Kau lelah?
Silakan kau berkisah...
PUSPA masih
terdiam, sementara percakapan di telepon semakin membahana menyuarakan
kesenyapan. Aku yang di sini menunggu, juga kaku membisu tanpa sepatah kata
terlepas menghilangkan belenggu. Rasa yang sesak akan manisnya kisah-kisah
terdahulu bersamanya. Bersama dia yang membuatmu bergairah ketika lelah
mengejar roda-roda dunia, mengguratkan senyum ketulusan saat mentari tak
menyinari secara terang, serta mengaduk semua kebimbangan menjadi satu
kepercayaan. Sungguh, Puspa pernah bercerita segalanya kepadaku.
***
PITA
warna-warni menjadi momentum segala perkenalan kami. Sebenarnya apa itu arti
beragam warna? Biru untuk kedamaian. Merah untuk keberanian. Putih untuk
ketulusan. Dari mana makna-makna itu berasal juga aku tak mengetahui, tak
mengerti. Sebab segalanya hanya simbol dari megah skenario para penyaji. Kami
yang pada episode ini hanya diperankan menjadi penerima, tanpa hak untuk
membentak mempertanyakan. Kritis. Namun, harus solutif. Ya, berantai kata
bernada tinggi pula telah terbiasa dalam hari-hari ini. Aku tetaplah aku dengan
segala warnaku. Bagaimana warnamu? Kurasa lebih cerah dibanding aku.
***
SEBELUM aku,
barang tentu ada seseorang yang mengerti tentangmu secara utuh. Ialah dia, Ben,
yang membawamu terbang melihat harapan-harapan hubungan selama bertahun
sebelumnya. Ben jugalah yang menampung semua air matamu saat aku dan kau belum
dipertemukan, belum bersua dalam ruangan yang kami buat sendiri untuk membagi
berantai memori. Barangkali, lelaki itulah yang menjalankan peran terlagi tokoh
pendewasa hingga kau siap untuk dijumpakan dengan yang pantas denganmu kelak.
Namun,
itulah romansa. Indah ketika di awal, remang-remang saat sampai di pertengahan,
hingga membiru menyisakan sepi pada akhir yang membuatmu bersedih. Sejujurnya,
aku tak ingin melihat wajahmu yang murung, maka kutawarkan diri untuk melukis
senyum-senyum itu di ronamu, menambahkan ceria pada setiap langkahmu yang
indah, serta menggenapkan yang ganjil agar kau kembali mengerti apa arti kata
berbagi. Semua kulakukan dengan cuma-cuma, tanpa pamrih atau ongkos penebus
yang lain. Sebab, ada gembira di sini. Entahlah, aku mulai gamang berbagi
kisah.
Ya. Dalam
hidup, ada beberapa kalimat yang bimbang dinyatakan tapi cemerlang ketika kau
menuliskan. Beberapa orang justru menghindari karena takut segenap kisah
menjadi kian berlari. Namun, kucoba menjelaskan kepadamu tentang berbagai
kemungkinan dalam sejengkal usia. Sungguh, akan sangat menyesal bagi seseorang
yang tak pernah mencoba sesuatu yang menurutnya tidak mungkin. Sebab ketidakmungkinan
adalah untuk mereka yang mempercayai. Dan kegagalan ialah tanda bahwa seseorang
telah mencoba, tak terdiam menanti takdir yang senantiasa mencipta.
***
KULIHAT kau,
Puspa masih termenung mengguratkan lelah. Aku mengerti segala aktivitasmu di
luar sana. Sebagai lelaki, sungguh aku menaruh simpati di setiap lekukmu yang
penuh kerja keras. Semua tergambar jelas di balik tutur kata dan perbuatanmu
yang menyejukkan. Keramahan, barangkali ialah mahkota yang selalu kaupakai
ketika mengenal beberapa teman baru. Teman yang masih abu-abu sehingga harus
kaurabah ketulusannya agar tak menyisakan kecewa. Teman yang bisa saja
menjadikanmu sama sekali tak berarti, atau yang lain justru akan mengangkatmu
sebagai putri dalam sebuah kisah sejati.
Entahlah,
aku yang baru mengenalmu tak mampu menjanjikan apa-apa. Kubiarkan saja
perbuatanku menjadi cermin kepribadian. Kau yang menilai tentang kecakapan ini.
Kau boleh menganggapnya hanya pencitraan sebelum semua busuk terbongkar. Namun,
kau juga dibebaskan mencernanya sebagai ketulusan yang dikirimkan untuk
menggenapi kisah. Sungguh, itu terserah pada penilaianmu. Sebab yang penting
bagiku ialah memiliki seseorang untuk berbagi. Baik tawa, bahagia, sedih,
serta romansa semuanya barangkali akan lebih bermakna bila dinikmati bersama.
“Kau setuju,
bukan?” Puspa mengangguk mengiyakan.
***
SETELAH ini,
kubiarkan roda waktu memutar sesuai kehendaknya. Dan kualitas kami sungguh akan
bergantung dari segala usaha. Makna berantai kalimat harap sebelumnya juga akan
sangat sia-sia ketika tak ada rasa untuk senantiasa menjaga. Aku berjanji akan
mengubah jalan cerita ini kelak ketika telah pasti segala posisi kami. Mungkin,
ketika itu semuanya hanya tinggal haru, atau bisa saja segala kisah akan kian
mewangi, hingga harum bunga tak sanggup menyamai.
Puspa, kini
masihkah kau lelah? Kuterka wajahmu berubah merona...
(IPM)
Bandung, Juni 2012
Bandung, Juni 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini