Senja
menjemput, kau asyik bercengkrama dengan rekanmu. Kulihat tawa itu pecah, serta
sedihmu tiba-tiba memeluk rasa. Kau terdiam, meringis sakit, tak bertenaga.
Malam
bersambut, kau terlelap di kamar terkelammu. Terlepas dari corak kotak-kotak
sprei, kerutan bantal tidur, atau juga hempasan angin sunyi. Kau mulai mengerti
arti sepi.
Pagi
menjelang, kau terbangun dengan raga yang lain. Badan yang halus putih tak
berpeluh. Dingin, atau sangat beku ketika kaupetik perlahan. Gemerisiknya,
membuatmu legam menahan sapa. Kau tiada.
Siang
berpegang, kau masih mencari letak jemari yang penuh sidik jari. Tak ada. Kini,
hanya tangan-tangan halus yang tak lagi bisa kausentuh. Mereka mensyairkan
nyanyian surga ke arahmu. Tepat setelahnya, kau sadar: hari terang, tak berarti harus siang.
Senja-malam-pagi-siang.
Denting air mata terbelah, jatuh pada pipi-pipi yang luntur akan maskara.
Sesegera, kau mengusapnya. “Tak perlulah
ada air yang terkikis karenaku. Kesedihan hanyalah kisah yang tak bertuan...”
katamu. Baitmu terhenti, seketika hangat lantai kamarmu menguap. Maaf, kini kau
benar-benar hilang tersesap.
Selamat
jalan, Kawan.
Bandung,
Oktober 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini