Aku
mencintai kamu. Namun, kamu menyukainya dibanding dia atau aku.
NAMANYA Kiki, lelaki kurus tinggi
dengan setelan rambut selalu cepak. Dia gemar memakai skiny jeans berwarna gelap layaknya pemain band indie. Kaos oblong
bersablon merk distro-distro pinggiran kota, serta tas punggung hitam
menjadikan paduan lengkap untuk bercerita tentangnya. Tapi, tak ada yang
menerka jikalau di balik dandanan itu ada jiwa yang halus selembut sutera. Hati
itu, bersih selaksa air yang turun dari pegunungan tinggi nun dingin. Sejuknya,
mampu membuka mata ini yang sekian lama menutup karena lampau peristiwa. Dengannya,
aku seperti seorang puteri raja.
***
ENTAHLAH, aku mengagumi lagatmu yang
hitam dari balik bayangku yang kelam. Sebenarnya, bukan aku yang memulai kisah
ini. Namun, kau yang mengundangku datang sembari bersambang. Kau, sungguhlah
harus bertanggung jawab atas rasaku. Sebab, aku kini menjadi kian sering
merenung menatap lekukmu dalam rinaiku. Sendiri. Diam dalam sunyi. Hingga suatu
saat, hati ini tak sanggup menampa, dan seketika tumpahlah segenap kisah ke
dalam bait-bait cerita. Semoga kau tak enggan membacanya.
Aku selalu mengingat satu demi satu
kronologi kejadian dalam hidup. Sebab, semua terjadi secara istimewa melalui
izin-Nya. Ada kejadian sedih, ada kejadian bahagia, serta ada pula kejadian
bermakna yang membawaku seakan terbang mengepak-ngepakan sayap. Oh, setiap
kejadian pastilah menoreh sebuah kenangan. Dan mungkin dalam kenang, atau juga
angan, aku bisa memilikimu utuh. Tanpanya atau dia yang lain yang kaucinta.
***
KAU tahu, dalam memoria, aku masih
terngiang tentang momen awal Desember lalu. Momen di mana mentari bersinar
terik dan rembulan tersipu malu di balik awan kelabu. Pagi itu, aku bersiap
mengantar sahabatku pergi ke
suatu tempat di pinggir jembatan termegah Kota D. Namun, siapa yang menyangka
jikalau beberapa rekan yang lain sedang menyiapkan skenario kejutan terindah di
bawah sana. Ya, kejutan sebagai penanda ada hari spesial milik seorang wanita,
hari di mana usia bertambah dan kedewasaan dengan rela dijamah.
Ketika itu, kau datang membawa lilin
merah yang menyala. Mengarahkan langsung pada rona, dan memintaku berdoa seraya
meniup pelan api keduanya. Api lilin itu mati, tapi sungguh ada senyum yang tak
sanggup menepi. Mata ini, seakan tak percaya akan apa yang dilihatnya. Telinga
ini, layaknya bimbang menoreh apa yang dialunkan dari suara. Dan bibir ini,
masih saja mengeja tentang segala rasa yang menjelma romansa. Aih, ini cerita
dari seorang wanita, dan barangkali kau tak akan mengerti apa yang sesungguhnya
kungiangkan dalam bait-bait doa.
“Semoga aku selalu bahagia, dengan
atau tanpamu di setiap pucuk senja,” pintaku pada Sang Pencipta.
***
KALI lain, harusnya aku lebih
berhati-hati soal hati. Sebab rasa, akan senantiasa merasuk ke dalam dada-dada
yang kosong tak termiliki. Rasa tak akan menunggumu menyilakan masuk, tak pula
mengetukmu meminta persetujuan. Dia hinggap tanpa permisi pada setiap hati
hingga seseorang yang rapuh akan menangisi apabila rasa yang dipuja rela
meninggalkannya pergi.
Dalam rasa, ada benci terlagi cinta.
Dan sungguh, cinta datang ketika kau pantas menyanjung cinta. Sedang benci
bersambang saat kau keras-keras menyuarakan nada-nada sumbang. Nada yang sesak,
hingga nuranimu berat dibuatnya. Benci dan cinta sangatlah berbeda tipis, sebab
keduanya tercipta dari rasa. Beruntunglah kau yang memiliki keduanya.
***
AKU tak mencintaimu seorang diri.
Sebab, aku tahu ada yang diam-diam memperhatikan tinggi langkahmu ketika
berjalan pergi mengantarku. Wanita itu, sungguh aku mengenalnya selayaknya
begitu dekat. Dia sebenarnya tak pernah menampakkan rona menyukai, tak pula
merafikan air muka ingin memiliki. Namun, itulah hati seorang wanita, terkadang
lebih tajam menerka, dibandingkan hitam-putih sepasang mata.
Dia selalu mendekatimu meminta
diperhatikan. Suaranya yang serak sangat sering terdengar di samping tawamu
yang renyah. Entah apa yang sedang kalian gunjingkan, aku tak pernah mengerti.
Tak jarang, ketika malam tiba, kau rela memberikan tunggangan terbaikmu untuk
mengantarnya pulang. Kau pastikan dia selamat hingga depan pagar rumahnya, dan
ditinggalnya lamat-lamat, seraya kabut yang perlahan pergi melekat.
Oh, aku iri dengannya. Aku selalu
murung kala kau mengantarnya di depan mataku yang menyaksi segala peristiwa.
Entahlah, mungkin ini cemburu. Rasa sakit yang membuktikan jikalau cinta memang
harus memiliki. Lantas, beberapa dari kalian mencerca bahwa cinta tidak harus
bersama. Namun, itu sungguh bukanlah cinta. Cobalah perlahan kalian cerna apa
makna di balik rasa cemburu secara perlahan. Niscaya, kalian akan temui apa esensi memiliki memang sejatinya tak kuasa
dihindari.
***
PAGI di pelataran jalan sepi kampus
pelan bergema. Seperti ada yang bersiul menggoda sesiapa dari lentera-lentera
menyala. Mentari masih di pucuk, belum bercahaya seperti biasa. Dan kau, telah
datang membawa bayangmu yang hitam melaju menuju gerombolan. Hari itu,
memanglah kita berjanji untuk bersama bertemu. Tak hanya denganku, tapi juga diiringi yang lain.
Di tengah pertemuan, aku hapal benar kala kau bercerita
tentang dia yang lain kepada teman-teman lelakimu. Kau berkisah dengan lantang,
lengkap bersama deskripsi-deskripsi manis laksana lelaki yang sedang kasmaran. Kau
tak tahu, jikalau aku telah mengerti apa yang kau kisahkan. Aku juga kian paham
siapa wanita yang kaucintai, yang kau agungkan tiap malam mengisi lembar demi
lembar diari.
Sembari menghela napas, aku menerima
kenyataan pahit. Ya, cinta memang tak selalu melukis sebuah senyuman. Terkadang
ukiran sedih juga perlu disematkan kepada jiwa-jiwa rapuh ketika cinta meminta hijrah
kepada lain kekasihnya. Tiada yang salah akan cinta, dan tiada yang sempurna
benar dengan cinta. Segalanya menjadi kian relatif, sebab runtuhnya logika
bersumber dari cinta yang besar dalam asa dan raga.
***
KAU masih mengejar perempuan itu jauh
ke dalam kehidupannya. Meski nyatanya, tak pernah dia membalas perhatianmu
dengan sebait romansa. Dia acuh kepadamu. Dia hanya menganggap kau teman biasa,
seperti halnya dengan teman yang lain. Namun, dasar lelaki. Selalu mereka
mengejar hal-hal yang tak pasti.
Oh, sungguh raga ini tak lelah. Namun,
hati? Tak ada yang sanggup menyaksi tentang hati. Lantas, apa hadiah darimu
untukku yang telah menunggu lama? Sebuah pelukan, sekejap dekapan, sekuat
genggaman, atau juga lambaian tangan tanda perpisahan? Aih, bagiku itu semua
tak terlagi penting. Sebab bukan ragamu yang kucari, melainkan sifat serta
tutur kata yang kukagumi.
Kini, aku masih menerka-nerka: lebih
merah mana, senja ataukah luka, yang kaurajut bersamanya. Dan aku kian terus
mencari-cari: lebih taklit mana, cinta ataukah rasa, yang kauberi ke sesiapa tapi
tak pernah kaujelma mewujud romansa. Oh, inilah elegi. Setia mengundang
melankolia pedih.
***
NAMAKU Ana, perempuan tinggi dengan
setelan ungu kain penghalang mata. Aku gemar memakai kacamata lebar dan kemeja
katun kotak-kotak berwarna cerah. Kata orang, aku termasuk pribadi yang kuat
dan tegar. Namun, siapa yang tahu jikalau beberapa lembar di atas adalah murni
ceritaku. Percayalah, itu dulu, jauh sebelum aku bertemu
denganmu. Perkenalkan,
namanya Satria, lelaki sejati yang setia menggenggam jemariku kini. Dialah yang
mengisi hari ketika denganmu aku kaukecewai.
Oh,
bukankah kekasih baik yang
tidak dirawat akan menjadi mantan kekasih yang dimuliakan oleh orang lain? Tak
perlu kaujawab. Sebab itu hanya selarik pertanyaan retoris.
Dan mungkin awal untaian tadi harus
diganti: Kamu menyukainya dibanding dia
atau aku. Namun kini, aku tak peduli. Sebab aku mencintai Satria, kekasihku,
lebih dari kamu yang dulu gemar mengecewakanku...
(IPM)
Bandung,
25 Desember 2012
#Ilustrasi diunduh dari ini