SETAHUN kemarin langit biru, terkesan
cerah, mengguratkan asa hingga kian melambung. Biar kuterbangkan saja
balon-balon impian ini, kulepaskan bebas menuju angkasa, menjemput segala
takdirnya. Kau tahu, ke manakah balon-balon yang kuterbangkan ke angkasa itu
menuju? Apakah ke langit yang tak bertepi, meletus tak bersisa, atau barangkali
bersandar di teras-teras rumah Tuhan? Itukah surga?
***
KATAMU, hidup ini hanya soal memilih.
Cuma tentang menghargai mana yang pantas dihormati. Kalaulah sebuah barang atau
apa pun sanggup membuatmu bermata, hampir pasti ia akan berharga dan layak
kaupilih seutuhnya.
Namun, kala yang lain menyulammu menjadi bait-bait sedih nun langgeng bersama
waktu, barangkali ia harus kaujauhi pelan, kencang, bahkan kaubuang ia bersama
ganjil kenangan. Huh, sungguh ini bukan kisah teori atau analogi picisan. Ini
soal memahami rasa, memaknai hangatnya rindu, pekat dan perihnya gejolak
cemburu, hingga padamnya api jiwa ketika dia yang kaucinta pergi bersama lain
kekasihnya. Ini tentang rasa, Tya. Sangat rumit, hingga satu per satu perlu kubuka di hadapmu perlahan. Coba kau
simak.
“Kau baik-baik saja?” pungkasmu
lembut, tapi hampa.
Kau bertanya-tanya tanda tak mengerti.
Kau juga tak memerhati, malah sering kau mengarahkan pandangan ke lain sisi. Ke
arah belakangmu, tepat ke bidang seseorang yang membayang segala penglihatan.
Kau mungkin cukup, atau sangat akrab dengannya. Tapi sungguh, kau pernah saling
berkhianat bersamanya. Lantas, apa arti sebuah kisah?
Memendam, atau barangkali mencinta
tanpa pernah ingin dipandang adalah lagat hitamku yang agung. Kau tahu, betapa
seringnya doa kupanjatkan atas namamu, betapa mudahnya air mata ini memeluk
hangat kedua pipi ketika kaukecewai, lalu berapa banyak pula lembar kertas putih yang menampung
setiap harapan semu ini? Tak berhingga, Tya. Sangat banyak, hingga aku tak mau
pamrih menghitungnya. Lantas, berapa besar yang pernah kau bayar untuk semua? Dua
dirham, tiga dinar, atau berjuta rupiah? Maaf, aku tak butuh nominal. Cukup
senyummu yang hambar, barangkali telah berlebih.
Aih, harusnya kau tahu berapa harga
sebuah senyuman. Sangat mahal, Tya. Bahkan tak terjangkau harga. Mereka yang telah
menjual harta bendanya demi sebait senyuman keluarga adalah semu adanya. Sebab
setiap harga tak sanggup dicapai dengan rasa, sebagaimana senyuman.
***
MENYAYANGI ialah lukisan yang kubeli
dengan cuma-cuma dari Sang Pencipta. Namun, aku tak dapat memilikinya sendiri,
perlu berdua, bertiga, bergenap, atau tak terbilang jumlah. Sebab, menyayangi
memiliki harga yang tak sanggup ditebus sesiapa, kecuali berdua. Kini, aku yang
punya, tapi tak berdaya untuk menebus sebuah kisaran harga.
“Aku butuh kau saat ini...” rintihku
dalam iringan melodi malam.
***
DAHULU kau ingat, Tya, aku pernah
berkisah tentang elegi hingga terciptalah syair yang senantiasa mengepak-ngepak
laksana sepasang sayap pedih. Sungguh, haru rasa itu sampai-sampai terdengar
bak nada-nada sumbang yang mengharuskan sesiapa merasa sedalam kelam.
Berbondong muda-mudi pun bersua, membaca, menoreh denting-denting tangis yang
kuronce dengan benang air mata. Lalu seketika mereka duduk merenung, memejamkan
mata-mata mereka yang ranum, serta memohon agar Tuhan membuka lika-liku jalan
kita. Ini doa, Tya. Ini harapan yang nyata.
Bertetes peluh juga pernah kuretas
dalam angan-angan semu yang ganjil tak termakna. Kugadaikan lesung-lesung tawa
dengan lusinan hambarnya duka. Lengkap sekali bekal yang kubawa untuk cerita
kita. Persediaan akan kesedihan begitu melimpah ruah, berlebih, terlagi
tangis-tangis yang senantiasa melambai, menyiksa sesiapa untuk mendesah
sesenggukan laksana Adam yang dirajam sunyi di surga.
Ini semua kusiapkan untukmu. Untuk
permaisuri bertudung putih bersih yang mewangi. Jikalau kau, Tya, memiliki
sebuah cermin usang, atau setidaknya masih bisa memantulkan bayang, cobalah
perlahan kautengok rautmu di sana. Pandangi bibir merahmu yang basah di kaca
itu. Basuh dengan ujung-ujung jemarimu selaksa menghempas secerca rindu. Oh,
sungguh menyakitkan membayangkan segala bayang-bayang ini. Terkadang angan,
atau mungkin juga kenangan memang lebih kejam dibanding beratus sayatan.
Kubiarkan kau berlalu meraib berlipat
ilmu. Menghadiahkan bahagia agar kelak kau menjadi insan yang sempurna.
Tataplah mata ini sesekali. Cerna pula hitam putihnya yang membagi, yang
memberi gambaran manis pahitnya cerita kasih. Kelak, aku akan percaya, indahnya
kisah sungguh akan menjadi nyata jikalau kita bersama. Tertegunlah kau, juga
dia yang tak ingin aku bertatap mata.
***
HARI ini awan temaram. Sore menjelang
mengisyaratkan keheningan malam. Berpasang burung senja pergi mendekati
matahari, seakan tak rela cahaya mereka tersaput pekatnya elegi. Kisah yang
miris akan segera diretas, hingga kau dan aku datang merenggut tawa yang pernah
terhempas.
“Apa kabarmu, Tya? Kau semakin
berpelita saja,” sanjungku sembari menikmati binarmu.
“Aku baik,” jawabmu singkat tak
memandang mata.
Gemulai tingkahmu, serta anggunnya tutur kata membuatku
mematung sejenak. Mengatur desah napas agar tenang tetap tergandeng erat. Aku
larut dalam buaian bayang yang memaku setiap jengkal harapan. Ingatkah kau,
Tya, apa itu makna perjumpaan, atau juga apa itu esensi perpisahan? Jikalau kau
lupa, akan kupapah kau mengingatnya.
Perjumpaan adalah laksana mentari yang
bersanding dengan siang, air berpeluk dengan derasnya batuan, Adam bermesra
dengan Hawa di taman surga, atau juga kau yang bergema dengan suaraku dari bilik
telinga. Setiap jumpa
pasti lahir tatapan
sanjung. Lalu, di balik singgung muncul berantai gaung. Sesampainya semua
hadir, kenangan menjelma arus laksana
datang dari hilir.
Lagi-lagi kenangan. Entahlah, bingkai
atau juga album yang biasa dipajang di dinding-dinding murung sangat kubenci
akhir-akhir ini. Melihatnya membuat memoria muntah, menyerngit pula kening-kening
basah hingga berat asa terukir sempurna. Dahsyat sekali makna kenangan untukku,
untukmu, terlagi untuk kita.
Sedang perpisahan ialah jiwa yang
berpasang denganmu tapi tak
lagi sama setujuan, tak mau bersama untuk sejalan, hingga tiap satu dari kalian
akan berlari menuju tempatnya berlabuh sendirian, tak berteman, terlagi berpegangan. Oh, sesekali aku
menginginkan segala jerit tangis mencium naskah dramaku. Agar lebih berwarna
jikalau nanti aku harus mengenangnya bersamamu.
“Apa kau mau, Tya? Kita saling
menjalani ini bersama,” ajakku padamu. Tiba-tiba sekeliling
berubah merah.
***
HARU, atau juga gemericik sendu senantiasa
beradu dengan tawa serta renyah canda. Ketika hangat melekat, dingin berlari
datang mendekat. Mengusir seluruh gegap menjadi sempurna sunyi yang senyap. Aku
mencari-cari di mana ragamu. Kau yang sedari senja ada di tempat ini, menghabiskan waktumu bersama yang
lain. Namun, saat gagak-gagak terbang rendah di pelataran, tiba-tiba kau
bergegas pergi menghilang,
menemui seseorang yang mengintip pekat dari ujung persimpangan. Kau seakan
harus menepati panggilannya, menuju ke arahnya dengan tergesa. Tidakkah dia sangat
mengerti apa yang kaurasa, Tya? Yakinkah bahwa dia benar memahami apa yang kaucari? Aku ragu menatap
ronamu.
Nanar mata ini tak sanggup menyeka
tajamnya luka. Memadat, memekat, menghambat sampai aku berdiri menyandingmu
agar tetap tertambat. Tapi kau memang harus melari, mendekapnya sambil berdiri
bersama kabut malam hari. Diam. Lantas sejenak bergerak pergi melewati barisan ragaku yang mati suri. Semacam drama saja
peristiwa itu. Sepenggalah detik, namun menggoreskan hitam ingatan yang pelik.
***
Setelah ini kau sungguh semakin tak
berbekas. Tak akan ada pula asap yang hinggap memeluk harap. Aku pasti akan
benar-benar mencarimu, tapi nanti, ketika raga itu telah jauh dari spasi
dirimu. Selama dia ada, aku yang membutakan mata, tak mau lama menatapmu, Tya. Sebab aku lelaki, tak
ingin menjamah setiap jangka yang telah ia raih. Tunggulah sejenak, aku janji
akan menjemputmu kelak.
Oh, sekarang aku juga benar-benar
yakin, Tya. Setiap kelopak bungaku akan perlahan jatuh sebagaimana helah daun yang mengering, lepas dari tangkainya yang
selama ini kokoh memapah derita. Tepat sebelum kau menghilang, diam-diam
kusisipkan secarik surat ke dalam saku lenganmu. Bacalah saat penjagamu
tertidur pulas. Buatlah pigura agar tak lapuk termakan rayap. Namun, jangan
sesekali kau perlihatkan surat ini pada seseorang lain, kecuali aku. Aku tunggu
kau tepat di hari yang tertera dalam suratku: Rabu, 30 September 2020.
(IPM)