Kau
pernah melihat senja?
Sungguh, perhentianku benar-benar tak
beranjak. Segala angan juga masih terpasung tak bergerak di sini. Ya, di tempat
ini. Dahulu, berlampau waktu, senyum itu mengembang kala teriknya surya
membakar setiap desah-desah napas. Tak kulihat sedih terlukis pada wajahmu. Dan
sesekali biarlah pena ini sejenak bercerita. Ada dahaga yang ingin kutuntaskan
sesegera. Haus yang hanya hilang oleh derasnya airmata, milik kita.
***
Lupakah kau? Lupakah kau ketika rintik
hujan deras mengguyur setiap jengkah kota C dengan pasti? Berpuluh payung rela
dikembangkan agar raga tak basah. Dan kita dipertemukan oleh waktu untuk bertatap
mata. Namun, itu bukan mauku. Bukan kehendakku yang diam berkaca pada bayangmu.
Sedetik-dua detik kita bersambang. Untuk kemudian bibir berucap, serta kata
selaksa air mengguyur mencairkan bekunya suasana. Sekejap, kau ada di depanku,
mengendarai motormu, mengarahkan pandangan dengan pasti ke jalanan Kota C yang
basah. Dingin bercampur asa.
“Lain waktu, sudihkah kau membawaku
berkeliling kota C lagi? Tanpa tujuan,” bisikku dalam hati. Aku tak mengharap
kau yang menjawabnya. Kupinta, waktu rela memberiku sebait memoria. Semoga.
***
Minggu pagi, ketika mentari tak
bermata mulai mengembangkan raga lelahnya. Cahaya itu menelusup relung-relung
tirai kamar yang diam-diam bergerak karena geliat angin. Kini, pagi adalah
waktu terindah. Semenjak denting-denting hari terisi olehmu, pagi menjadi
sesuatu yang paling dinanti. Pagi yang selalu kungiangkan kalimat harapan agar
hari senantiasa menjelma cerah. Senyum-senyum juga senantiasa terlukis pada
dinding-dinding serta lembar demi lembar tulisan diari. Kali ini, aku sempurna,
denganmu yang kerap menggambar lesung di lekuk rona wajah. Terima kasih, Senja.
Hari demi hari senyumku semakin
membahana. Barangkali frekuensi pertemuan kita sekarang juga semakin intens
saja. Di pagi hingga petang kelas sekolah menjadi saksi, saat petang sampai
sepenggalah malam kau tetap menemani, dan perjalanan menuju rumahku pun kau
masih bisa jelas kulihat. Lantas, siapa yang sanggup menyalahkan rasa? Adakah
seseorang yang mencela kalimat “Cinta ada
karena terbiasa bersama”? Aku tak bisa mengelak, hanya malu-malu, sesuai
posisiku.
***
Benar katamu. Wanita tak perlu diberi
segunung pujian, tak butuh disanjung berantai frasa metafora hingga mereka
terbang dibuatnya, serta tak usah kau repot-repot membawakan ini dan itu
kepadanya. Wanita itu praktis. Cukuplah kau titipkan kata “Selamat Pagi atau Selamat Malam” pada layar ponselnya setiap hari,
kau tuliskan “Semoga lekas sembuh”
jikalau dia sakit, kau ucapkan “Selamat
ulang tahun” saat dia bertambah usia, atau juga tak lebih menjadikannya nyaman
ketika dia ingin berbagi kisah baik suka maupun duka. Lengkaplah sudah. Kupastikan
kau telah merenggut hari dan hati wanita itu. Seperti yang kaulakukan padaku.
***
Bait-bait yang membuatmu menjadi
seorang lelaki lengkap telah kaupenuhi. Pintar, takut kepada Tuhan, perhatian,
serta yang lain telah kaugenggam erat dalam sakumu. Lantas, saat kau
membutuhkannya, kau tinggal mengambilnya sesegera. Semudah itu. Namun, kutahu
ada yang lalai kaumiliki. Boleh jadi wanita memang menyukai perhatian,
sanjungan, permen manis, batangan coklat, boneka Teddy, atau juga kain-kain
sutera berwarna ungu, tapi wanita tetaplah wanita, ia lebih mencintai
kepastian. Itu yang belum kautunjukkan. Mungkinkah kau lupa?
Kau tak lupa. Dan kupastikan kau
selalu mengingat kepastian itu. Kepastian yang pahit ketika kutemui dia yang
lain sedang menjalinmu erat di sana. Kau pun rela memberikan pundak teragungmu
untuk seseorang lain menyandarkan hatinya. Barangkali sedih, atau letih yang
kurasa saat ini. Siapa wanita yang tetap dapat tersenyum kala lelakinya
berbahagia dengan yang lain? Siapa pula wanita yang sanggup tertawa setelah
mengharap sejak lama namun tak kunjung menemui romansa? Cinta itu egois. Ketika
kau sangat mencintai seseorang, kau tak akan mungkin rela melihatnya berbahagia
dengan yang lain. Kurasa kau tak mengerti.
Dan satu lagi yang tak kautahu.
Sungguh, kini aku benar-benar seperti melankolia air mata, yang tahu benar
mengecap setiap gemerisik rasa. Barangkali memang benar kata pepatah: Kau bisa menentukan tanggal pernikahanmu
dengan asa, tapi kau takkan bisa menentukan kapan kau benar-benar jatuh cinta.
Aih, sesaat sesak menghujam setiap desah napas. Terhenti, naluri wanitaku
menuntunku pergi.
***
Aku masih mengingat momen ketika kau
abaikan wanitamu demi aku yang terjatuh karena kecelakaan di lajur jalanan Kota
C. Jalan yang licin hingga membuatku terjatuh karenanya. Kau datang, menawarkan
lengan terbaikmu untuk memapah raga ini bangkit. Bibir itu, tak hentinya
mengucap menanyakan keadaan. Mata itu, tak lelahnya memeriksa apakah ada yang
berbalut luka di lekukku yang lemah. Dan telinga itu, seakan menginginkan
jawabku yang jujur kepadanya.
Oh, sungguh tak kaulihat, wanitamu itu
menangis karenaku. Tidakkah kau mengerti apa arti air mata? Belumkah kau
belajar dari elegi yang ia bawa? Aku ingin seperti air mata, yang mencintai
dengan cara menjatuhkan diri.
***Kini usia mendewasakan kita. Kau masih di sana dan aku tak bergeming di sini. Kau masih bersamanya sedang aku erat mendekap lekuk-lekukmu yang hampa. Ketika kau bertanya: Apakah pernah aku melihat Senja? Jawabku satu: Pernah. Senjaku adalah kamu, yang hadir setitik waktu namun mengguratkan noda murung sekian lama, yang melukiskan tawa dan mengubahnya menjadi bulir-bulir luka, yang tak mengerti jikalau rasa ini sejati dan hanya padamu aku rela membagi. Maaf, aku diam-diam mencintai.
(IPM)
#Ilustrasi diunduh dari sini