Dear
Kekasihku,
Halo.
Apa kabarmu di sana? Bertambah baik, ataukah sebaliknya? Oh ya, orangtuamu
masih sehat-sehat pula? Aku rindu bertemu denganmu...
DULU, kuingat kita suka bercengkrama
berdua sembari melihat bintang-bintang alami yang berkilau. Kau, dengan
menggamit tanganku, mengarahkannya ke atas, memilih dan menunjuk cerlang mana
yang nantinya kita bawa pulang. Lalu, setelah lelah menerka-nerka yang paling
terang, lantas kita hanya kembali tanpa membawa bintang di tangan.
“Kau kecewa?” katamu bertanya padaku.
“Tidak, bukankah tujuan kita memetik
bintang hanya teruntuk pengabulan keinginan? Tapi, bintang bukan Tuhan, Sayang.
Tak perlulah kita dengan enggan mengusiknya. Biarkan saja bercahaya, untukku,
terlagi untuk kita,” aku menutup isyarat.
***
SEWINDU yang lalu kau pergi, Sayang,
meninggalkan aku sendirian menjaga langkah. Kau hanya berpesan, bahwa aku tak
boleh menuruti kehendak orang-orang asing, atau juga membiarkan tangan-tangan
jahil menggangguku. Dan masih kutangkap dalam memori, kau sangat percaya pada
orang pribumi, teman sebayaku, dan rekan ibu-bapakmu yang akan membantuku
bilamana membutuhkan uluran. Aku percaya segala katamu.
Aku mengantarmu menuju dermaga. Ya,
tempat-tempat paling sedih di dunia ialah lokasi di mana kau harus melepas
seseorang pergi, terlepas dia akan kembali, atau kau tak akan pernah menemui
kesempatan untuk mengusap matanya lagi. Tempat itu, yakni: dermaga, stasiun
kereta, bandara, juga terminal bus kota yang megah.
“Sayang, aku berangkat dulu ya,”
ucapmu, sebelum kapal itu kemudian berbayang dengan matahari.
***
SAYANG, kini aku sendirian. Tak ada
yang menemaniku bercerita. Setahun sejak kepergianmu, bintang tak lagi
bercahaya di sini. Seperti ada yang menyaingi sinarnya. Entahlah, sekarang aku
mulai bingung, sangat bimbang, sebab lekuk tubuhku kini tak sehijau dahulu. Ada
tangan-tangan liar yang gemar bekerja sepanjang waktu. Dan kau, mungkin tak
akan percaya, bahwasanya ada benda-benda aneh yang sengaja mereka tempelkan
padaku. Aku takut.
Juga kau, Sayang, harus memahami, jikalau yang kuceritakan di atas tidak
terjadi sekali, bahkan dua kali, tiga, empat, dan seterusnya. Barangkali, kau
berlampau waktu sangat mengagumi warna kulitku yang hijau manis, serta tak ada
luka berserat. Namun, kalau kita bertemu di dekat-dekat ini, jangan kaget jikalau
kulitku tak sehijau dahulu, tak seelok ketika di dermaga aku
memelukmu. Mungkin, lebih
banyak kasar di sana-sini,
dan ada pula warna-warna yang tak kau sukai. Abu-abu, coklat tua, kuning, merah
bata, dan sedikit hijau yang tersisa.
Kuulangi, hanya secuil hijau yang masih lestari.
“Namun, aku percaya, kau tak akan
mengubah rasamu hanya karna warna kulit yang tak sama, bukan? Aku tahu kau
bukan lelaki pintar, tapi kuharap, kau mengerti benar apa makna cinta dan
ketulusan. Bukan begitu,
Sayang?”
selaku di kala gamang.
***
SAYANG, orang-orang itu datang lagi.
Kali ini, mereka membawa paku-paku tajam yang sepertinya siap untuk ditancapkan.
Mereka juga menggandeng banyak pekerja lain untuk
bergabung. Pandanglah,
tak hanya paku, mereka
juga menyiapkan besi-besi yang mengilat, batu-batu besar dari urukan kali, juga
semacam debu namun menggunung di sana-sini. Aku tak tahu apa rencana mereka.
***
“Aih, sakit!” aku berteriak.
Sayang,
mereka mencobloskan
paku-paku itu padaku. Keras. Dalam.
Dan diulanginya
dengan paku yang lain. Bos mereka bertolak pinggang, melihat beberapa pekerja sedang sibuk mengurus jatah
masing-masing. Ada yang memotong besi sesuai ukuran. Ada yang menunggang roda-roda
berlapis kursi. Serta ada pula yang mengaduk debu abu-abu dengan air, supaya
pekat dan menempel nantinya.
Oh, semua dikerjakan sepanjang waktu.
Dan coba kaupandang, Sayang, ada bentuk-bentuk asing di ragaku. Apabila aku
berbaring, bentuk itu laksana menara, bangunan, serta rumah-rumah luas nun
mewah. Apa jadinya konstruksi yang disusun di atas lekuk yang terluka?
Dan lukaku, semakin menjadi. Siang
malam aku tak bisa tidur, Sayang. Ketika malam, mereka menyalakan cahaya yang
kian terang, sehingga mataku, tiadalah bisa memejam. Oh, sungguh aku tak pernah tidur. Lihatlah, kantong
mataku sudah menyaingi nenekmu yang tertua, atau juga
bapak presiden kita. Saat
siang, aku malah tak bisa melakukan apa-apa. Cuma berbaring, dan sering aku
batuk-batuk. Entahlah, ada
asap yang mengepul dari
roda-roda berkursi milik mereka. Sebenarnya, kau bisa bedakan mana
tunggangan teragungnya; yang
mewah tak mengeluarkan asap, sedang yang lain mengabukan jejalan, tapi kuhitung, lebih banyak yang butut dan kampungan.
Kalau terus seperti ini, aku bisa sakit.
***
AKU tak kuat. Kini, kubiarkan air
mataku mengalir deras ke seluruh raga. Atau, sengaja pula kualirkan
keringat-keringat basah dari pori-pori. Hingga kau tahu, semua bagian lekukku
bak seorang yang telah tenggelam dalam air peluhnya sendiri. Tak apa, dengan begini,
siang tak lagi banyak berasap. Dan malam, sering kulihat mereka lupa menyalakan
bintang buatannya.
Dua atau tiga hari kurasa cukup untuk
memulihkan letih raga. Maka, aku berhenti menangis, dan peluh tak lagi kupaksakan keluar dari pori.
Lantas, mereka tiada belajar dari sebelumnya. Tetap saja, malam dihabiskannya
dengan benderang. Dan siang dibuatnya ajang pameran roda-roda berkursi. Oh, aku
batuk-batuk lagi.
***
BULAN lalu, aku mendengar teriakan
mereka untuk membangun sebuah pipa di sini. Namun, mereka tak mungkin
meletakkannya di atas lekukku. Karena, sudah terlampau sesak, tak ada tempat
lagi. Dan benar saja, mimpi
buruk itu datang, Sayang. Darinya yang berbaju kotak-kotak, menghendaki untuk
menyelipkan pipa-pipa atau gorong-gorong raksasa di dalam tubuhku, bermaksud
agar aku tak berair lagi.
“Kau bayangkan, jarum suntik sekecil
itu saja apabila ditusukkan ke kulit yang terluka bakal sakit luar biasa.
Bagaimana kalau
pipa?” keluhku.
Ketika semua disetujui, mereka
benar-benar akan bergerak cepat. Disiapkanlah peralatan, teknisi, anggaran,
serta yang lain. Sayang, mataku mulai berkunang-kunang. Dan...aku pingsan.
***
AKU benar-benar kecewa dengan mereka.
Sakitku sudah tak terkendali lagi. Mungkin, tubuh yang dulunya hijau tak
bersayat ini
hanyalah tinggal kenangan. Bintang yang kita petik diam-diam sudah lama kurasa
pergi berlari. Dan aku,
kini hanya mendapati ragaku seperti onggokan daging yang lesuh, tak bergairah.
Bahkan, beberapa kali aku enggan
berkaca di depan
cermin. Takut terlihat tua, atau juga tak secantik seperti kala kita berpisah.
Maafkan aku, Sayang. Kini aku ingin berlaku kejam pada mereka. Ingin sekali aku
memberikan pengalaman terpahit untuk mereka. Bukan karena dendam, melainkan hanya mengajarkan mereka bagaimana caranya
berterima kasih sebab telah diberi tempat hidup yang memadai.
“Huhuhuhu....Huhuhuhu....”
aku menangis, sengaja, dan semakin deras linang mataku tumpah. Dan tak lupa,
kukeluarkan seluruh keringat serta peluh hingga tak bersisa.
Oh, aku kelelahan melakukan itu semua.
Mataku kembali berkunang. Sepertinya, aku benar-benar sakit.
“Bibi, tolong bawa aku ke dokter,”
pintaku.
***
KATA dokter, aku harus istirahat
seminggu. Tak boleh banyak bergerak, ataupun melakukan apa-apa. Dan maaf, aku
juga tak diperbolehkan mandi. Maka, air mata dan cairan coklat bekas keringat
serta peluh tadi, sengaja
kubiarkan tak bergerak di sana selama tujuh hari. Tak apa, sekali-sekali kau mungkin
harus mengganti tumpangan. Roda kursimu tak lagi terpakai. Kini, yang
berbondong hanyalah perahu. Lebih baik, karna tak menimbulkan asap yang pilu.
Sebelum tertidur, kulanjutkan secarik kalimat untukmu, mungkin harus
kuulangi beberapa frasanya, oh, sepertinya
berbunyi sendu:
Dear
Kekasihku,
Halo.
Apa kabarmu di sana? Bertambah baik, ataukah sebaliknya? Oh ya, orangtuamu
masih sehat-sehat pula? Aku rindu bertemu denganmu.
Kekasihku,
sebenarnya ini
surat sakitku. Aku kirimkan padamu sebagai pengabar keadaanku sekarang. Maaf, jikalau tanpa pita atau bingkisan yang lain. Aku
tak sempat membelinya.
Itu saja dariku, aku ingin istirahat lagi. Oh ya, aku tunggu surat balasanmu.
Doakan aku kian sembuh.
Kecup mesra, Jakarta, kekasihmu yang
tengah terluka.
(IPM)
Bandung,
18 Januari 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini