SUNGGUH aku tidak akan bercerita
tentang apa yang kita lakukan selama ini. Sebab, waktu belum cukup berakhir.
Masih ada esok di mana kita berjanji bertemu dan merajut tawa lagi.
Kalian tahu, siapa yang mempertemukan
kita jam 10 di depan bangunan tinggi menjulang tadi? Siapa pula yang rela
menggerakkan kaki di tengah libur semester untuk sekedar bertatap menukar
sedih? Jawabnya bukan aku. Bukan juga bersebab kamu. Namun kita, dalam ikatan
yang kata orang disebut persahabatan.
Aku masih ingat kala satu dari kalian
berlampau waktu berjanji akan bertemu pagi ini. Bukan teruntuk apa, tapi demi merayakan
keberhasilan sesaat, atau melepas penat setelah berminggu dihujam beribu
tekanan ilmu dunia. Kita manusia, bukan
panci bertekanan tinggi, benar?
Hari yang dijanjikan tiba, kami datang
berjumpa pada tempat yang ditentukan. Kulihat mereka sedang termangu menunggu
rekan yang lain. Aku yang sedari tadi melagu, tetap melaju membawa
tinggi-tinggi langkahku, menyapanya, untuk kemudian menanti hingga semua
terlengkapi.
***
TERIK mentari menyapa, lekukan
bangunan megah melambai mengajak sesiapa untuk singgah. Kami sedang mengantre,
menunggu giliran dipanggil oleh pelayan sebuah tempat pencipta kenangan.
Entahlah, sedari tadi kalian sangat menginginkan mencetak sebait kenangan dalam
kertas berwarna pelangi.
Dalam kertas itu, kalian tahu, nantinya
hadir bermacam ekspresi wajah serta topeng-topeng manusia. Tentunya kalian
sendiri yang menentukan, apakah akan memakai topeng sedih, topeng riang, atau
topeng keduanya untuk menyamarkan resah hati yang dirasa. Oh, itu semua
dibebaskan.
Lalu, terciptalah bingkai-bingkai
kenangan, yang akan diingat kala kalian ingin kembali ke masa itu. Ya, kami
memang tidak akan bersama sepanjang waktu. Barangkali, besok atau lusa, jikalau
satu dari kami tiada, sebait cetak kenangan akan mengobati segala kerinduan
yang meregang. Maka, kami mencetak kenangan di dua tempat berbeda, dengan alibi
tak ingin melewatkan setiap helah yang tersisa.
***
PANGGILAN Tuhan berkumandang, sebagai
insan, kami meletakkan kewajiban serta kebutuhan pada tempat yang seharusnya.
Aku melenggang ke tempat tinggal Tuhan di dekat sana, bersama ketiga sahabat
yang lain: W, A, dan S. Maaf, inisial kurasa cukup bagi kita. Sebab, apalah
arti sebuah nama. Jikalau berlampau lalu kau memberikan nama lain untuk mawar, dia
tetap saja wangi. Maka, aku mulai mengabaikan penamaan.
Oh, Tuhan menyambut kami dengan hujan.
Hujan yang rintiknya semakin lama semakin deras hingga seperti tirai air di
pelataran bulan Desember. Entahlah, aku selalu bersyukur tentang penciptaan
hujan. Tidakkah kalian pernah berpikir jikalau hujan diciptakan bukan dalam
rupa rintik, maka sesiapa boleh jadi terluka karenanya. Bahkan, hujan yang
seperti menuang air dari langit akan serta merta merusak setiap bangunan
bersama para peninggalnya. Namun, Tuhan selalu memberikan hujan dengan rupa
rintik. Tidak teruntuk apa, tapi supaya kita bersyukur kepada-Nya.
***
KAMI memesan berbagai hidangan siang
untuk disantap. Nama-nama menu yang asing di telinga orang kebanyakan, tapi
itulah seni sebuah pengalaman memakan. Ketika kau pernah memesan dan merasakan,
barangkali kau telah mengerti apa makna hidangan tersebut. Dan kami mulai
menunggu, memperhatikan lalu lalang orang yang enggan menorehkan kesan. Hujan
di luar masih tumpah. Namun, siapa yang menerka, jikalau hujan akan
mengguratkan keindahan setelahnya. Itulah pelangi, dengan berbagai warna, yang
memadu untuk mengukir satu arti. Oh, barangkali seperti kami.
***
RUANGAN gelap memagut, menyambut kami
yang duduk bersangkut pada busa-busa berlapis katun yang berjajar rapi. Di
depan kami, puluhan inci layar dikembangkan. Di sana, kami ingin mengambil
kisah dari pembuat naskah. Apabila beruntung, kami bisa jadi memperoleh hikmah
tentang sebuah kejadian di fenomena kehidupan, tapi jikalau tidak, barangkali
kami hanya menerima lelah mata bersebab membelalak memandang semua.
Berlatar di Jakarta dan kawasan Semeru
Jawa Timur menjadikan alur cerita kian hangat dan tak tertebak. Berkisah
tentang persahabatan, lika-liku kehidupan, serta cinta membuat makna kisah
menjadi sempurna.
“Aku ingin seperti Arinda,” salah satu
dari kalian berharap.
“Aku ingin seperti Zafran,” balas yang
lain.
Sepenggalah tadi mungkin mengajarkan
kami tentang beberapa arti persahabatan. Bagiku, sahabat tidak harus selalu
utuh, terkadang boleh saja diakhiri untuk nantinya disambung kembali, tentunya
dengan lebih erat lagi. Atau dengan berpisah, kalian akan menghargai apa arti
perjumpaan. Sebab segala sesuatu barangkali terasa begitu berharga jikalau dia
telah tiada.
Yang lain, mungkin kami disuguhi
tentang romansa berseberang kekasih. Sungguh, tiada yang mengerti tentang
cinta. Kau bisa menentukan tanggal kau akan menikah, tapi takkan bisa kau
menakdirkan kapan kau jatuh cinta. Barangkali kata itu terlalu rumit untuk
manusia. Sesekali kau tinggal menikmati saja, sebab kata dan bualan penyair
seringkali hanya menghamburkan makna cinta itu sendiri. Ya, memang benar
adanya, terkadang orang yang mencintaimu ialah dia yang tidak pernah menyatakan
cinta padamu. Bukan bersebab apa, dia hanya takut setelahnya kau memberi jarak,
maka dipendamnya rasa itu sedemikian waktu. Namun, cinta yang tak terungkap tak
lebih merupa bunga yang mekar tapi layu tak terpetik oleh sesiapa. Itulah
sebuah elegi yang mengundang air mata.
***
MALAM mengembang, lampion-lampion
listrik dinyalakan. Beramai orang mulai datang menghangatkan suhu Kota D yang
dingin sebiru kesedihan. Beberapa dari kami pamit berpisah, diucapnya kalimat: Terima kasih dan sampai jumpa lain waktu.
Namun, sungguh aku kurang mengerti tentang apa makna ‘lain waktu’. Sebab,
seringkali ‘lain waktu’ hanya sesumbar kalimat untuk menghaluskan dua frasa
‘selamat tinggal’. Dan mungkin, tak ada lagi selarik waktu perjumpaan di depan
sana untuk kita bersama. Oh, itu hanya sentimentil penyair, tak perlulah kalian
bersedih akannya. Untuk yang pergi: Sampai
jumpa, semoga hari esok lebih indah. Kalian
tahu, sebenarnya kita tidak berpisah, masih menapak pada tanah yang sama, masih
berteduh pada langit yang sama, hanya saja tak berjumpa.
Alunan musik menghentak telinga kami
yang lelah. Kini, seakan kami telah berlagak bak superstar layar kaca. Berbekal
microphone dan lirik, kami menggadai
lelah dengan perasaan lega. Disantapnya kalimat-kalimat indah, disapunya
ritme-ritme sempurna, serta dihapusnya bebulir melankolia air mata. Oh, hari
ini tak mungkin terulang. Maka dari itu janganlah kalian melukai senyuman
dengan setetes kesedihan.
***
LENGKAP sudah kenangan kita hari ini.
Dalam anganku, aku masih mengingat khas-khas kalian yang unik nun sempurna.
Amila dengan lengking suara. Arizki dengan ketulusan serta kekuatan memakan
segala. Ade dengan “proyek”-nya. Ummi dengan “program”-nya. Imana dengan
“ontime”-nya. Deby dengan “strong”-nya. Wendi dengan kesabarannya. Ipul dengan
kerendahan dan keramahannya. Astri dengan kesederhanaanya. Lu’lu’ dengan
kebijaksanaanya. Suci dengan senyum kecilnya. Serta aku dengan cerita pendek
ini.
Semoga
ada waktu di lain hari untuk kita merangkai kenangan lagi. Ini kami, teman
pergi yang akan menjadi sahabat sejati...
(IPM)
Bandung,
21 Desember 2012 : Pukul 23.34