.
***
Malam ini,
kau memutuskan menginap di studioku. Alibi berkata jikalau hujan tak berhenti
sampai tengah malam. Bukannya tidur, aku malah sibuk memotret rinai-rinai
senyumanmu. Sebenarnya, yang membuatku ingin mengambil gambar adalah keadaanmu
saat ini. Karena bajumu tadi basah, terpaksa kau kupinjami setelan kemeja yang
sudah pasti kebesaran. Kufoto keunikan ini berkali-kali. Namun, di jepretan
ketiga, rol kameraku habis.
“Biar aku
saja yang mengambilnya. Di mana kau meletakkannya?”
“Di atas
almari. Tepat di atasnya,” sahutku.
“Aaaarrrgghhhh......”
dari dalam ruang pencetakan kau berteriak kencang sekali.
***
Siapa yang
menyangka jikalau malam ini akan berakhir di sini. Tertunduk di rumah sakit.
Aku duduk termenung sendirian di pojok paviliun. Menyandarkan kepala ke dinding
ruangan. Ingin sekali kumenenggelamkannya. Kepalaku berat akan penyesalan. Aku merasa
sangat bersalah ketika cairan kimia dalam botol itu tumpah mengenai sepasang
matamu.
“Mengapa
harus kau yang mengambilnya? Mengapa bukan aku yang mengenai? Mengapa?” ratapan
itu sungguh tiada akhir.
“Apa jadinya
seorang wanita muda tanpa sepasang mata? Apakah nanti dia masih menghargai
nasibnya? Bagaimana?”
***
Untuk
menebus segala penyesalanku, aku memutuskan menjauhinya. Tepatnya menghilangkan
diri dari setiap penglihatannya. Kuteruskan balapan dengan sekencang kecepatan.
Hingga aku puas dan tak lagi mengemudi. Kutuliskan surat pengunduran diri
kepada pihak studio. Aku menyatakan keluar dan tak mau memotret lagi. Foto
kenangan kita berdua juga telah kurobek menjadi terpisah. Kutinggalkan wajahmu di
lain sisi dan sengaja kubawa satu sisiku. Kupamitkan juga perjumpaan terakhir
pada asistenku dan berkata bahwa jangan pernah beri tahu di mana aku. Semoga
dia mengerti.
***
Genap dua
bulan Mawar dirawat di rumah sakit. Tepat di hari ulang tahunnya kini, dia
diizinkan dokter untuk membuka mata setelah gelap pasca kejadian itu. Seluruh
keluarga berkumpul di ruang rawat inap. Kue tart dan beberapa kembang api telah
menyala mewarnai seisi ruangan.
“Ini Ibu,
Nak. Kau mengingatnya, bukan?” lembut sekali suara Ibu bertanya.
“Iya, Bu,”
pungkasnya.
25 tahun.
Usia yang matang untuk seorang wanita ketika menerima pertunangan sesiapa.
Namun, kupastikan bukan aku yang di sana. Bukan juga aku yang menjabat tangan
penghulu pilihanmu. Mawar, selamat tinggal.
***
Mawar
mencariku. Dia datang ke studio. Dia bertanya ke tiap orang di dalamnya. Namun,
tak ada yang bisa menjelaskan. Sebab aku tak memberi penjelasan ketika
menghilang. Asistenku juga tak berkata apa-apa. Hanya diam, sambil menahan
kebohongan terbesar akan hal ini.
Setiap pagi
sampai sore dia bekerja. Masih setia melayani pengunjung salon dengan ujung
senyumnya yang ramah. Tapi aku berjanji tak akan ke sana lagi.
Sepulang
kerja, dia mampir ke studio sembari bertanya apakah ada informasi tentangku.
Jawabnya singkat. Tak ada.
***
Minggumu
pasti sangat sepi akhir-akhir ini. Tak ada yang mengajakmu ke arena balap. Tak
ada yang mengangkat kamera sambil menghitung mundur. Tak akan ada aku di
hadapanmu lagi.
Hingga suatu
ketika, seseorang mengabarkan jikalau aku sering terlihat duduk sendiri di
bangku lusuh belakang taman kota. Dan langsung saja kau mengiyakannya. Kau
memancarkan gelisah yang agung, yang membuat seluruh jiwamu tak tenang. Ingin
sekali kaujumpai aku dan berkata-kata.
***
Senja hari
kau datang. Aku tak merasakan apa-apa. Ditemani anjing penuntunku, aku duduk
termangu di belakang taman kota. Sembari bermain melemparkan bola kecil untuk
anjingku ini. Angin bertiup cukup kencang. Potret wajahmu yang kelabu terbang
terbawa angin menujumu yang berdiri di hadapanku. Kau mengambilnya. Kau
mengembalikan foto itu dengan sengguk menahan tangis. Aku tak pernah melihat
ronamu lagi sejak operasi donor mata terjadi. Kugadaikan keprofesianku untukmu,
kuhanyutkan hobi balapanku di dekatmu, dan kusadari jikalau itu termungkin
cukup membalas segalanya.
“Terima
kasih, Nona,” ucapku ketika kau mengembalikan fotomu padaku lagi.
Aku berlalu
meninggalkanmu yang kini termangu menangisi semuanya. Biarlah. Sebab, jikalau
bukan kau yang bahagia, tentu aku takkan bisa hidup sampai saat ini.
Percayalah.
Aku masih bisa menyaksi bulir-bulir kesedihan dengan mataku yang kaupakai
menangisiku. Biarlah kau memakainya sesukamu. Kuizinkan. Barangkali dengannya,
kulihat warni dunia melalui sinarmu, Mawar, yang merona.
(IPM)
Bandung, Mei
2012
#Ilustrasi diunduh dari sini