Katamu, langit sebagaimana bintang tak pernah bercahaya.
Mereka berpendar, bukan atas kehendak diri sendiri.
Ada yang mampu mendongaknya, tak terhenti.
Lelah, letih bercampur asa yang senantiasa mencari-cari
lekuknya.
Di mana lekuk terindah itu bersembunyi?
Di saku belakang celananya, di sisi laci-laci almari,
atau di bawah tumpukan baju wangi nan rapi?
Coba kaupandang, semua ada di dekat kekasihmu.
Lantas, mengapa tak kautahu?
Adakah dia -yang kaukecup bibirnya tiap malam- tak
mengerti lagatmu yang hitam?
Yang cuma aku, dan kau yang menerangkan.
Gulita.
Tetaplah saja menjadi gulita.
Tiup saja pelita yang mencahayakan kamarmu. Tak usah
kauterangi dia.
Biarkan pula meronta-ronta, mengais siluetmu yang merona.
Sesekali, berbaringlah di sini.
Tinggalkan dia di beberapa denting hari.
Sudah kubilang: kamar ini tak pernah terkunci.
Kau cukup menarik gagangnya, dan masuk.
Pakailah gaun kasa putihmu, yang pudar bebercak darah.
Darah yang menyaksi kita, kala membuncahkan rasa, sembari
saling tertawa.
Namun, hingga maut erat merasuk.
Bukan kau yang kini kurajut: dalam hambarnya peluk.
(IPM)
Bandung, Desember 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini