Tak sabar
aku bersambang pada senja dan menunggumu bercerita. Kau di mana?
ENTAHLAH,
akhir-akhir ini aku gemar mengunjungi kolong langit Pasupati. Peneduh dengan
atap yang tak pernah diam, selalu saja bergerak hingga ketika kau berpaling
sedikit darinya, maka hampir pasti kau akan kehilangan susunan atap idamanmu.
Peneduh itu berdiri tegak membelah Kota D dengan anggun. Dengan meliuk indah
bak berlembar selendang sutera. Sebab saat kau menyusuri tepinya, kelak kau
akan menghela napas panjang terlagi lelah sebelum mengharapkan akhir yang
sempurna.
Di bawah
Pasupati, aku senantiasa duduk bersila menghadap jalanan yang diam sesaat
ketika warni lampu penghalang menyala. Beberapa memang terhenti, namun di lain
sisi, para raja jalanan sedang memacu kuda besinya dengan maksimal. Mereka
berlomba ingin tiba di tujuan sesegera. Padahal, waktu sungguh tercipta untuk
mencukupkan semua. Tak perlu mencuri jam, menit, atau detik. Karena setelah
kaulewati setiap baitnya, tak pernah mereka mengulang datang kepadamu. Lantas,
kau lupa mengenangnya.
Dinginnya
peneduh ini di akhir bulan Juli sungguh menjadi-jadi. Sebenarnya ada beberapa
alasan untuk mengusir hawa tak pantas ini. Bisa saja kau membakar ujung-ujungnya
agar kian menyala. Setelahnya pastilah hangat yang tersisa. Atau juga kau dapat
melemparkan isu penggusuran beberapa kompleks padat di bawahnya, agar semua
menjadi bingung, agar semua panik dan menyuarakan tangis kehangatan. Tapi bukan
itu yang ingin kuterka. Sebab aku di sini sedang menunggu datangnya seseorang,
dia.
Ialah dia,
Kinanti, gadis kolong langit Pasupati yang gemar bercerita. Gadis itu berbusana
nuansa putri, berkilau, serta bau wangi yang terkadang hinggap terkadang
lenyap. Persis sama dengan aroma parfum merk terkenal. Tiap senja dia datang
menghampiriku yang termangu sedari siang menantinya. Kinanti bersambang setelah
seharian mencari cukilan emas di tiap sudut Pasupati. Oh, sungguh di awal aku
tak percaya tentang cerita emas di Pasupati. Namun, tepat setelah dia
mengajakku, aku jadi yakin akannya.
Kinanti tak
pernah memberi tahu di mana dia tinggal. Bahkan ketika kutanya dengan nada
halus perlahan, dia tetap tak mau menjawab. Tak bergeming sama sekali. Jikalau
malam tiba, dia akan terburu berlari menuju kabut yang menyelimuti gulitanya
kolong Pasupati. Lantas, bersama kabut itu dia menghilang tak berbekas. Namun,
esok hari barang tentu dia akan hadir kembali di sini. Di senja dekat tiang
penyangga Pasupati baris ke delapan dekat perempatan. Tepat di depan aku duduk
bersila saat ini.
***
AKU
mengagumi cara Kinanti bercerita. Aku juga masih mengingat beberapa kisah yang
dia bagi kepadaku. Salah satunya, cerita tentang para penua yang duduk merintih
kepada para pejalan kaki yang lewat dengan cepat. Penua itu membawa beberapa
perlengkapan seperti bungkus permen ukuran jumbo, aluminium berbentuk wadah
seukuran lima jemari, atau juga telapak tangan yang selalu menengadah sempurna.
Mereka berucap ini dan itu agar dikasihani. Memanggil Tuan-Nyonya kepada para
pribumi. Perlahan, kemudian mengencang, lantas memohon paksa agar receh rela
dijatuhkan. Lalu, siapa yang tak iba? Siapa yang tega berlari menghindar tanpa
menghirau raut mereka?
Entahlah,
mereka yang menghalau perhatian para penua akan menyesal beberapa waktu
mendatang. Mengapa? Kau lupa? Tidakkah kau ingat perihal orang miskin yang
diangkat menjadi kaya di akhir-akhir jaman oleh Tuhan? Kelak, tiada lagi dari
sesamamu yang menjadi tak berharta. Seluruhnya rata sama. Bertahta, bermateri, serta
tak mau dikasihani. Lalu, bagaimana caramu bederma? Bisakah kau membagi hartamu
kepada sesiapa untuk menebus sejengkal pahala? Sayang, kau tak mengerti saat
ini, maka kau menutup matamu dan berlari menjauh.
***
SENJA ini
Kinanti datang membawa satu cerita lagi. Dalam batin aku berpikir jikalau makin
hari, aku makin berwarna akan variasi cerita. Kini dia berkisah tentang pria
bercorak wanita kepadaku. Pada awalnya aku gamang menangkap segala analogi
kisahnya. Sebab dia tak pernah memakai kata-kata lugas, selalu saja konotasi
yang harus dicerna dengan hati-hati jikalau kau ingin mengerti.
Diamlah.
Kinanti mulai bercerita. Dia memanggil pria bercorak wanita dengan sebutan
Bibipaman. Sebab tak jelas mana yang benar, mana yang sejati. Segalanya sengaja
dicampuradukan agar semua bimbang membuat penilaian. Lantas, kau yang tak
mengerti benar akan tabiat mereka akan terjebak dalam salah. Sehingga kau
memahami sebuah analogi yang keliru dan barang tentu akan kaubawa sampai
membiru.
Bibipaman
datang ke kolong langit Pasupati tepat ketika petang menjemput datang. Mereka
meraih beberapa alat kerja yang tak biasa. Sepatu berhak setengah tinggi, baju
permaisuri lengkap dengan rok pendek yang mengangkat, kalung warna-warni, tas
jinjing cerah di bahu atau sengaja dijinjing di tangan-tangan kekar mereka yang
mencitrakan jatidiri lelaki. Lalu, tak lupa mereka melekatkan riasan di setiap
titik wajah agar setiap yang lewat terpikat. Gincu merona di pipi, lipstik
merah jambu di bibir, serta maskara atau berbagai aksesoris lain yang aku tak
mau menyebutnya. Sungguh, Kinanti berkisah kepadaku tentang itu semua.
Dengan
sentuhan suara yang centil menggemaskan, Bibipaman memulai aksi dipayungi
kolong Pasupati yang menyala. Mereka bernyanyi secukupnya dari kaca ke kaca
dengan harapan receh rela terjamah. Lima ratus, seribu, dua ribu, atau di
kesempatan langka lima ribu dapat diperoleh dalah satu periode lampu merah.
Bibipaman di sana tidak sendiri, ada juga para toko keliling yang mengangkat
dagangannya ke sana ke mari. Seperti pasar saja kolong Pasupati saat malam
tiba. Tepat setelah bercerita tentang Bibipaman, Kinanti pergi ke dalam kabut
yang telah datang menjemputnya. Dia berlari menujunya dan hilang tak bersisa.
***
AKU tak
sabar menanti Kinanti bersua di senja ini. Anganku bertanya-tanya tentang apa
yang akan dia ceritakan nanti. Mungkinkah tentang para penua, kaum Bibipaman,
atau pedagang yang senantiasa berkeliling di lampu merah? Sungguh aku tak dapat
memberi prediksi sama sekali. Lalu, kubiarkan saja pikiran ini melayang hingga
Kinanti datang.
Dia datang
seperti biasanya, dengan anggun dan terkesan tergesa-gesa. Napasnya belum
berangsur normal. Masih terengah-engah.
“Kinanti,
kau baik-baik saja?” Tanyaku khawatir.
Dia menjawab
tanya dengan senyuman yang mengundang tanda tanya kedua. Sungguh semakin tak
wajar saja permaisuriku ini. Namun, aku masih ingin menguak segalanya hingga
terang bisa kujamah.
Bibir merah
muda itu pun mulai berkisah. Kali ini bertema pemuda-pemudi bebas. Aku tahu
kalian bingung menafsirkan maksudnya, maka kuperjelas. Pemuda-pemudi bebas
ialah mereka yang menggantungkan hidup kepada jalanan. Mereka bergerombol
setiap waktu. Dengan dandanan warna hitam atau abu. Mereka bergerak tak melaju.
Duduk, merokok, bernyanyi dengan upah recehan, serta tidur di sembarang tempat.
Sungguh, setiap orang yang lewat barangkali akan menghindar daripada terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Padahal, tidak semua dari mereka adalah anarkis.
Kalau pun ada itu hanya oknum, bukanlah keseluruhan badan mereka. Di negeri
ini, segala sesuatu tak perlu dinilai seluruhnya. Jikalau satu sisi dianggap
rusak maka seluruh bagianmu akan tercatat cacat.
Seperti
biasa, Kinanti berlari menuju kabut yang datang ketika malam mulai mengembang.
Aku hanya melihatnya, tak sanggup mencegah.
***
ESOKNYA,
Kinanti datang menebar senyum sempurna. Kepadaku, kepada para penua, kaum
Bibipaman, juga yang lain. Aku yang sedari siang menantinya membalas lesung
pipi itu dengan kehangatan candaan. Dia tertawa sembari menutup bibirnya agar
anggun tetap terjaga. Oh, sungguh cantik sekali permaisuriku. Namun, di senja
ini Kinanti tak membagi kisah. Ada apa dengannya? Apakah dia sakit? Ataukah dia
menyembunyikan semuanya? Aku mulai bertanya-tanya.
Malam
mengembang, kabut penjemput Kinanti pun kian bersambang. Dia pamit dan tergesa
berlari. Tak mau kehilangannya, lantas aku mengiringi lari kecil itu. Aku
bersamanya menembus kabut kolong Pasupati. Tepat sebelum aku hilang,
kutinggalkan diari ini agar kalian mengerti bagaimana kisah sebenarnya di bawah
kolong langit Pasupati. Tak usah menghirauku, sebab aku hilang untuk sebuah
kebahagiaan. Tak seperti para penipu yang berpura tertawa padahal hati mereka
tersayat pedih nun berdarah.
***
SETELAH hari
itu, di bawah kolong langit Pasupati tak lagi berkabut. Cemerlang, serta
berhiaskan lampu sorot jalan yang kemuning tanda keindahan. Namun, cobalah
kaucium perlahan. Ada wangi tak biasa yang tersirat hinggap dan sesaat lenyap:
ialah ia, wangi Kinanti, bersama aku, dan hangat kolong langit Pasupati.
(IPM)
Bandung, Juli 2012
Bandung, Juli 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini