KAU masih memandangi bayangku pergi, sementara jendela
kamarmu lekang tak tertutupi. Semilir angin masuk, membelai rambutmu yang
sengaja tergerai. Tirai itu, bergerak ke sana ke mari, seakan melambai sembari mengucap
frasa:
sampai jumpa lagi.
***
AKU sudah berpesan, jikalau nanti kita tak bersama, kau
cukup menikmati malam ditemani rembulan saja. Tak perlu aku. Sebab saat itu,
pastilah ada tangan lain yang memelukku erat, di samping tanganmu.
"Tangan siapa? Mengapa kau tetap mendekapnya?"
singgungmu meminta jawab.
"Tangan seorang ratu, yang membuahkan putraku dari
ranumnya hingga kian matang. Sebenarnya, bukan aku yang menggenggam jemari itu,
tapi kamilah yang sepakat saling menggenapi," jelasku panjang.
Kau, lantas terdiam sedingin sunyi. Hangatmu seakan
hilang tak berbekas. Padahal, aku ingat jelas, malam ketika kau hembuskan napas
terpanasmu untuk meninggikan suhu kamar. Dan benar saja, setelahnya, kita jadi gundah atas makna sebongkah rasa.
"Sudahlah, kau tenang saja. Akan kuajarkan kau
tentang cara menikmati dosa," rayumu, perlahan pertahananku runtuh.
Kau tahu, dosa atau juga penyesalan ialah selaksa
secangkir kopi panas yang menggoda, sebab kenikmatannya, hanya akan tercipta
dari seberapa pahit dia.
"Lalu, bolehkah kubuatkan kopi terpahit untukmu?"
"Untuk apa?" tanyaku.
"Agar kau merasakan, manisnya dosa dalam pahitnya
rasa," jawabmu jengah.
***
AKU mengenalnya berlampau waktu di sekitaran taman
kanak-kanak kotaku. Bangunan dengan dinding berwarni milik mereka yang ingin
mengeja alfabet dan imaji. Anakku belajar di sana, bersama anakmu, yang masih
lucu dan cantik itu.
Pada awalnya, aku hanya melempar senyuman siang hari. Sejujurnya,
itu tak lebih dari lesung yang hampa, tapi siapa mengira, kau dengan parasmu
yang ayu, dengan sengaja membalasnya. Sama-sama menunggu, membuat lidah kita
ingin sekali berlagu. Dan mungkin, kau takkan mengira, jikalau perjumpaan kita
pernah berlanjut pada ruangan sepi tak bertuan ini.
Ya. Desahmu mengantarkan lidah untuk tak lagi bersuara.
Memang benar, terkada frasa, atau juga rangkaian kata, hanya akan menggulita
apabila dicampuri oleh cinta. Sebab cinta tak butuh bicara, cukup lidah, yang
merasa tentang apa yang seharusnya dikecapnya mesra. Lantas, kita saling
membagi luka.
"Ini lukaku, perih rasanya, tapi aku tak ingin
mengobati..." katamu pelan.
"Mengapa? Kau suka apabila dirimu terluka?"
tanyaku bersambut.
"Entahlah. Mungkin dengan luka, aku bisa merasakan
diriku hidup, benar-benar hidup," terangmu.
"Namun, mengapa kau membagi lukamu kepadaku? Adakah
kau tak menginginkan hidupmu lagi?"
"Aku hanya ingin kau merasakan luka ini, setelahnya,
barangkali kau juga akan hidup, denganku, atau hanya dengan bayangan hitam
ini," kau menutup percakapan.
Kemudian, golek ragamu menghiasi seluruh mata. Tak
kusangka, hidup ini sedemikian rumitnya, dengan atau tanpanya.
***
KAU masih tertidur pulas, sementara langit pagi hari siap
mengaung meneriakkan sinar mentari. Rambutmu yang tercerai berai seakan
menyapaku malu-malu, perlahan ada, perlahan memalingkan pandangannya. Lantas,
kau terbangun, mencari air mukamu di setiap lekuk sprei yang berantakan. Kau
dapati aku telah tiada. Hanya tertinggal pesan, bahwasanya aku harus pergi ke
rumah.
“Jangan menghubungiku sekarang, anakku lagi sakit...”
bisikku di telepon.
Kau, barangkali seperti ibu yang lain, mengerti benar
akan apa perlakuan tepat untuk seorang putra jika dalam kondisi tidak sehat.
Sepenggalah detik, pesan elektronikmu muncul pada layar ponselku, berisikan
nasihat khas seorang ibu kepada anaknya yang sedang sakit.
Kau menuturi ini-itu untuk dilakukan. Oh, apakah kau lupa
jikalau anakku juga sedang dirawat ibunya. Dan kau, juga di sana, mungkin
sedang merawat anak perempuanmu yang lucu, tapi tanpa lelakimu. Sebab laki-laki
itu, atau yang sering kaupanggil bajingan,
telah berpaling membina keluarga yang lain tanpa seizinmu. Lantas, bajingan itu beralih jikalau hubungan
kalian sudah tak
ada kecocokan lagi, dan mungkin ihwal suci itu telah menjadi najis yang enggan
dibersihkan, layaknya mawar basah, yang layu karena derasnya air yang
menyiramnya.
“Namun, beruntung kau bukan istriku. Andai saja dia
mengerti hubungan kita, barangkali aku yang dimaki, dan dipanggilnya
keras-keras dengan sebutan: bajingan.
Seperti yang kaulakukan pada suamimu dulu,” candaku padamu.
Kau tersipu. Tawamu seketika merekah. Namun, kutahu itu
bukan lesung bahagia. Sebab, terasa dari sini jikalau kau sedang menikmati
nostalgia rasa sakit. Semakin taklit, semakin kau enggan membangunkannya untuk
bangkit.
Kemudian, api kecil disertai asap menjelma pelan. Aroma
tembakau santer memenuhi ruangan kita. Kulihat, lentik jemarimu piawai
memainkan putung yang menyala, memutar-mutarkan dengan lincah, sembari memberi
jeda sebelum kauisap lagi. Aih, kuterka kau memang seorang perokok berat. Tapi,
tak pernah kujumpa bibirmu hitam karena nikotin. Mungkin tertutupi lipstik
merah menyala itu.
***
Setiap perjumpaan,
selalu kuingat tangismu yang luruh. Kau begitu menyukai pundak ini. Barangkali,
tak ada bagian lain dariku yang kausuka selain sepasang pundak ini. Cepat saja,
ketika air mata itu tumpah, kau segera mematut pundak teragungmu. Kuat. Erat. Rasanya,
ingin pula kau tenggelamkan kepalamu di bidangnya.
"Menangislah
sejadi-jadinya. Kelak, mungkin bebanmu akan sedikit berpindah di sana..."
Kau tak menghirau.
Terus menangis.
Setelah kering,
tangis itu bersambut segenap tawa. Tawa yang sentimentil, serta membawa lelah
berselimut bahagia. Esok pagi, barulah kami saling menjaga, berdua membukakan
mata.
"Aku pulang,
sudah pagi..." pamitku singkat.
Kau tak menjawabnya,
hanya memicingkan mata, sembari pulas kembali dijamah.
***
Berganti hari, aku
makin lihai memainkan peran ini. Semakin tanpa celah. Dan aku mungkin lebih bajingan dibanding lelakimu dulu. Namun
berbeda, sebab aku tak pandai beralih mengucap alibi picisan, seperti lelakimu.
"Dasar kau, selalu
mengingatkanku tentang memoria semu saja," gerutumu.
"Tak apa,
semakin kau ingat dengannya, semakin kau memilihku untuk menimpa bayangnya,
bukan?" jawabku menggoda.
"Ah, tapi
nyatanya kau tak memilihku. Buktinya, kau juga masih tinggal bersama ratumu,
yang kau kisahkan sebaik bidadari itu. Dan aku, mungkin hanya kaukecup ketika
kau bosan dengan segala permainan," terangmu menyudutkan.
"Memangnya, kita
harus bagaimana? Bukankah peran kita hanya untuk seperti ini? Saling berbagi kisah
serta lelah raga? Tak lebih," ujarku, kini pitamku meninggi.
"Sudahlah, aku
tak ingin menuntutmu lebih. Hanya kepastian akan hubungan ini. Tak penting lagi
tentang pelukan, dekapan, sentuhan, atau yang lain apabila kepastian tak pernah
kupeluk, kudekap, dan kusentuh wujudnya. Barangkali raga ini telah lelah
memberi semua. Mungkinkah kau sebegitu bajingan
seperti lelakiku dulu?"
***
"Dasar bajingan! Bajingan! Bajingan kau! Jangan
pernah kautampakkan wajahmu lagi di sini!"
Ratuku memakiku,
layaknya binatang yang dihardik sekeras-kerasnya. Anakku menangis, menatap
ayahnya yang dilucuti seperti banci.
"Kau tak patut
menangisinya. Lebih baik, kau membencinya..." pinta ratuku pada anakku.
Lalu, pintu itu tak
pernah terbuka lagi. Kata tetangga, kuncinya hilang, sehingga tertutup abadi.
Siapa yang peduli?
***
Kini aku utuh
lelakimu, kepastian kehancuran rumah tanggaku ialah dosa termanis untukmu.
Kupersembahkan mahar itu sebagai maskawin kita. Semoga kau mengenangnya.
"Aih, kau bukan
lelaki, Sayang. Kau banci."
"Mengapa kau mau
dinikahi banci? Adakah benar seorang penggoda memang pantas untuk dipasangkan
kepada yang digoda, seperti kita," pungkasku.
"Kita serasi,
Sayang. Kita setia. Karena kita hanya menghadapkan pandangan pada satu sisi,
meskipun itu harus melawan
arus, bukan begitu?" kau kembali menebar tanya.
"Terserah kau
mau bilang kita apa. Sekarang, mari kita bicarakan soal sekolah mana yang tepat
untuk Veronica, anakmu. Semoga takkan bertemu dengan Dimas, anakku. Dan satu
lagi: jangan pernah kausuruh aku mengantarnya ke sekolah. Kau tak ingin kan
kehilangan bajingan untuk kedua
kalinya?"
(IPM)
Surabaya, Januari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini