Gemerisik rasa
mengundang tanya
Ke arahmu, juga ke
arahnya
Ialah dia, yang
melukismu dengan
merah bibir-bibirnya
yang tak bertulang
Menghapus sesekali,
lalu jemari menyepuh lagi
Pedih, bukan?
Aku pun mulai
menerka: lebih getir mana,
hampa ataukah rasa,
yang diam-diam
kaurajut bersama
senja
Ingatkah, dia yang
lain pernah mendekapmu,
erat, yang bertali
pekat
Tapi tiba-tiba dia
melepasmu, dengan cepat
Kau yang tak siap,
mencari-cari
bayangnya hingga ke
balik tirai
Menghujamkan
jarum-jarum tepat ke uluh rindumu
Lantas, dia, yang
kausanjung -di lain tempat- sedang
menggenapkan senyum
lain perangai
Harapmu melayang,
menjemput ganjil wajahnya
Tapi dia toreh
belaimu, dengan luka
Sesakit itukah cinta
yang tak berbekas?
Adakah raga, atau
jiwa yang sanggup membebas?
Kau melempar tanya ke
angkasa
Terdengarkah jeritan
ini, wahai bintang?
Tertangkapkah getaran
ini, duhai rembulan?
Mereka
saling bertatap, tak menjawab
Diam,
barangkali lebih lekat daripada
kata-kata
pekat, yang selalu memeluk erat
Menangislah,
di pundak ini, terukir secerca lukaku
Tepat
ketika air matamu jatuh, luka itu seketika sembuh
Kemudian
kita tersenyum, dan lupa
semalam
utuh kita saling berbagi peluh
Peluh yang lelah,
tapi mengundang isak lega
Ialah aku, yang masih
terpejam di sisimu
Yang tahu, jikalau
malam tak lagi menemanimu
(IPM)
Surabaya, Sketsastra 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini