REVI memintaku mengarang cerita. Kau berdalih, ingin
menjadi tokoh sekaligus subjek pada sebuah kisah. Namun, sungguh aku tak pernah
menulis secara sesuka. Sebab sebelumnya, aku perlu berbincang banyak kepadamu,
butuh mendengar segala liku hidupmu, serta harus aku memaksamu masuk dalam
imaji yang kaubuat sendiri. Barulah, aku kemudian mengguratmu dengan setoreh
pena.
"Apa kau sanggup menjalani? Menjadi boneka, yang
kujalankan sesuka. Merupa wayang, yang kuberdirikan selaku mata. Atau mewujud
pantai, yang kugariskan semauku tepinya. Adakah kau keberatan atas segala pinta?"
Kau tersenyum. Kuartikan, kau setuju akannya. Maka untuk
permulaan, kau harus memanggilku: Tukang Cerita. Itu saja.
"Baik. Selamat berkarya, Tukang Cerita,"
sapamu, kali ini senyum itu kembali tumpah.
"Jangan banyak senyum, Revi! Sebab, aku bukan
seorang yang pandai melukis kisah suka. Kukira, tawa tak pernah kugurat dalam
karya. Dan mungkin, seperti Bunga untuk
Sesiapa, Dara di Tepian Dermaga, atau juga Ada yang Diam-diam Mencintai Senja, seluruhnya berakhir dengan
duka. Sekali lagi, tiada tawa yang kugurat di sana. Lantas, masihkah kau ingin menjadi
tokoh dalam sepenggal kisah?"
Tanpa ragu kau menjawab, "Ya. Aku ingin seperti [1]Tya, [2]Dara, [3]Dinda, dan [4]Rara, serta wanita lain yang pernah ada
dalam karyamu. Kelak, mereka semua abadi, dalam kisah yang kau alurkan menuju
elegi."
***
KALI ini, kukisahkan kau, Revi, terlahir memiliki raut
yang elok nun sempurna. Kedua bola matamu jernih, tajam ketika memandang, namun
sayu saat perlahan diperhatikan. Kulitmu pun putih, selaksa pasir di pesisir utara
Pulau J yang berkilau-silau. Sesekali, sempatkan waktumu sejenak ke sana. Raih halus
kristal silikanya, niscaya, kau akan merasakan betapa indah yang dititipkan Tuhan
dalam raga.
Dan kau, aku percaya memiliki rambut hitam yang mengilat.
Lantas, apabila angin berhembus, dan gerai ikatnya terlepas, seketika pupuslah angan
pemerhati sesaat ketika melihat ikalmu terbang menghampiri. Namun, sungguh mereka
tak memandang apa-apa. Sebab mahkotamu, sengaja kausimpan anggun dalam sejuntai
kain penghalang mata. Kain itu, kelak di hari perhitungan akan mempermudah
jalanmu. Dan masih kain itu, yang mungkin akan lebih dulu kaulepas ketika
pangeranmu datang, setelah lelah ia mengucap janji di atas kitab kalian. Oh,
kau pantas berbahagia akannya.
"Apakah semua yang kauceritakan ialah benar aku?
Adakah kau menambahi agar sempurna selalu tersaji?" tanyamu.
"Entahlah. Sedari tadi, aku hanya membiarkan mata jemariku
menari dengan sesuka, semoga kau berkenan karnanya," jawabku singkat.
***
KAU, sangatlah gemar memotret segenap kenangan. Melalui
lensamu, berantai kronologi tersapu. Perlahan, kau bidikkan mata-mata elang itu,
bukan sekadar ingin memilah ragu, melainkan kaucuri momen-momen terindahmu yang
nantinya bisa kaucetak, dalam album-album senja tak bergerak.
"Kau mau melihatnya? Biar sekalian, kuceritakan
bagaimana aku menangkapnya," ajakmu pelan.
Dan tentu saja, kau mulai membuka lembar demi lembar albummu.
Disentuhnya sampul biru itu dengan lembut, kuterka, kau seperti tak ingin
membangunkannya. Tak pula mau kau biarkan seluruh kenangan itu terjaga. Untuk kemudian,
kau berkisah tentang satu foto yang berisi belasan sahabatmu.
"Ini para sahabatku. Yang ini berasal dari Kota C, yang
ini dari Pulau K, dan yang ini asli dataran tinggi S. Mereka semua dekat
denganku. Tak ingin aku berpisah karnanya..." kau berkisah singkat.
"Mana dari sahabatmu itu yang paling kaubenci?"
tanyaku.
"Tak ada. Sebab, mereka sejalan dengan asa. Tak
pernah kami bersitegang. Dan tak ingin aku memutus tali persahabatan,"
jelasmu panjang.
Indah sekali, apa yang kaupunya saat ini sungguh sempurna.
Sahabat, keluarga yang hangat, pribadi yang dihormati, serta kau kusanjung
sangat mencintai Tuhan. Segala tecermin dari angan, dan setiap insan bisa
mendapatimu dari bayang.
Lalu, kau berlanjut pada potret-potret yang lain. Ada
warni senja dari mata seorang gadis, ada kelabu tangis milik mereka yang selalu
mengais, dan ada pula bayangan sunyi yang sering kaupotret sembunyi-sembunyi.
"Revi, ini wajah siapa? Mengapa gelap yang tercetak
nyata?" aku ingin tahu.
"Tak tahu, aku lupa," pungkasmu.
Aih, sungguh aku tak percaya atas segala ucapmu. Mungkin,
kau hanya ingin memiliki ruang kecil untuk bayang itu tinggal. Tanpa sesiapa,
atau juga aku yang menegurnya. Tapi, kubiarkan kau menyambangi dia sesukamu.
Aku hanya Tukang Cerita, bukan penjahat, yang ingin menawan urusan orang lain
erat.
"Oh, baiklah. Lain waktu, semoga kau tak bisa lagi
mengingat bayang itu," aku menutup percakapan.
Kini, aku semakin kehilangan kata. Tak sanggup meneruskan
kisah.
***
"Katamu, kau hanya lihai menggurat cerita sedih.
Tapi mana? Adakah bagian tersendu dalam kisah yang kaubuat untukku ini? Aku sama
sekali tak menerkanya," ujarmu padaku.
Aku terdiam. Dan mulailah aku menyepi. Bersahabat dengan
sunyi yang sendiri. Barangkali, bagian tersedih dari kisahmu ialah aku, yang
tak bisa mengakhirkan plot menjadi sempurna ragu. Namun biarlah, aku puas
mengabadikannya.
Oh, mungkin memang benar, wanita selalu sempurna dalam setiap tokoh cerita. Layaknya Siti Nurbaya dengan sedih yang senantiasa dijamah. Seperti
Srintil dengan tarian ronggeng penakluk hati ribuan pria. Laksana luka Dayang
Sumbi ketika sang putra benar-benar melamarnya. Dan cukuplah kau, Revi, serta kisahmu. Semoga kelak tak kau bubuhi ia dengan bebulir sendu. Maaf, aku tak sampai hati
mencipta elegi pada ronamu.
(IPM)
Surabaya,
Januari 2013
Keterangan:
[1] Tya, nama tokoh pada cerita Bunga untuk Sesiapa
[2] Dara, nama tokoh pada cerita Dara di Tepian Dermaga
[3] Dinda, nama tokoh pada cerita Senja Berlatar Jingga
[4] Rara, nama tokoh pada cerita Rembulan Tak Bertuan
#Ilustrasi diunduh dari sini