PETANG melenguh. Tak
biasanya langit Kota S kian luruh. Air hujan, deras merintikkan basah. Tak ada
tempat yang terlepas dijamah rata. Semua tiada kering, seperti siang kemarin.
Jalanan lurus, perumahan, terminal bus kota, pelabuhan, atau juga stasiun
kereta yang kau singgahi, seluruhnya berlapis air yang jatuh tertemani. Kau
terdiam sendiri, berteman pelangi, namun belum tiba di sisi.
Aih, hujan memanglah
menyebalkan. Ia mengetuk-ketuk jendela kaca, seperti hendak memecahkannya sesegera.
Terkadang, hujan juga hanya akan mengubur segala janji pertemuan. Dengan
bertutur, "Maaf. Karena hujan, perjumpaan ditunda dulu ya. Kali lain
semoga bisa bersua," kalian menyalahi lidah. Hujan, cukup saja menjadi
alasan pengkhianatan. Dan mungkin, sebelum hujan itu reda, satu dari kalian
telah bertukar lelah dengan yang lain di motel, atau juga apartemen pinggiran
kota yang lembab. Sembari menghangatkan, sambil menuang sejuntai kenangan,
lantas kalian diam-diam berkeluh, tak lagi menimbulkan riuh. Sementara asli
kekasihnya, di ruang gelap, sedang menggerus nadi dengan tajamnya belati.
Bersebab tak sanggup mendekapmu, dia menyesal dan lantas berdalih mati. Maaf Sayang, aku harus menyebutnya banci.
Esoknya, hujan tiada reda
pada pelataran rumahnya saja. Segala tangis tumpah, meratapi perginya pria muda
yang putus cinta.
"Dia anak baik. Tapi
mengapa sebegitu cepatnya dia pergi?" ibunya berkelit.
"Tuhan mungkin sudah
sangat merindukannya. Oleh sebab itu, dia dipanggil sesegera," lanjutnya
menimpali.
Oh, pantaskah Tuhan rindu
kepadanya? Yang menghadiahkan ajal, semata untuk kekasihnya. Yang dia sebenarnya
tak mengerti, jikalau pada satu waktu, kekasih yang dicintai itu, sedang masyuk
menikmati raga lain lelaki. Dan dia, kekasihnya, sama sekali tak pernah
memikirkannya. Serta dia, orang yang tercinta, enggan datang pada pemakamannya.
Dalam pikirnya, mungkin kisah kalian mirip romansa Romeo-Juliet. Tapi dengan
sedikit, atau mungkin banyak dusta dari sang wanita. Juliet tulus mencintai,
sedang kekasihmu apa? Lebih hina dari topeng cantik yang dikenakannya.
"Toh dia sudah mati. Tak ada guna, aku menjenguknya lagi,"
cetus kekasihnya.
Mungkin, itulah sesalnya
yang abadi. Maka, Sayang, perkenankan aku
benar-benar memanggilnya dengan sebutan banci.
***
KAU, masih memegangi payung
terhitammu. Berteduh pada kanopi yang tak menghindarkanmu dari kuyupnya hujan.
Kuterka, basahmu rata. Melumuri raga hingga masuk ke dalam lara. Oh, lara milik
seorang wanita, yang takkan ada siapapun, bahkan Tuhan, sanggup menerka. Dan
siapa pula mengerti, apa yang dimau oleh makhluk bernama wanita, kecuali
dirinya sendiri. Sebab mereka istimewa, tak mampu terjangkau berantai logika.
"Sungguh merepotkan
saja. Sama seperti hujan," kata rekanku, yang pernah dikecewai oleh wanita
tercintanya.
Ya, tiada yang lebih
melelahkan daripada menjumpai hujan. Kelak, saat hujan datang, beberapa kaumku
berlari menggendong barang-barang. Terburu-buru, hingga tak menghirau akan jerit
mata-mata layu. Hujan, juga air bah yang ditimbulkan, menyapa sesiapa di aliran
yang dilaluinya. Tak peduli lelaki, anak-anak, ibu hamil, atau nenek renta pun
ia sapu seketika.
"Siapa suruh tinggal di
situ," kata Bah.
Cuih, siapa pula yang rela menghidupi anak cucu di sana?
Mereka, yang gemar berfoya, terlagi tertawa cekikikan bersama minuman pengusir
dahaga, enggan memberikan solusi kepada kami. Mereka, yang kami sebut pejabat,
atau lebih pas dipanggil penjahat, dengan tega menghardik kami melalui
peraturan-peraturan.
"Hei, Bung. Kami punya
televisi. Segala tindak tandukmu kami menyaksi. Kami pun mendengar, beberapa
dari kalian pernah menertawai perihal perkosaan. Tentang nistanya perbuatan
manusia setelah dibekali akal oleh Sang Pencipta. Ketika satu orang melempar
candaan tak pantas, kalian terbahak. Tiada dari kalian yang menegur menyalahkan.
Oh, itukah kaum berpendidikan? Dan beberapa lagi, menganggap masuk bui bersebab
korupsi merupakan sebuah ujian dari langit. Sebegitu picikkah Tuhan, dengan
menghadiahkan teguran lewat kenikmatan semu yang kalian anggap suratan? Dan
kalian, dengan mudah menghitung-hitung suara, ketika ingin menyelesaikan sebuah
masalah. Tak peduli, itu hasil terbaik atau terburuk. Asalkan didukung pihak
mayoritas, maka itulah jawab yang pasti diretas.” Aih, maaf Sayang, aku harus keras menyebut mereka banci.
***
HUJAN di luar masih pekat,
semakin lebat. Dan kau, sebasah tadi bertambah gigil di sepuluh jejari. Kau
masih menungguku datang, bersama karibmu, yang kini menadahkan payung ke
arahmu. Aku berjalan, melintasi genangan yang riuh menggetarkan.
"Ah, harusnya kita tidak
bertemu saat hujan!" keluhku.
Juga oleh hujan, aku
mengingat, ia pernah mengamankan jeritan Maya agar tiada terdengar sesiapa.
Ayahnya, yang dulu menghadiahkan kasih, menggendong tinggi kian ke mari, serta
menggosok punggungnya jikalau gatal, kini datang lagi ke rumah.
Sosok itu, dulu manis secerah
madu. Kekar tangannya, sepenggalah tahun pernah menampar teman lelaki Maya yang
hendak memberikan celaka. Cekatnya yang lantang, berlampau waktu pernah hampir
mengaung menyelamatkan putrinya dari penghianat. Dan kakinya yang jenjang, dia
ingat, sanggup mengayuh sepeda angin demi mengantarnya menuju sekolah.
Kini, bayang itu pulang.
Masih dengan kekar yang sama, cekat yang sama, dan jenjang yang sama. Mendekat.
Mengarahkan pandang seraya setan yang bergumul dengan nafsu binatang. Dia, yang
katanya pemimpin keluarga, mengoyak batinnya hingga kian tiada. Mengambil jati
diri Maya sampai tak bersisa. Tetesan tangis, luapan emosi, penyesalan, serta
jeritan sakit diteriakkan sekencang-kencangnya. Namun hujan, senantiasa mengamankan
suara hingga tiada yang tahu ulah lelaki itu pada putrinya.
"Diamlah. Jangan bilang
ibumu," pesannya, sebelum menyayat kembali raga putrinya.
Kini, putri itu seperti
ingin mati. Malu, atau juga pilu, dirasakannya setiap jengkal waktu. Orang yang
dia sayang, nyatanya lebih hina dari segerombol pria jalang.
Benar saja, sakitmu merekah
akibat ulah biadabnya. Kau lemas, tak siuman, bahkan kau lupa atau sengaja
melupa dirimu sendiri. Entahlah, kau hampir mirip seorang putri yang mati suri.
Maka, tak mau memandang kau menangis taklid, tak ingin melihat kau mengais
jerit, lantas Tuhanmu, dengan iba membawa sari patimu bangkit. Terbang. Menuju
firdaus-Nya yang terang. Kini, tiada lagi yang menyakiti. Dan kau, mungkin akan
terus membenci, jikalau nanti, pada persidangan agung, dipertemukan dengan
jalang itu lagi.
Bajingan
ayahnya! Tanpa maaf, Sayang. Aku harus teriaki dia lantang: Dasar banci!!!
***
AKU tiba di hadapmu. Masih
hujan, di samping payung kami. Tetesnya pelan, namun pasti. Kau berbasa-basi
sejenak, sebelum menitipkan sesuatu pada karibmu, ketika aku memandang jauh.
Singkat nian pertemuan kami, tak sanggup berkisah apa-apa, atau juga sangat
dibatasi lonceng kereta. Aku bergegas, bersalam padamu, menjauh. Kau, dari
picing matamu, terlihat masih membekaskan pandangan ke arahku. Semakin lama,
semakin nyata kaurasa.
Keretaku melaju, karibmu
juga melagu, bersamaku.
***
DI sepenggalah ragu, karibmu
berkata pelan, sambil menyodorkan sebuah bingkisan bergaris ungu dominan biru.
"Ini darinya, untukmu.
Terimalah!" katanya.
Aku terkejut. Aku tak
mengira. Dengan segera, kubuka isi di dalamnya.
"Kemeja batik,"
jawabku.
"Pakailah, kelak kau
selalu mengingatnya ketika baju itu olehmu seraga," karibmu menambahi.
Maka Tuhan, perkenankan aku
memutar waktu tuk kembali. Supaya
eloknya kian damai tergenapi. Agar halusnya menjadi lesung-lesung yang mewarni.
Oh, adakah pembuktian dari seorang lelaki untuk wanita yang gemar menyayanginya
suci? Tegakah Kau, menyaksi setiap pagi dia bermimpi, mengharapkan aku datang
dan mengecup keningnya pasti? Tuhan, Kau Maha Tega.
Keretaku masih menyapu
basahnya rel yang terhujani. Sementara malam menguap, sejenak ruangan menjadi
kian sesap. Mataku memejam, diam-diam hitamnya berkata: Selamat malam.
Sayang,
maaf, aku terlebih dahulu harus bercerita tentang lelaki gagal cinta yang bunuh
diri, mendongeng realita wakil rakyat di negeri bedebah ini, juga berkisah akan
pria dituahkan yang menghadiahi putri kandungnya trauma abadi. Bukan bermaksud
apa, hanya saja, aku ingin membagi lukanya dunia kepadamu. Kelak, mungkin saat bersama,
kita akan sembuhkan luka itu perlahan. Sampai hilang, hingga tak berbekas lagi.
Itulah seindah-indahnya janji. Maka Sayang, maaf, tolong jangan pernah kausebut
aku banci!
(IPM)
#Ilustrasi diunduh dari sini