Gerbong kereta. Panjang. Penuh shaf-shaf yang mengapit di
setiap sela. Berdua-dua. Untuk nantinya laksana antrean yang mengular tak
berujung. Di setiap lekuk, terdapat dua wajah yang berbeda. Namun, pernahkah
kalian memerhati? Adakah pada dua muka tadi memberikan persamaan arti? Kini,
perbolehkan aku bercerita, tentang makna yang tersimpan di dalam asa. Simaklah!
Kini, aku mengapit paha sambil duduk pada sebuah bangku dalam gerbong kereta.
Teman sebelahku lelaki. Dari ceritanya, aku dapati dia telah bekerja. Sepuluh
tahun. Semenjak lulus SMA dan merelakan diri menjadi teknisi perusahaan BUMN
terkemuka. Orangnya lugu. Tak banyak tingkah, serta kurasa tidak berbahaya.
Dari kupingku, sepertinya aku mendengar bahwa dia telah berkeluarga. Entahlah, aku
tak ingin menangkap yang lain. Sebelum ia
berkesah, sebaiknya aku kembali menulis saja.
Di bangku depanku. Duduk wanita ayu berkerudung abu-abu, satir
dengan corak warna keraguan. Dia sendirian. Kuterka, berumur dua puluhan. Sedari tadi, dia
senantiasa menatap ke luar jendela. Padahal, ini kereta malam, dan sudah pasti, tiada
lansekap yang terpampang. Namun, dia masih masyuk menanar ke luar. Entah apa
yang diperhati, aku tak mengerti. Sebelum
ia berkesah, sebaiknya aku kembali menulis saja.
Di sebelah wanita ayu tadi, tentu ada lelaki beruntung
yang duduk bersebelahan dengannya. Kurasa, lima tahunan lebih tua darinya. Bertopi
krem. Berbaju biru, yang berawal dari jaket kulit cokelat ketika dilepaskan bersebab gerah. Dari tadi, sering dia
mencuri pandang ke perempuan sebelahnya. Sambil membenarkan topi, dia mengecap bayangnya sembunyi-sembunyi.
Sembari berpura bermain telepon genggam, dia mengambil siluetnya diam-diam. Namun, tiada
kata yang dia ucap. Sepi. Kelu. Tak mampu lidahnya menyentuh lidah wanita itu. Sebelum ia berkesah, sebaiknya aku
kembali menulis saja.
Duduk di belakang bangkuku, ada wanita lain yang gemar
memerhati. Putih. Berbalut sejuntai kain di rambutnya. Entahlah, sedari tadi dia
asyik menyimak pembicaraan kami, aku dan temanku. Kusangka, dia ingin tenggelam
dalam percakapan kami. Kutoreh, dia mau seperti bergairah menyangkal setiap pernyataan. Namun, dia tak
kuasa. Sebab, dia tak kukenal. Barangkali, dia butuh teman, untuk membagi lukanya, yang merah seperti senja. Seyogyanya, dia juga perlu
tempat penampung perasaan. Oh, adakah kau bersedih, Nona? Mungkinkah kau wanita
tersunyi di gerbong kereta? Sebelum ia
berkesah, sebaiknya aku kembali menulis saja.
Di lorong gerbong kereta, ada pelayan yang suka
menawarkan barang. "Makan malamnya: nasi goreng, nasi rames" kemudian
mereka menghilang. "Hangat-hangat: mie rebus," mereka senyap lagi.
"Minumannya silakan: kopi, teh manis, susu, wedang jahe," suaranya
berlalu seperti ambulans: samar, terang, samar lagi. Oh, mereka dibayar untuk
itu semua. Mengantarkan lega pada perut-perut penumpang kereta. Dengan
mengganjar rupiah, mereka pergi, membawa piring-cangkir sisa lelehan tadi. Aih,
aku sungguh menangkap jiwa-jiwa letih di sana. Mereka, dengan sengaja melukis
legam pada wajahnya. Mereka, juga dengan pasti memasang mimik muka agar didermai. Satu
dari mereka datang kepadaku. Barangkali ia terganggu, mendengar mataku yang
sedari tadi berbisik pelan mencari pembenaran. Sebelum ia
berkesah, sebaiknya aku kembali menulis saja.
Diagonal dari tempatku duduk. Ada lelaki paruh baya yang
duduk berdua dengan wanita muda, dua-puluhan usianya. Dengan mudah, kuanggap mereka
sebagai bapak-anak. Namun, sungguh tak pernah ada cekikikan antara anggota keluarga yang janggal. Tak
mungkin pula ada lenguh yang mengambang. Apalagi ketika tangan
lelaki itu dengan piawai menggamit tubuh wanitanya melingkar, laksana ular yang
tak ingin melepas mangsanya, dan sang wanita mau, atau juga terpaksa berlaku,
karna perjanjian sebelumnya telah disepakati. Aih, gerbong kereta kusanggah telah mirip hotel melati. Perjamuan bisa dilakukan di sini. Tak pentinglah ada beratus mata
yang mengawasi. "Ia tak kenal aku, dan mereka tak penting bagiku,"
katanya pelan, tapi terdengar. Namun, dia tak memasang air muka bahagia. Ada
beban yang sengaja ditutupi. Mungkin juga, ada keluarga yang menunggu mereka
kembali. Sang lelaki malah lebih tak tenang. Seringkali, kakinya dilipat, atau
semenit kemudian tangannya bergemah mencuat. Kau ketakutan, Kawan! Tapi tak
penting. Sebelum ia berkesah, sebaiknya aku kembali menulis saja.
Sekarang, ada yang duduk di atas bangkuku. Seorang lelaki. Berusia
dua puluhan. Dia tak tidur, sibuk melukis wajah sendu para penumpang. Dia juga berteman
sunyi, bersahabat dengan elegi. Huh, sedari tadi, dia sibuk sendiri. Memikirkan
ini-itu dari alfabet hingga deretan angka mati. Entahlah, tapi dia menyukainya. Sungguh tak
penting pula, apakah ia sudih menjelmanya nyata, atau hanya disesapkan menjadi maya. Oh, sebelum ia menulis kembali, ketahuilah, ia telah berkesah segalanya padaku,
tanpa terkecuali.
(IPM)
#Ilustrasi diunduh dari sini