"Mengapa kau pergi? Kiranya, pernahkah aku memberimu
sebingkai luka perih?"
Kau tak menghirau. Terus menjauh, mengangkat tinggi
langkahmu ke sana. Ke arah yang katamu gelap tapi senantiasa kau singgahi tiap
hari. Kukira, kau sedang memainkan nada agar sumbangnya kian sempurna, untukku,
terlagi untuk kita.
***
KUAKUI, kau begitu lihai memberi. Segalanya kau tawarkan
kepadaku dengan indah, serupa untaian kata khas seorang lelaki dewasa.
Perhatianmu, seakan tak pernah lapuk menyinari gerakku. Tatapanmu, selaksa
menggenggam mesra gairah ketika dunia dengan tega menghadiahiku kecewa. Dan
pengertian itu, sungguhlah membuat citra dan cita teruntukmu seutuhnya. Inikah
yang dimaksud jatuh cinta?
"Apa kau sedang bertanya?" katamu pelan.
"Tidak. Aku hanya menerka tentang diriku. Tak perlu
kau memberi tahu. Sebab aku tak butuh alibi. Cukup mencintai, sampai
nanti..."
***
LAIN waktu, izinkan aku mengembalikan semuanya kepadamu.
Akan kubagi seluruh yang pernah kauberi. Bukan. Bukan untuk mengecewakan,
melainkan demi mengenang masa-masa paling berkesan. Bersama, kau dan aku dalam
satu naungan.
Nantinya, aku akan membawa kado-kado kenangan yang telah
terbungkus rapi terlagi berpita. Ada yang berlapis kertas bergaris, ada yang
tertempel ucapan mesra, ada yang sengaja dibubuhi manik berwarna, serta ada
pula bingkisan basah karena air mata terdahulu yang senantiasa tumpah.
Oh, itu semua untukmu, Sayang. Pintaku satu: tetaplah
duduk manis di tempatmu. Jangan beranjak ke mana-mana. Karena, kelak kau pasti
kecewa, bila tak jalankan apa yang kupinta.
***
KAU, seperti sepi atau sunyi yang lain, selalu luwes
mengajarkan aku tentang memeluk kenangan. Aih, barangkali telah bosan angan ini
meregang melankolia usang. Apalagi, di sampingmu itu, kini kutahu, tak cuma
batinku yang menunggu. Ada yang diam-diam memerhati. Namun, semoga kau tak
merasa, terus memandang ke arahku saja.
"Kau lelah? Mengapa kau tak berdiam sejenak
saja?" pungkasmu hampa.
"Bolehkah pertanyaanmu tadi kubalikkan? Sebegitu tak
tahukah dikau, hingga tiada paham bahwa hatimu sedang merasakan getar?" ucapku
padamu.
Lantas kau gamang. Dan seketika, air mukamu berlinang.
***
"Kau tahu, bagaimana rasanya mencinta tanpa sesiapa
menghirau akannya? Dan bagaimana pula pedihnya, apabila orang yang kaukasihi
mengerti bahwa ia dicintai, namun dibiarkannya layu hingga bercampur
elegi?" tanyaku.
"Tentu sakit. Sangat taklit," ujarmu singkat.
Aih, jawabmu sungguh melukiskan apa yang tertera dalam
rasa. Mengguncangkan amarah hingga melonjak kian ronta. Mungkin juga benar, apa
yang disyairkan oleh para pemetik kesedihan terdahulu, bahwasanya mencinta,
ialah tentang bagaimana kau mempertahankan rasa, ketika orang yang kaucinta tak
lagi mau menatap ronamu, tak lagi sudih mengucap kalimat syahdu, serta tak lagi
mengharapmu mencintainya utuh.
"Tapi, kau belum pernah mencintaiku. Hingga kini, tiada
satu pernyataan yang keluar dari bibirmu. Tiada pula ungkapan yang tertuangkan.
Namun, mungkinkah
aku saja yang tak menyadarinya, jikalau cinta memang tak butuh kata-kata yang
nyata?"
Kau terdiam.
“Apakah aku harus mengajarmu mengucap cinta? Adakah kau
benar-benar tak mengerti perihal
mengungkapkan rasa?” aku kembali merenung, kali ini lebih murung.
***
KINI, barangkali aku seperti boneka kecil yang tak berlesung. Laksana wayang yang tiada
berdalang. Atau, sebagaimana sekoci tanpa seorang nahkoda yang mengemudi.
Arahku hilang, di mataku hanya tersaput kelam.
"Maukah kau kutuntun perlahan?" ajakmu.
"Ke mana kau akan memapah aku? Tidakkah kita cukup
berdiam di sini saja, dan menikmati tenggelamnya senja?" bantahku.
"Kalau itu mampu membuatmu bahagia, baiklah, aku
menurut saja. Tapi, tak pernahkah kau menginginkan lain sisi mengisi hidupmu?
Tiadakah kau bosan mencintai bayang itu?" kau kembali bertanya, lebih
merah dari biasanya.
"Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa aku berpaling,
sedang yang kunanti sekian lama ada di depanku secara nyata? Namun, tiada
pernah aku sanggup menyentuhnya,” pungkasku sebelum diam.
***
KATAMU, setiap insan hanya butuh semenit untuk menafsir
sifat seseorang, hanya perlu sehari untuk menyukai makna kepribadian, serta
hanya memakan waktu seminggu untuk mencintainya. Namun, berapa panjang waktu
yang tersedia untuk melupakan? Adakah sebulan, setahun, sewindu, atau sepanjang
hayat cukup untuk mengubur sebuah kenangan?
Jawabnya tidak, kataku. Kau, takkan pernah bisa melupakan
seseorang. Terlagi membuangnya hingga tak terkenali lagi. Sebab, semakin kau
berusaha untuk melupa, maka semakin kau mendermanya menjadi sebuah bayang yang
nyata.
“Lantas, bagaimana kau melupakan bayang itu?”
“Melupakan siapa?” aku balik bertanya.
“Melupakan bayangnya, yang kaupuja sepanjang hari hingga
bulir tangis mengering pada tiap sisi pipi. Yang kaugenggam suaranya dan
kausimpan dalam kantong-kantong luka. Dan yang kau harapkan
dia datang menjemputmu,
membawa warni ungu tulip kesukaanmu. Setelah kau mencintai, akankah kau
merelakannya pergi?”
“Entahlah. Mungkin akan tiba saatnya di mana kita harus
berhenti mencintai seseorang, bukan karena orang itu berhenti mencintai kita,
melainkan karena kita menyadari bahwa orang itu akan lebih berbahagia apabila
kita melepasnya pergi,” kali ini diamku sarat keagungan.
Aku tak bergeming. Kau tak bersuara. Sesekali, kau mengusap keningmu yang basah. Kali ini,
barangkali diam kita akan menjadi memoria percakapan terindah.
***
KALI ini, aku lebih
mengerti tentang bagaimana kisah, yang dahulu merona tapi membiru setelah
berjenjang waktu berlalu. Soal lelaki baik yang gemar memberi, tanpa pernah ia
berniat memetiknya kembali. Perihal rasa yang dimiliki wanita, namun tak
sanggup ia mengungkapkannya.
"Ini era millenium,
bolehlah setiap wanita mengucap rasanya terlebih dahulu..." celetukmu
ketika kita bercengkrama bersama yang lain.
"Maaf. Ini bukan
soal emansipasi. Hanya saja, aku lebih menghargai lelaki, yang menjemput
rasanya tanpa perlu memaksa sang wanita terlebih dahulu mengumbar cinta," bisikku dalam hati.
Barangkali, aku masih
menunggu lelaki itu datang, dan
berkata lantang. Mengatakan jikalau cintanya sunggulah aku seorang. Serta ia, kuharap tak lain adalah kamu,
Pangeranku. Dalam jamuan penantianku, izinkan aku diam-diam mencintai bayangmu,
yang kutahu, tak pernah kaulukis siluetku dalam anganmu...
(IPM)
Surabaya, Januari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini