Pernahkah
kau melakukan hal yang belum pernah kau kerjakan sebelumnya?
Aku bertanya kepadanya. Kepada dia
yang selalu termenung menatap mentari senja sendirian. Baginya, senja ialah perlambang
kesedihan, kemurungan, terlagi elegi yang pekat bersama rintihan perih. Dia
selalu berkata jikalau esok tak ingin lagi berpisah dari siang. Sebab, dia
menyukai apa yang disebut terang, bukan gelap seperti lagatnya yang selama ini
tak ditampakkan.
Namun, sungguh aku telah hapal akan
segala tingkahmu. Aku selalu mengerti kapan kau akan menitihkan kepalamu di
dinding-dinding murung, kapan kau memejamkan mata untuk menuntaskan hari
terindah, kapan kau bangun dan mencari kacamatamu di sisi-sisi meja, serta
kapan tangan itu mulai menggapai-gapai di bawah lekukan bantal. Entah apa yang
kaucari, tapi kuharap jemari ini segan kaupilih.
Sudah kubilang aku mengingat setiap
gerak-gerikmu. Namun, pernahkah kau merasa bosan akan realita? Pernahkah kau
menghela napas tidak sepanjang biasa? Pernahkah kau sekali waktu mencintai
senja dan membenci siang? Dan pula pernahkah kau mencoba melirik bayang itu
untuk sekiranya memberi seruang hampa?
Itu pertanyaan-pertanyaan retoris.
Sebab, tak pernah dan tak akan pernah kau menjawabnya. Cukuplah desah ini
menghembus untuk mencerahkan pagi. Dengan membaginya ke udara, sesakku lebih
ringan terasa. Tak apa. Kau cukup menjalani hari dengan sesiapa pengecup
keningmu, kau bebas meraih pundak teragung untuk kau rebahkan penat kepalamu,
serta kusilakan kau menjamah setiap kata dari pemilik bibir merah terlagi basah
yang lain. Kau ialah kau dengan pemilik segala kehidupanmu. Dan kau harus
percaya akan itu.
Lantas, ketika kau kutanya: pernahkah kau melakukan sesuatu yang belum
pernah kau kerjakan? Pelan kau menjawab: belum. Sebab, kau masih hidup di masa yang lampau. Masa ketika
lelakimu masih sanggup membacakan dongeng ketika kau akan tertidur, menanyakan
kabar saat kau berlagu di suatu tempat, atau juga menyanyikan sajak-sajak
bermajas untuk mengagumkan perangaimu yang merona. Namun, sejenak coba kau tatap
matanya. Perhatikan pula dengan seksama. Oh, dia tak lagi memandang ke sisimu.
Dia tak pula ingin kembali ke jalinan ceritamu. Sungguh, dia telah menukar
kisahmu dengan sepenggal romantika milik wanita yang lain. Dia pula yang
menghapus bayangmu, dan menindihnya dengan wajah kekasihnya yang baru.
Oh, sungguh sengguk itu tumbah.
Membuncah bak aliran deras air mata. Tenang, akan kuusap basahnya dengan jemari
ini. Seraya menembus relung senja, kau berkata: kini aku akan melakukan sesuatu yang baru dan belum pernah kukerjakan.
Tanyaku, “Apa?”
“Mencintaimu tanpanya...” janjimu di
depan kitab kita.
(IPM)
#Ilustrasi diunduh dari sini