Hanya untuk
satu nama
Gadis
jelitaku, menawan setiap jeli mata
Berkilau,
hingga aku dan kalian menyingkap silau
Kala dia
tersipu, aku buru-buru merasuk maju, memburu, senyumnya yang lamat-lamat melagu
Kudengarkan
nadinya berdetak, selaksa ada sayap yang mengepak-ngepak
Sangat
perlahan, sangat rupawan
Siapa dari
kalian yang tidak tergoda?
Adakah kalian
membuang muka, setelah dia –yang kusanjung– menatapmu sengaja?
Oh, padahal,
kau tak bisa memandang hitamnya rambut
Tak sanggup
pula menyentuh eloknya kulit
Tapi, perangai
yang tertutupi, sungguh akan semakin mewangi
Kain penutup
itu, terlagi penghalang mata, adalah pasanganmu yang sempurna
Cantik, tak
harus terbuka, bukan?
Lalu lirik
matamu merunduk, memagut sesiapa yang lewat membungkuk
Perempuan
Jawa, memang indah dalam setiap tuturnya
Kau menepikan
singgung senyum, mengesapnya hingga kian ranum
Sebenarnya,
aku ingin: demi detik merasa, demi hari menjaga, serta demi tahun menjelma,
menjadi pangeranmu
Satu lelaki,
dengan tangan kiri di saku, lengan kanan erat memeluk ragamu
Jemari ini pun
rela berjalan mesra, ketika kami berjanji di depan kitab kita
Aih, puisi
atau juga syair-syair, terkadang ialah ungkapan hitam seorang penulis, untuk
seseorang: kamu
Tetapi adakah
kamu mengerti?
Akankah engkau
merasa, jikalau setiap larik puisi adalah tercipta hanya untukmu, Tya?
Maka
kulekatkan namamu di awal dan akhir sajakku
Hanya untuk
satu nama: Dia, kekasihku..
(IPM)
Bandung, Sketsastra 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini