IBU, maafkan aku telah mengecewakanmu.
Kau tahu, beribu doa murni nun tulusmu telah aku ubah menjadi dosa yang tak
terampuni. Kau panjatkan perihal terbaik dan sempurna dalam berlarik kalimat
untuk anakmu, tapi apa balasannya? Memikirkan kesenangan diri sendiri adalah
jawabnya. Tak sering dalam setiap tangismu, ada rautku yang tertawa
terbahak-bahak. Aku pun enggan tertegun menatapmu tajam. Kubiarkan semua
seperti ini, hingga nanti, hatiku kian berkarat dan tak berpendar lagi.
Tidak! Ini bukanlah untaian untuk
menyalahkanmu. Tiada pula penyesalan tentang bagaimana Tuhan menghadiahkanku
kau. Dan maaf, aku tak pernah mencium wangi telapak kakimu yang kata kalian
sanggup membawa kita menuju nirwana. Namun, sebenarnya apa itu nirwana?
Pernahkah kau berkunjung ke sana? Tiada yang menjawab, hanya membayangkan itu
benar adanya. Oh, dan kita percaya.
***
AKU lupa. Aku tak ingat jikalau Ayah
telah pergi ke sana bertahun lalu. Tanpa pamit. Tanpa pula berkirim surat
sesampainya di sana. Namun, aku tak berani meminta Ayah untuk bercerita. Sebab,
Ayah pasti di sana sedang menangis tersedu menatapku. Hingga air matanya tak
lagi bening, melainkan semerah darah yang kental beraroma nanah. Maafkan aku, Ayah.
Kalian tahu, perihal orang yang sudah
mati bisa melihat kelakuan orang yang dicintainya di dunia. Dia sanggup
memerhati kau berbuat apa kepada yang lain, kepada dirimu, atau juga kepadanya.
Barangkali, jika yang ditatapnya ialah baik sebagai mana indahnya ekspektasi,
boleh jadi dia akan girang sendirian di surga. Tetapi, yang dipandang Ayah
adalah sebaliknya, dia bersedih menyanjung orang yang dicintai berbuat keji
dengan bangga. Sebentar menyesal, sementara berikut gemar mengulangi kesal. Tak
pernah jera. Itulah tabiat manusia, tak seperti Ayah, yang hampir sempurna di
mata anak-anaknya. Maka kukatakan pada Ayah, bahwa tak usah mencintaiku lagi
sebagai anaknya. Maaf, aku tak mau membuat Ayah kecewa.
***
AYAH sebaiknya mengikuti gerak-gerik
Adik saja. Dia rajin, pintar, tak pernah angkuh, selalu patuh, juga taat
menyembah Tuhan kita. Ayah tahu, Adik senantiasa duduk di sofa ruang tamu
sesaat setelah yang lain tidur. Adik membuka suratan Tuhan yang kemudian
dibacanya pelan. Hingga lelah, hingga dia bosan dengan kaligrafi yang tertera.
Lalu, barulah Adik menyusul yang lain tidur.
Tak heran, jikalau dulu Ayah sibuk
memanjakan Adik. Tak kaget, bahwasanya segala keinginan Adik terpenuhi, bahkan sebelum
dia merengek meminta Ayah membeli. Setelah kuungkap seluruhnya, kutanya,
pernahkah Ayah merasakan sesal ketika dianugerahi Tuhan dengan aku? Kalau terkaan
Ayah benar seperti itu, sungguh, Ayah telah berpikir hal yang benar. Maka,
lihatlah ke arah Adik, Ayah, jangan ke arahku!
***
KEPADA yang lain: Nenek, Tante, Om,
Paman, Bibi, tetangga, teman sejawat, serta berbagai orang yang menganggap
benar pada diriku. Maaf. Hanya itu yang sanggup kuucap. Sebab, aku ketakutan
mengakui semua. Khawatir tiada seseorang yang menginginkan merengkuhku pelan,
serta berpaku ketika kulantangkan suara ini dan itu. Namun, inilah aku. Yang
memakai topeng untuk menutupi lekuk terburuknya. Yang menghadiahi senyum,
sebelum mencabik kalian tak bersisa. Yang pernah kalian terka sebagai malaikat,
tetapi nyatanya hitam selegam iblis jahanam. Oh, tak usah berlari menjauhi. Kalian
tak sadar. Bukankah kalian juga memiliki topeng masing-masing? Dan topeng itu
kalian kenakan secara hati-hati, agar tak seorang pun menyadari. Aih, kita
sama-sama munafik, bukan?
Kalian tahu, mengapa aku bercerita
panjang lebar di sini? Tiadakah aku malu jikalau setiap orang memusuhi? Atau,
bisa saja bersebab tulisan ini aku dimaki. Namun, aku tak percaya bahwa setiap
orang adalah pemarah. Ada jiwa terlembut bahkan dalam diri seorang pembunuh
terkejam. Yang memaafkan sesamanya ketika dia jatuh dan meronta. Namun, jikalau
tak ada, barangkali dunia telah sampai pada pucuk usianya.
***
INGATKAH kalian tentang berpuluh
cerita yang kuhadiahkan kepada bermacam wanita? Ada Tya, Nura, Senja, Dinda,
Rara, Revi, Dara, juga yang lain di halaman kelamnya. Sejujurnya, semua tak
lain ialah bentuk kecewa kepada semua. Kepada mereka yang memberiku waktu untuk
berpikir mengalun berantai fiksi cerita. Sebenarnya, aku tak ingin menjadi
penulis, terlagi penyair. Kurasa, itulah sekeji-kejinya profesi. Yang membuat
seseorang melayang terbuai akibat berlarik tulisan, namun hampa, atau juga
rekaan yang sejatinya melekat di dalam. Sungguh, kekecewaan ini melambung kian
tinggi, dan karya tulisku semakin mewangi membentuk berbagai elegi. Aih,
seharusnya akalku tak untuk mereka, cukuplah aku sebagai tokoh dalam cerita.
***
JIKALAU kalian pernah merenung,
sempatkah kalian berpikir jikalau yang paling dibutuhkan ketika kecewa adalah
seorang teman. Yang mewujud mendengar, terlepas dia lelaki ataukah perempuan.
Namun, tak semua teman bisa menjadi tempatmu berbagi. Sebagian lain bisa jadi
membagi kisahmu ke dunia, yang tak ingin dia mengetahuinya. Dan bilamana
terjadi, pastilah penyesalanmu menjadi kian abadi.
Namun, pernahkah kalian menganggap
bahwa yang paling mengerti kalian adalah diri kalian sendiri? Yang setia
menemani walau keadaan di luar basah, kering, sedih, ataupun luka. Yang
menghadiahkan kecewa ketika kalian berbuat salah. Yang memberi bingkisan senyum
saat dunia menatap kalian bangga. Yang tak pernah kalian ajak bicara di setiap
akan tidur bersama. Oh, lantas ketika diri kalian sendiri yang mengerti apa
yang dimau, mengapa tak kalian nikahi diri kalian sendiri? Percayalah, dia tak
akan mengkhianati rasa, tak juga berpaling ke yang lain. Maka, kusanjung,
kalian sejenak buta.
***
SEKALI lagi, ini hanyalah cerita usang
di penghujung malam Januari yang kelam. Ketika kutuliskan, langit di luar tak
secerah kemarin. Udara tak sedingin momen sebelumnya. Dan bajuku, tak sekering
beberapa saat yang lalu. Entahlah, ada air mata luruh yang kujatuhkan
tiba-tiba. Tak tahu dari mana datangnya.
Oh, ini tentu bukanlah analogi untuk
mengisi kehampaan diri. Bukan pula kisah untuk melukiskan duka pada saat-saat
bahagia. Ini hanyalah akumulasi kecewa yang kubagikan cuma-cuma. Jikalau tak
berkenan, silakan kaumaki dan kaubuang ke jalan.
Oh,
tolong tuntun aku! Sebab, ini hanya aku, yang tak mengerti arti hidup,
tanpa-Mu.
(IPM)
Bandung,
28 Januari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini