Pris-Pras-Pris-Pras...
TERDENGAR
sama tapi teramat berbeda. Bukan kembar terlagi pinang dibelah dua. Mereka tak
bersambung, tak pula bertali yang membuatnya laik disebut sedarah. Sebab tiada
benang di antara mereka. Namun, bagaimana dengan janji? Kukira janji telah lama
tak berujung di sini. Kini hanya ada aku yang akan bertutur tentang kisah Pris-Pras
dalam imaji. Simaklah dengan seksama karena aku takkan mengulangi, takkan pula
memberi penjelasan berlebih. Cukuplah aku sebagai orang ketiga yang gemar
bercerita. Panggil aku Tukang Cerita. Tugasmu hanya mendengar, sesekali
melempar tanya juga kurasa dibolehkan. Silakan...
***
PADA singkat
waktu di pelupuk senja, bersinar mentari lelah yang tak lagi menghangatkan.
Barangkali saat kau memandang, juga tak ada kelembutan bak cahaya yang menyisir
tubuhmu perhalan. Mentari senja kusangka selalu terlihat murung, tak
bersemangat, terkadang malah mendinginkan hingga segala raga menjadi kian
menggigil.
“Apa jadinya
kedinginan karena mentari? Itu tidak mungkin!” sahut Pras keras.
“Tapi, Pras,
kau harus ingat tentang analogi mentari dan rasa. Yang menjelaskan jikalau
sebuah rasa yang terpendam lama nantinya akan membeku selayaknya sinar mentari
senja...” jawab Pris mengheningkan.
“Apa
maksudmu?” Pras meragu.
***
SUNGGUH, aku
menceritakan apa yang aku pikirkan saat itu. Kujanjikan pula aku tak menambahi
dengan sebait rayuan. Sebab kejujuran ialah seperti rias wajah yang norak nun
menor. Tak terbayang jikalau masih kuhias dengan rayuan lagi. Di sini
sepertinya lebih atau kurang cukup berpengaruh, karena setiap cerita perlu yang
namanya ‘pematuh’. Tidakkah mungkin tersirat sepenggal kisah tanpa sepasang
‘pematuh’ yang taat bermain watak. Dan pasti akan berantakan apabila salah satu
murung dan yang lain bertarung. Mereka harus menyelesai meski hati enggan
berandai.
Dalam hal
ini, sungguh sepenuhnya lakon dipegang kendali oleh Pris. Tiada sebab
selain inisiatif yang selalu dipegang, semakin diretas, hingga menuju rangkaian
kebiasaan. Wanita memang kurasa seringkali menaruh pengaruh di antara sepenggal
kisah. Terlagi kisah ini, di mana Pras diharuskan mematuh pada Pris.
Sepenuhnya. Seutuhnya. Tak bergerak sampai-sampai tenggelam ditelan belenggu
rasa. Rasa yang memetaforakan hati sehingga mengharuskan terus mengharapkan.
Namun, itulah kelemahan logika, terkadang mati ketika cinta datang
menghampirinya.
Dengan
segenap rasio dan akal, Pras berusaha membunuh rasa. Memulai dengan
menutup lembar yang mengakses ke arahnya, mengalihkan pandangan untuk memilah
lain perhatian, serta menebar kebencian agar rasa tak lagi berdiam singgah.
Semua telah dilakukan tapi rasa tetap saja menjadi rasa. Barangkali semakin
mewangi, meski tak ada yang mencoba menghangatkan. Senantiasa pula mengalun,
walau tiada yang menyairkan. Seluruh rasa bagaikan asap yang menghembus di
dalam ruangan, sebab saat asap itu tiada berwujud sedang kita masih bisa
merasakan. Hingga kita mencari-cari padahal ia selalu berdiam di sini. Kitalah
yang tak melihat, hanya merasa. Itulah analogi rasa.
Bahkan, aku
masih mengingat ketika Pras meminjamkan replika tokoh pewayangan kepada
seseorang untuk diberikan pada seseorang lain, Pris. Bersebab dipinjami,
maka Pris wajib menyerahkan kembali replika itu ketika datang masanya.
Masa saat Pras berhasil mengenakan mahkota di hari terbesarnya. Maaf.
Kupikir harus kusederhanakan bahasa ini agar kau tak bingung, supaya kau tak
bimbang dan mengerti yang kumaksud. Namun, aku menolak. Terkadang misteri
memang lebih baik menjadi misteri. Sebab apabila kau tahu semuanya, takkan ada
lagi hitam yang ingin kau terangkan. Lantas, kau bosan dengan segalanya.
Barangkali meninggihkan pandangan adalah tindakanmu berikutnya. Tapi aku
memahami Pris seutuhnya, sebagai tokoh dalam kisah yang kubuat. Dia
bukanlah hawa yang duniawi. Tak juga wanita dengan tedeng alih-alih materi.
Segala raga dan penampilan baginya hanyalah bungkus agar bisa dierat, disentuh,
serta dipegang agar tak lari ke lain arah. Tapi sungguh tak berarti ketika hati
keduanya telah berbicara. Setelah semua identitas Pris kubongkar
kepadamu, apa lantas kau tak mencintainya? Apa kau tak menaruh rasa kepadanya?
Apa kau tetap menganggapnya wanita biasa? Aku ragu dengan semua pandangan
kalian. Mulut kalian tidaklah sama dengan mata. Dan aku sangat mempercayai
mata.
***
DUA sorot
mata bertemu dalam satu relung yang singkat. Sesingkat pandangan pertama yang
tak akan menimbulkan dosa. Namun, ketika kau tak cukup dengan satu, maka dua
bukanlah opsi yang utuh. Karena sungguh satu menggenapkan, sedang dua
melenyapkan.
Sementara
hari memang sebagaimana yang dirasa manusia. Semakin waktu, semakin senja saja.
Pernah aku menganggap hari adalah sesuatu yang berjalan sama, tak beralih, dan
cenderung monoton. Tapi hari sengaja membeda, membuat langkahnya menjadi lebih
lebar, lebih cepat, lebih singkat, hingga setiap yang mengikuti akan tersungkur
berkali-kali. Saat kau terbangun dari jatuhmu, sungguh tak kautahu jikalau hari
telah membawa dia berlalu. Mungkin tertebak oleh kalian jikalau dia yang
kumaksud adalah kamu, Pris. Tokoh prameswari yang sedang dicari oleh
para pangeran. Sengaja kutuliskan ‘para’ sebab tidak hanya kau di pelupuk
matanya.
Tidakkah
kau, Pras, mengingat tentang kisah Pris bersama Pangeran
Petang-nya terdahulu. Yang mengukir indah romansa hingga setiap insan belum
dewasa iri kepadanya. Lantas, kau juga menaruh rindu di antara kehangatan
mereka yang mendinginkanmu bak mentari senja. Dingin yang menggigil, yang
membuat hatimu tak lagi bisa bergetar dengan gelombang hawa lain. Dan menanti
adalah jawaban teragungmu di tengah keheningan. Penantianmu sungguh kukira tak
terjawab, sebab tak kaulakukan sepetik dawai napas untuk menarik perhatiannya.
Tapi di tengah perjalanan, aku, Tukang Cerita sengaja mengubah haluan kisah Pangeran
Petang dan Pris menjadi spasi untuk kaumasuki. Sebentar saja, lantas
spasi itu melebar sampai-sampai menganga dan tak tertalikan kembali. Simpul
temali yang kuterka abadi akhirnya luput juga. Kukira siapa saja yang menemukan
tali itu bisa merajutkan kembali dengan kisahnya yang berbeda. Lalu, mengapa
kau tak mencari ujung talinya?
Sudah
kubilang, kau, Pras adalah ‘pematuh’ sebagaimana Pris yang
sengaja kuciptakan agar aku bisa leluasa bercerita. Kuajarkan pula kepadamu, Pras
tentang pelajaran kenangan. Masa lalu sungguh tak pernah dapat kauhilangkan
terlagi kauterjemah sehingga berulang. Dan menghapus masa lalu –kenangan–
takkan menjadi mudah bagi wanita. Terlagi kenangan itu diukir dengan sengaja
menorehnya perlahan melalui ucapan, tindakan, serta beralaskan hati ketulusan.
Kulihat, kau, Pras menjadi kian murung. Sudah kubilang di awal cerita
tadi, bertanyalah kepadaku, maka aku akan menjawabnya.
“Tukang
Cerita, jikalau dia memiliki kenangan yang kuat kepadanya, lantas apa yang
harus kuperbuat sebenarnya?”
Kau cukup
menyuruhnya memikirkanmu sesekali saja, sebab takkan mampu segala memori itu
menguap seketika. Coba buat dia merindumu kadang-kadang sebagaimana dia
melakukan itu kepada yang lain terdahulu. Kemudian, terkadang barangkali
menjelma menjadi sering. Lalu mewujud terbiasa. Dan di akhir pertemuan, hanya
ada dirimu yang diingatnya. Indah, bukan? Namun, apakah dia telah melupakan yang
lain? Sungguh tidak jawabku. Dia hanya menimpakan bayanganmu di atas lekuk
terdahulunya. Saat dia merindukan dahulu, bisa saja Pangeran Petang
datang kembali mengganggunya. Namun, itulah pelajaran kenangan yang tak bisa
disirnakan dan tak mampu seketika diretas sempurna. Kini, kau semakin kaya.
***
MAAF, terkadang
alur yang kubuat memang terkesan melompat-lompat. Bersebab di dalam hidup
semuanya tidak mengalir, tapi menarik ke suatu arus hingga kita yang tidak tahu
hanya menganggapnya mengalir. Tiada upaya yang tak membuahkan, kecuali
penantian. Tukang cerita pula sengaja tak mengakhirkan kisah ini. Cukup Pras
dan sesiapa prameswari yang kau pilih. Ada Putri Malam, ada Permaisuri
Mimpi, ada pula Ratu Sunyi, juga Pris. Dan replika tokoh
pewayanganmu sengaja kaupinjamkan pada Pris, yang kauharapkan,
kaumimpikan, dia datang membawanya kembali tanpaku.
(IPM)
Sby-Bdg,
Juni 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini