Maaf
saja tiada cukup...
Aku pernah meninggalkanmu dulu, jauh
tak terjangkau waktu. Kala itu kau sendirian, berteman dengan sunyi yang semakin
kelam. Sunyi yang senyapnya sangat dingin, hingga satu per satu logikamu
membeku tak karuan. Kau menangis tersedu sambil merangkai makna bunga-bunga
perjumpaan. Namun, sungguh aku telah meminta maaf atas semua, tinggal
kelapanganmu saja yang menentukan apakah kau sudih menerima.
Kita pernah berbagi spasi, bederma
kasih, serta saling menerima keletihan atau juga elegi kesedihan. Tiap jangka
kaki dahulu pernah hanya mengarah ke arahmu. Tangan ini, tak hentinya memagut
jemari kala kita berjalan beriringan. Mata ini, tak lelahnya memandang kemilau
gerai rambutmu yang menawan. Bibir ini, tak sanggup berkata selain rasa dan cinta.
Itulah romansa, di waktu yang singkat mengindahkan, di kala yang lain sempurna
menyedihkan.
Ingatkah kau kala aku berkunjung
membawamu pergi makan? Kala itu masih kukenang langit yang murung serta rintik
deras hujan. Hujan yang lebatnya menuntunku duduk berlama di depanmu. Menikmati
seduhan teh serta makanan berkuah yang lain. Tak penting sesungguhnya apa rasa
hidangan tadi, sebab bukan itu tujuan yang kita cari. Kita hanya ingin membagi
luka dan duka. Setelahnya, barangkali kita akan padu menghapus air mata.
Aih, lagi dan lagi hanya soal drama
picisan. Kisah yang mengundang sengguk air mata dan menggadai keriangan milik
manusia. Biarlah, sesekali kuajak kalian memahami apa itu rasa serta apa itu
cinta.
Rasa ialah apa yang dialami dan
didalami oleh hati. Jauh tak terjangkau mata, sebab rasa tak pernah
memperlihatkan wajahnya, cukup sentuhan, dan rona beberapa insan seketika
berubah merah tak bermakna.
Oh, rasa sungguh bisa memainkan segala
peran. Ketika kau ingin senang, rasa memberimu riang. Ketika kau ingin sedih,
rasa menyelipkan satu episode elegi. Dan ketika kau inginkan aku, rasa sengaja
tak memelukmu. Lantas, kau murung dibuatnya. Namun, itulah rasa, dia tak akan
sekejam langit malam, tak pula sekeji gemerlap siang. Sebab suatu saat, rasa barang
tentu akan menjatuhimu seberkas cinta dari seseorang yang pantas kau terima.
Maka sabar dan tunggulah.
Sedang cinta adalah hanya tentang
bagaimana kau menjaga perasaan orang yang kau sukai terlepas apakah dia sedang
bersamamu merangkai kasih, atau sedang merajut cerita dengan seseorang lain
yang pantas dia cintai. Aih, tapi beberapa larik kalimat tadi sungguh sangatlah
sukar untuk direalisasi. Sebab, cinta ialah cinta, yang tak bisa diramal kapan
datangnya serta tak sanggup ditahan apabila ia menginginkan hijrah.
Berbulan tak jumpa, berminggu tak
bersua, serta berhari tak menyambung tawa ternyata mampu menumbuhkan kembali
rasa. Entahlah, aku selalu mengagumimu yang menunggu kedatanganku pulang.
Sungguh, rasa dan cintamu ialah setulus langit pagi. Kau, sesungguhnya telah
benar-benar mengerti apa itu rasa serta apa itu cinta. Sedang aku, hanya
menerka-nerka dan tak tahu makna dua kata itu sesungguhnya.
Kini, aku serahkan raga ini padamu.
Kutitipkan angan-angan semu bersama yang lain ke dalam dirimu. Kau boleh
membuangnya jikalau tak suka, atau juga kusilakan kau mengubahnya menjadi
sketsa-sketsa lekukmu saja. Sungguh, tak akan kubatasi kau bercerita. Tak pula
kubiarkan air mata sedihmu kembali jatuh menghiasi rona.
Lihatlah aku. Dengar pula kata-kataku
yang sejenak akan bergema. Sekarang, tak akan aku meminta maaf lagi kepadamu. Tak
akan pula kuminta kelapanganmu menyediakanku menerima. Kuganti kalimat-kalimat
sesal itu dengan pertanyaan harap yang baru: Cinta, masihkah kau mencintaiku?
(IPM)
Bandung,
Desember 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini