Nura, apakah
kau baik di sana? Bagaimana kabarmu? Rambutmu, masihkah hitam?
KUKISAHKAN
pada kalian tentang permaisuri alam yang mewangi. Perempuan dengan segala
keindahan di balik lembutnya siluet. Sepasang mata pula bercahaya kala dia
menatapmu memberi secerca perhatian. Sesekali, cobalah balas kaupandang dia
dengan perlahan. Lihatlah lekuknya yang menawan. Sambanglah senyumnya yang
menghangatkan kala kau merasa sendiri kesepian. Kubisikkan beberapa patah kata
perjumpaan dengan hati-hati. Dengan sepenuh jiwa yang membuncah tak karuan
menahan sempurna kegugupan. Dia menoleh sembari menegak napasku yang terisi
suara kerinduan.
“Nura, ini
aku. Damar,” bisikku.
Nura tak
mendengar, tak pula menghirau tanda memerhati. Mungkin dalam angannya, dia
sedang sibuk menyulam lembaran kisah untuk disudahkan dalam kenyataan. Kisah
yang melankolis serta mendayu-dayu milik seorang wanita peragu. Namun, kisah
barangkali memang dibutuhkan ketika kau akan mengarungi sebuah mimpi besar.
Biarkan kisahmu yang menuntun ke arah mana engkau akan melangkah, mengawas
apa-apa yang ingin kaukejar, serta memikatmu agar selalu kian sempurna. Boleh
jadi kisahmulah yang menjadi malaikat penjaga kala kau lupa dengan segala jerih
payah, juga dengan bayangan pangeran yang senantiasa hadir di setiap pelupuk
mata. Tak kutahu ternyata Nura ingin bersua.
***
BERANJAK
dari kisah keraguan Nura, kini kalian harus melihat tentang apa-apa yang tak sanggup
tergurat. Lepaskan segala bebanmu untuk mengerti mengapa Nura meragu.
Sebenarnya dia tak melepas mahkotanya untuk kemudian ditukar dengan sejuntai
kain penghalang mata. Tak ada maksud tak terpuji yang tersirat di sana. Nura
tulus bercerita kepadaku tepat ketika aku membuka sebuah romansa. Malang sekali
nasib kalian, sebab tak menyaksi seluruh kronologi yang terjadi. Barang tentu
justru kalian menganggap Nura melakukan ini dan itu. Namun, sungguh tidak benar
jawabku.
Di mataku,
Nura tak lebih dari seorang wanita penyeka kelembutan. Tangkap saja tawanya
yang renyah hingga membuatmu tak sanggup melupa. Silakan cerna setiap tutur
kata yang memberimu sejengkal memoria. Atau jikalau kau masih meragu
kuperbolehkan kau bertanya kepadanya dengan sesuka, niscaya Nura akan
menjawabnya dengan terbuka, dengan seluruh frasa yang membawamu mengerti akan
arti spasi nurani.
Oh,
kusaksikan wajah kalian berubah merah. Malu. Lebih tepatnya kalian tersapu oleh
tingkah laku Nura yang anggun. Bahkan saat hendak terlelap, Nura akan terlebih
dahulu merenung tentang kisah yang telah terjadi di setiap ufuk hari. Hari
ketika dia terjaga, melaju, serta berlomba dengan rentetan waktu hingga
tersungkur melepas lelah di ranjangnya yang penuh kerutan. Coba kautangkap, sungguh
sempurna, bukan?
***
SELAMA
berhari-hari Nura gamang akan sebuah tindakan. Dia bimbang memilih menjalankan
kisah terdahulu seperti biasa, ataukah mensketsa cerita baru dengan tampilan
berbeda. Namun, Nura adalah tetap Nura. Masih seorang wanita yang menawan
ketika tersenyum, segar saat tertawa tersipu, serta sempurna sewaktu ia memilih
menggunakan secerca kain penghalang mata. Sungguh, kulihat Nura sangat
bercahaya dengan sempurna setelan gaya terbaru. Namun, hidup memang tidaklah
mensyairkan manis seluruhnya. Beberapa beralibi jikalau Nura hanya menebar
sensasi, menaksirkan muka agar terkesan religi, serta membisik bualan cerita
yang tak sanggup dipeluk bukti.
Tapi bukan
Nura namanya jikalau hanya mendengar segala cacian. Sebab telinga kadangkala memang
harus ditutup untuk setiap teriakan tak pantas, atau pula gunjingan yang
menghadirkan perpecahan. Nura membiarkan mereka berkata sesuka hati. Namun,
diam adalah bukan sama sekali emas. Sebab dalam diam haruslah diiringi dengan
tindakan. Dalam hal ini, Nura memilih menjawab cercaan dengan memadukan
perilaku terpuji khas wanita. Mengganggunkan diri dengan tetap ramah menyapa,
mendekatkan pendengaran dengan lawan bicara, serta menghargai mereka yang
menanyakan elegi sepenggal kisah. Tidakkah mereka lelah membenci Nura? Mungkin
saja benar jawabnya.
***
LAMBAT laun,
segala pendengki menguap menjadi butiran senja yang tak lagi terlihat. Nyanyian
sumbang mereka juga tak pernah tertangkap hinggap di antara daun telinga.
Semuanya kini tinggal cerita yang telah berbingkai bahagia. Setiap kali Nura
mengingatnya, sungguh sempurna apabila seluruh bincang dijadikan kompilasi
pelajaran. Sebab ini nyata, dan Nura benar-benar mengalaminya.
Saat ini
surga barangkali telah tercicip perlahan dalam cermin kesehariannya. Dengan
kain penutup mata, dia, Nura laksana amat sempurna sebagai seorang wanita.
Lantas, siapa yang rela mengganggunya, siapa pula yang tega merenggutnya?
Kurasa tiada, sebab semua pelindung kekejaman telah dia kenakan dengan anggun.
Dan mungkin, setelah ini, perangainya akan kian mewangi, hingga kesturi tak
sanggup menyaingi.
Nura,
sungguh kau dan kain penutup mata adalah pasangan yang sempurna. Tepat ketika
melihatmu, harum surga perlahan mendekat, memikat, hingga merasuk dalam
penglihatan yang kian pekat. Kukira kini aku telah menemukan kabar baikmu di
sana. Kabar yang putih, yang membuatmu layak disebut wanita sejati...
(IPM)
Bandung, Juli 2012
Bandung, Juli 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini