Perlahan, kuperhatikan rona itu jatuh
lamat-lamat pada ragu. Kau menengadah tanda tak memberikan sebuah harap nyata.
Senyummu, dulu menebar setiap sisi,
menerangi gulita mewujud sempurna pelangi. Namun kini, tak pernah makna itu
kutemui. Kuterka, kau telah menggadai senyum indah, menukarnya dengan bertetes
melankolia air mata.
Aku masih berdiri tegak di pelataran
rumahmu, membawa bayang yang selama ini mengambang. Kupakai pakaian terbaikku
untuk menemuimu. Lantas, kau membuang muka. Menimpa raut wajah dengan berlapis
amarah.
“Kau mengapa? Adakah yang salah dalam
rasa?” jelasku padamu yang mematung tak menentu.
Kau, sungguh dulu pernah hadir di
seluruh nadi, mengalir bersama deras lika-liku elegi. Disapunya wajah, apabila
tangisan seketika tumpah.
Lalu desir angin, semilir, pelan
membawamu pergi, menuju lekuk yang kokoh berdiri. Di lipatan malam, kau hilang
bak tertelan kelam. Bayang hitammu, kini perlahan memutih, mencari tuannya yang
sejati.
Aku tak akan memberimu buku tahun ini,
atau berantai tahun mendatang. Sebab aku tak mau, dengan kata, kau menjadi
lebih lihai menerka: mana cinta, mana dusta.
Dan pernahkah, kau sejenak memahami
arti sapu tangan, untuk air mata? Yang menghapusnya, demi terciptanya
riang-riang senyum bahagia.
Malam pergantian tahun, momen di mana
aku bergeming menatapmu dalam-dalam. Tepat di tengah angan, kedipmu mengundang
untuk berpesan: temui aku, tapi tiada sekarang.
Maka, kunanti waktu itu tiba, sembari
menikmati bulir-bulir luka yang tak kunjung sirna. Denganmu, sebenarnya aku
telah belajar sekian filosofi cinta: memberi, terlepas apakah segala rasa akan
berbalik pada diri sendiri.
Kini, terompet tahun baru ditiupkan.
Sedang aku, tertidur pulas dalam lamunan. Berteman sunyi, berpegang pada kaca-kaca
pecah yang perih, serta tetesan merah melaju rapi pada noda kain-kain sofa.
Namun, di balik setiap pesimisku, kau
tersenyum tipis menunggu. Menanti demi waktu berganti, hingga tanyamu akanku sesegera
tertemui.
Apakah serasi apabila kita bersama?
Apakah pantas kau menemaniku selamanya? Apakah hanya kita jawaban Tuhan
mencipta bahagia?
Dalam pelarian, kerlingmu meminta:
semoga tahun depan, kau masih setia mengejarku pelan.
Tunggulah, aku tiba ketika kau pantas
menjalinku mesra, tanganmu, jemariku, beradu di atas kitab kita.
(IPM)
#Ilustrasi diunduh dari sini