KAU tak pernah membujukku untuk
bercerita. Tidak ada pula isyarat darimu untuk berbagi kisah kepada yang lain.
Kau adalah kau, gadis periang yang senantiasa tersenyum. Entahlah, aku tak
seberapa mengerti apa arti dari tipis senyummu. Adakah kebahagiaan di sana?
Adakah kesenangan yang megah? Atau juga sebuah kosmetik untuk menutupi segala
luka? Ah, aku tak sebaiknya terus menerka-nerka.
Ya. Aku dahulu tak sebegitu
mengenalmu. Bahkan, kau hanya kusapa ketika lewat, atau juga saat bergelayut
dengan yang lain. Namamu, berartikan mutiara jiwa yang sempurna. Kurasa, ibumu,
atau juga nenekmu, atau sesiapa yang menaksir asma itu tak menguakkan kesalahan
sedikit pun.
Lalu, benarkah nama ialah penggambar
diri seseorang? Tidak, menurutku. Barangkali, nama hanyalah ungkapan dalam rupa
harapan dari seorang ibu untuk anaknya kelak. Dengan nama itu, mungkin seorang
putra bisa menjadi seorang pria, dan seorang putri boleh jadi menjelma bidadari
yang rupawan. Tiada yang tahu, itulah esensi namamu.
***
KALIAN tahu, dahulu aku pernah
berkunjung ke suatu tempat yang jauh dari keramaian. Di sana, lembah menyapa
tiap pagi. Aliran sungai deras menyeruakkan ketenangan ragawi. Rerumputan yang
hijau, bergema mendermakan embun untuk kaki basah yang bersiap menuju sawah. Dan
selaksa pada dongeng, tinggallah sebuah keluarga hangat di tengah sepi yang
memekat. Aku masih mengingat bagaimana riuhnya suasana rumah ketika makan malam
dihidangkan.
“Ibu, piring Ujang mana? Udah lapar,
Bu.”