Apa
susahnya tertawa?
Dia termenung sejenak. Sementara
berpasang teman yang lain sedang sibuk merajut sungging tawa. Tawa yang renyah
bak tiada masalah hidup di setiap pelupuk mata. Tidakkah tawa itu dapat
menghapus seberkas masalah? Bukankah tawa adalah obat awet muda? Aih, itu hanya
analogi, dan aku enggan mengkaji.
Dia masih duduk meregangkan kaki-kaki
jenjang ke pelataran lantai sebuah taman bermain modern. Mata itu, senantiasa
memerhati setiap ekspresi. Telinga itu, selalu mendengarkan hampa-hampa bahagia
lewat teriakan-teriakan manusia. Bibir itu, hanya terdiam, menutup tak terbuka
serta tak mengisyaratkan tawa. Dan harus kau tahu, seluruh insan yang berada di
sini sedang mencoba membeli lesung-lesung tawa dengan berkeping rupiah. Sungguh
mereka sangat menginginkan tawa. Diam-diam, disimpannya pula sedikit-banyak
tawa ke dalam saku celana untuk sekadar bekal, atau mereka menjajakan kembali
kepada yang lain untuk mesesap asap bahagia.
Namun baginya, tertawa ialah pekerjaan
paling menyusahkan. Entahlah, bahkan dia sempat bercerita kepadaku jikalau dia
telah lupa akan tata cara tertawa. Banyak hal lucu di dunia ini, tapi bukan
untuk ditertawai. Sarat kejadian janggal di hidup ini, namun bukan teruntuk itu
kita bangga memamerkan gigi. Hidup itu memang seharusnya serius, tanpa tawa,
tanpa canda.
Berlagu ke tingkah lakumu, aku jadi
sedih: mengapa Tuhan tak menghadiahkan tawa bagimu? Tidakkah kau memintanya
sesekali? Akankah kau bosan dengan hidup tanpa tawa suatu saat nanti? Jawabnya
satu: kau tak memerhati. Kau kini laksana es yang dingin, sehingga untuk dapat
menyentuh, kau akan beku terlebih dahulu. Maka kudiamkan dia dalam rajutan
hidup yang membosankan.
Tapi tenang, suatu saat akan kuajarkan
kau tentang bagaimana cara melukis tawa. Namun, sudah kukatakan itu suatu saat
nanti. Sebab di hari yang ceria ini, aku masih juga semurung cahaya mentari,
yang tersaput awan hingga gelap tak kuasa melemahkan. Sesungguhnya aku tertawa,
hanya saja tak bisa kutampakkan. Aku juga tersenyum, tapi dalam lesung selalu
ada murung, bukan karenamu, namun untukku yang senantiasa termenung.
Kali
lain, coba kau ajariku tentang bagaimana cara tertawa. Kau berjanji.
(IPM)
Bandung,
Desember 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini