Aku adalah
Tulisan.
Senja kali
ini seharusnya dieja dengan seksama. Dengan hati-hati agar merahnya semerbak di
tengah, tidak terurai ke lain sisi yang mengisahkan kesedihan. Perlahan
menghampiri, titik demi titik lekuknya. Kusurutkan menyerupai senyuman guna
memudarkan isak pelan yang memanggut harapan tak sampai. Harap yang mengenang
seorang prameswari bersama sekian halaman kesenjangan.
Kutitipkan
nada ini bersama lentik jemarimu. Genggamlah erat sekuat nadimu. Sedaya
otot-ototmu yang mengindahkan. Dalam sepi, kau yang kuagungkan. Kungiangkan bak
mengejar rantai alunan lagu. Lagu yang sajak serta rimanya adalah sumbang,
senantiasa tak sama. Terkadang berakhir konsonan, tapi lebih banyak terhenti
oleh vokal kesenyapan.
Ini bukan
siratan untuk memanggil suratan. Barangkali juga bukan kumpulan metafora yang
mengindikasi melankolis kisah. Ini nyata. Sebab dia yang kuceritakan ada di
dekatku. Tepat di sampingku sedemikian waktu. Berkali kucerna dengan hati, kau
tetap menjadi satu titik perhentian. Belum melaju. Belum berlalu. Terhenti.
Seakan kaki tak sanggup melangkah meninggalkan hari.
Kunyatakan
kerinduan ini dengan menyebut namanya perlahan. “Dya...Dya...,” bisikku. Pelan
sekali hembusan sapaku memanggil asmanya. Bersebab dia yang kusanjung adalah
wanita perasa kelembutan. Simbol yang ditakdirkan Tuhan untuk menghadirkan
romansa sejuk di alam dunia. Semakin senja, perempuanku semakin bertambah
putih. Aku juga heran sebenarnya. Terlagi mentari kian berlari menuju tempatnya
memejam. Kukelamkan naungannya dalam rinai mustika. Namun, dia tetaplah
bercahaya. Entah dalam alibiku saja, atau yang lain menyaksikan sama.
Lembar
pertama dalam dimensiku adalah abu-abu. Keraguan. Sepotong berisi ungkapan tak
logis bernama mimpi. Mimpi yang senantiasa kucipta agar hidup lebih ringan
dibawa. Dalam petikan-petikan mimpi, tak jarang aku menulis semua permintaan,
seluruh pengharapan yang pesimis kuraih dalam kenyataan.
Adakah yang
tak mungkin terjadi di dunia? Jawabku singkat. Segalanya mungkin atau
barangkali tidak mungkin adalah relatif. Sebab di sini, hukum tarik-menarik
sejatinya sangat kuat. Ada alam serta diri kita yang bergetar memeluk energi.
Apabila kita memantik harap dengan sungguh, boleh jadi Tuhan mengizinkan alam
memberi itu. Namun, keraguan sejatinya mematri setiap probabilitas. Kala aku
menakzimmu memelihara perasaan ini, keraguan datang mengobrak-abrikan suasana.
Aku tak lagi bisa melihat jernih, semua nyata gulita sepi.
Becermin pada
kenyataan kemarin tentang elegi rasa. Barangkali pertemuan setidaknya tak bisa
mengerti apa arti segala kisah. Semenjak Dya kutakdirkan mengisi pucuk-pucuk
daun asmara hati, seluruhnya memerah muda. Mensyairkan kesembuhan abadi bagi
hati yang bertahun gelisah karena tak termiliki. Kukira Dya mampu menjadi
sandaran lelah ketika dunia melonjak tak seperti biasa. Di sini, fluktuasi
sejatinya berlangsung setiap hari. Apabila kau lupa berpegang, bisa saja esok,
dirimu tak mampu lagi terkenang. Mati tertelan mulut waktu yang menganga
meminta tumbal.
Lewat
goresan ini, aku mengharap kau bisa mengerti. Memahami jikalau rasaku adalah
sejati. Ketika malam mengembang, ingatlah, aku akan tetap terbaring mengenang.
Melihat mimpi yang indahnya semakin merah. Semakin jingga. Semakin sempurna
bila bersanding denganmu, Dya. Tolong perhatikan apa yang tersurat. Terlagi
yang tersirat. Sebab segalanya indah jikalau semua berakhir dengan romansa.
(IPM)
Bandung, Maret 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini