KETIKA aku
dilahirkan, beberapa orang memberiku nama Senja. Entahlah, apakah kisah hidupku
nanti akan sejingga langit sore, atau lebih terang apabila bersanding dengan
kemilau siang. Tak ada yang tahu, terlagi aku. Maka kubiarkan jemariku berlari
menuju tuannya.
“Tuan, aku
ingin kauhidangkan sepucuk pagi untuk menghangatkan raga. Bilakah kau berkenan
memberinya?”
Kemudian
Tuan memberiku sepucuk pagi untuk kucicipi. Hangat sekali dalam angan aku
berkata. Andai saja setiap hari ia rela membagi bahagianya kepadaku, pasti
tiada yang tersisa dalam benak ingin direngkuh. Tuan memang seharusnya tidak
menghadirkan pagi kepada kami, agar tak ada yang harus dikasihani.
***
SENJA itu
tidak selalu identik dengan feminin ataupun wanita. Aku lelaki. Dan apa yang
salah dengan namaku yang kaupanggil sebagai Senja. Tak ada yang mesti
dibenarkan atau disalahkan. Sebab apalah arti sebuah nama. Andai saja dahulu
kau memberi sebutan lain untuk mawar, ia tetap saja wangi. Lantas, kau
merenungi tindakanmu yang sia-sia.
Sudahlah,
tak apa. Aku tak marah jikalau kau memanggilku lelaki pengecut. Lelaki yang
melankolis serta tak pernah menepati janji. Biarkan saja seluruh sumpah menjadi
basi karena tak tertemui. Bukankah lelaki akan bertambah tinggi dengan segala
janjinya? Lalu wanita begitu percaya akannya. Aih, seharusnya kau waspada
akanku. Sekarang kau sendiri yang masuk dalam ruang kenanganmu.
Setelah
masuk, peraturan yang kubuat adalah tak memperbolehkan sesiapa untuk keluar.
Namun, kau tak bingung. Karena segalanya masih terang, secemerlang beberapa
harapan. Dan mungkin seluruhnya tak pernah dapat lestari, hingga suatu ketika
pasti sunyi akan bersambang menggenapi. Kemudian, aku diam-diam pergi.
Bagaimana? Masihkah kau tak mengerti?
***
JARUM jam
sedingin es saat kau berteriak memintaku ke mari. Ke tempat kau berdiri menanti
setan jalanan menghampiri. Sebenarnya aku tak mau datang, tak juga ingin
bertandang. Tapi segalanya mengalir bak simfoni lagu kematian, sedih, tapi
harus selalu dihadirkan untuk melengkapi. Maka aku merenggut dan membawamu ke
kediaman kelamku.
Kau yang
ikut bersamaku begitu saja tak menaruh segala curiga. Dasar wanita penurut, mau
saja dirayu dengan sejengkal hangat kata-kata. Fragmen wajahmu juga masih segar
tanda tak menghadirkan ragu. Kukira aku berhasil mencurimu. Utuh.
***
MALAM ini
serta malam-malam berikutnya kau resmi menjadi bagian kenangan kelam. Kau
tinggal bersamaku. Bersama tembok-tembok penat, kursi compang-camping, dapur
dengan kran yang senantiasa menetes, serta tak sedapnya aliran pembuangan
limbah dekat kamar sewaan ini. Mana ungkapan kekesalanmu, Ratna? Curahkan saja!
Aku menunggumu marah dan menghadiahkanku gulita.
Dua hari
menggenapi. Seminggu menjumpai. Sebulan menepi. Aih, kau sungguh betah berdiam
dengan lelaki senja sepertiku. Tidakkah kau, Ratna, melihat jikalau bahagia
hanyalah tentang uang dan harta. Tentang tas mewah yang dijinjing di atas siku,
baju berbahan kulit hewan buas yang menganga, anting panjang hingga menyentuh
halusnya pundak, serta putung rokok mentol merk terkenal di setiap pelipis
bibir merah muda. Oh, sebegitu polosnya kau hingga tak tahu apa arti bahagia.
Kemudian,
suasana menjadi sepi. Mulut ini tak lagi bicara, tak lagi berkata. Entahlah,
hangat dekapmu menjawab semuanya hingga aku tak berkenan bertanya. Huh, wanita
kuakui memang pandai membekukan emosi. Siapa yang tak luluh, siapa pula yang
betah berlama mengaduh?
***
BERBULAN kau
tinggal denganku. Tak ada yang sekiranya mencarimu. Awalnya aku tak menghirau,
tak memerhati. Namun, lambat laun aku mulai percaya jikalau kau adalah
bidadari. Wanita yang tak lahir dari rahim seorang ibu yang suci. Tak pula
berayah yang menghadiahkanmu bekal-bekal untuk menua. Kini kutahu kau sebatang
kara, Ratna.
Tak apa, tak
usah bersedih. Kau cukup menghenti setiap mimpi agar ketika kau terjatuh, tak
terlalu sakit yang diterima ragamu. Karena, sejak aku berdiam di jalanan, aku
mulai takut bermimpi. Aku sering merinding apabila harapan datang menghampiri.
Bagiku, hidup yakni hari ini. Esok tak penting, sama tidak pentingnya dengan
cacian para pemerhati.
Maaf. Aku
lupa mengarti jikalau hidup itu dinamis. Tak selamanya analogi dalam prasangka
adalah absolut benar. Aku –manusia– terkadang atau lebih dominan salah. Hingga
saat kau mengingatkan, aku menjadi diam termenung sendirian. Lama.
Sampai-sampai kau tertidur pulas bersama kerutan sprei kelamnya ruangan.
***
KAU mulai
menagih beribu janji. Tentang ini dan itu yang aku enggan mengingatnya. Di
ujung jalan sana aku mencari secuil kenangan bahagia. Namun, ia telah lama
pindah. Malah, sedih serta tangis mengambang di mana-mana. Di selokan yang hitam,
dinding-dinding murung, kerak lantai yang lebam, serta selimut tempat tidur
yang senantiasa basah karena air mata. Inilah mimpi buruk yang datang di
cemerlang siang. Tak salah bila sebelumnya aku takut bicara tentang mimpi.
Seperti saat ini, tercekik oleh janji akan mimpi.
Lantas, aku
kembali menemui Tuan. Memohon agar sepucuk pagi rela diberi. Saat ini, sepucuk
pagi dapat ditukar dengan harta serta mengisahkan bahagia. Maka kuteruskan
merintih meminta sepucuk pagi. Kubawa pula kau untuk menghaluskan perkataan
Tuan. Seperti kataku dulu: siapa yang tak luluh oleh wanita, siapa pula yang
betah berlama mengaduh dengannya?
Tuan tak
bergeming. Masih tak menghadiahkan sepucuk pagi kepada kami. Dengan segala jeri
payah, akhirnya kami letih meminta. Dengan alibi membahagiakanmu, Tuan begitu
saja membawamu lari entah ke mana. Aku yang tak sanggup mencegah, hanya
menangis menyesali semua. Kau menguap, Ratna.
Dalam sepiku
kini aku mengerti apa itu arti bahagia. Singkat saja, bahagia adalah cukup: kamu,
tanpaku, serta pucuk-pucuk pagi yang lain.
(IPM)
Bandung, Agustus 2012
Bandung, Agustus 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini